Kamis, 10 Januari 2013

Rahasia Terbesar Laki-laki


Hidup di dunia ini sekali saja. Sungguh merugi kalau tidak bahagia. Dan kebahagiaan itu ada di dalam diri kita. “Lho, lantas di mana posisi Tuhan? Bukankah Tuhan itu yang membawa dan memberi kebahagiaan bagi manusia?,” suatu ketika temanku bertanya. Ya, itu benar. Bahkan Tuhan menyiapkan kesedihan dan kebahagian secara bersama-sama. Kebahagian dan kesedihan ada di setiap hati manusia. Kalau kamu memilih bahagia, tentu kamu harus memilih jalan yang benar.

Aku pun memilih jalan yang benar tentang cinta. Semenjak suka pada wanita, aku selalu berusaha untuk tidak menyakitinya. Berucap dengan ucapan apa adanya, tidak pernah menggunakan perumpamaan-perumpamaan yang membubung ke langit tinggi. Atau kalimat-kalimat manis yang dimaksudkan supaya seorang wanita tertarik padaku. Karena menurutku itu semua adalah kemunafikan. Kenapa, saat di depan yang kita sayangi, suara kita lantas berubah menjadi lirih. Dimerdu-merdukan, seakan kita wibawa, sedang saat berbicara dengan orang di luar kepentingan kita, suara hanya biasa-biasa saja. Bahkan terkesan acuh dan apatis.

Aku lebih suka mengubah isi daripada bungkus. Ketika aku berbicara dengan seorang petani, aku pun membawa tema-tema tentang bercocok tanam dan irigasi. Ketika aku berhadapan dengan polisi, aku berbicara tentang keamanan, kriminal, dan sekitar itu. Begitu pula saat aku berada di sisi orang yang aku sayangi, aku akan berbicara tentang harapan-harapan ke depan, keinginan yang ingin dicapai, dan model keluarga yang didambakan. Pembicaraan-pembicaraan itu dengan nada yang sama, tidak lebih halus antara satu sama lainnya.

Di sisi lain, aku lebih suka melakukan sesuatu ketimbang membicarakan sesuatu. Memberi kekasih bunga, mengantar kuliah, mentraktir, bagiku itu lebih jujur ketimbang ucapan sayang, rindu, madu, manis, cantik dan lainnya. Bukan berarti tak pernah berucap, hanya saja dominasi perbuatan lebih banyak ketimbang ucapan.

Agak aneh memang ketika ada gagasan bahwa bicara dapat mengubah hidup seseorang. Begitu juga ada teori kesantunan berbahasa, yang mana lebih dititikberatkan pada perubahan nada dan intonasi dalam percakapan saat kita menghadapi perubahan objek pembicara yang berbeda. Bagaimana harus bicara dengan orang tua, bagaimana bicara dengan istri, bagaimana bicara dengan tetangga, teman dan lain sebagainya dengan intonasi yang berbeda-beda. Saya berbicara di manapun, dengan siapa pun, kapan pun, dengan nada sama. Tidak halus juga tidak kasar, tapi perpaduan antara keduanya.

Kejujuran akan cintaku itu ternyata membuahkan hasil yang luar biasa. Saya sekarang sudah punya seorang istri cantik dan tiga anak. Anak pertama laki-laki, saya beri nama Sabit. Anak kedua perempuan saya beri nama Putri. Dan anak ketiga laki-laki, saya beri nama Rimbun. Pekerjaan saya juga mapan, menjadi dosen di sebuah universitas dan mempunyai usaha kedai Sop Buah. Dua sumber rejeki itu lebih dari cukup untuk sekadar menghidupi lima anggota keluarga kami. Bahkan masih bisa menyisihkan untuk mendirikan pusat belajar masyarakat sekaligus pusat bermain anak-anak di kampung kami.

Saya juga masih bisa menyempatkan untuk mengunjungi tempat-tempat wisata pada akhir bulan. Bulan kali ini saya dan keluarga mengunjungi Pantai Karanggongso di daerah Trenggalek. Pantai yang saya anggap paling aman untuk bermain anak-anak. Karena tepi pantainya terdapat perairan dangkal sekitar tiga ratus meter ke tengah laut. Pasirnya putih, dan karang-karang tajam sangat jarang sekali. Ketiga anak kami bermain air, dan yang paling besar, Sabit, selain bermain juga bertanggungjawab menjaga adik-adiknya. Sedang saya dengan istri mengamati mereka dari kejauhan sambil duduk-duduk santai di atas pasir dibayangi nyiur daun kelapa.
“Pa, lihatlah anak-anak kita yang lucu-lucu itu, apa perlu ditambah lagi?” Istri saya tiba-tiba bertanya sembari membelah buah semangka di atas tikar. Bayangan daun kelapa bergerak-gerak di atasnya.

“Emm, mengalir saja. Seandainya dikaruniai lagi, baik juga.” Saya menjawab diplomatif.

“Pa, apa anak-anak itu termasuk kebahagiaan yang paling besar?”

“Ya, tentu donk.” Kami diam sejenak dan memandang anak-anak kami yang sedang bermain air laut. Sesekali teriakan-teriakan kecil meloncat-loncat di antara riak ombak.

“Kalau istri seperti aku ini?” Tiba-tiba istriku mengarahkan pertanyaan tentangnya. Seperti anak-anak yang tak mau kalah saja. Saya terhenyak sebentar. Aku pandang istriku, ia juga memandangku dan tersenyum.

“Istri yang baik, dan anak-anak yang baik adalah kebahagiaan yang besar.” Aku pun menjawabnya dengan tulus. Memang karena keduanya merupakan anugerah yang tiada tandingannya.

Ia tertawa kacil, lalu mendekatiku dan menyodorkan irisan-irisan semangka di atas piring. Warnanya merah sekali, dengan biji-biji putih sebagai ciri khas semangka tanpa biji. Aku mengambil dan mulai mengunyahnya. Mencecapnya dalam-dalam, merasakannya, apakah ada pahit di tengah rasa manisnya. Karena, kalau ada pahitnya, itu kemungkinan besar rasa manis buatan yang disuntikkan oleh petani buah, yang bisa memicu kangker.

“Pa, bagi papa apa yang menjadi kebahagiaan terbesar dalam hidup ini?” istriku bertanya sambil mengunyah semangka juga. Semangka yang ada di mulutku segera kutelan dan segera kulupakan tentang pemanis buatan yang banyak disuntikkan petani.

“Istri yang cantik dan baik, dan anak-anak yang lucu-lucu dan baik.”

Istriku tertawa seakan ini hanya lelucon saja. Aku melanjutkan mengunyah semangka. Pandangan kami tertuju pada anak-anak yang riang bermain ombak.

“Pa, laki-laki itu pandai menyimpan rahasia.”

“Mmm, apa iya?” Aku menjawab sekenanya.

“Dan setiap lelaki pasti punya rahasia dalam hidupnya.” Ia melanjutkan kalimatnya. Aku terus mengunyah semangka.

“Kalau rahasia terbesar dalam hidup papa, apa?”

Aku berhenti mengunyah semangka. Kurasakan pertanyaan itu tidak sekadar iseng belaka. Suasana menjadi kaku, istriku diam begitu juga dengan aku.

“Ah, masa iya setiap lelaki mempunyai rahasia. Terlebih laki-laki seperti aku ini. Semua sudah aku ceritakan padamu saat kita kenal dulu. Tentang apa pun.” Aku menjawabnya dengan sedikit membuat pertanyaannya seakan tidak penting untuk ditanyakan.

“Hatiku mengatakan bahwa papa mempunyai rahasia yang besar, yang masih tersimpan saat ini. Sebagai lelaki pada umumnya.” Ia meyakinkan bahwa memang aku harus menyampaikan sesuatu untuknya.

Aku mencoba untuk tetap tenang. Menikmati hijau air laut yang berdasar pasir putih di bagian paling tepi daratan. Lalu berwarna kebiruan di bagian dalam. Sesekali kupandangi jauh titik hilang lautan, dan kurasakan keluasan ciptaan Tuhan.

“Ayolah pa, apa rahasia terbesar papa?” Ia berkata sembari merangkul pundakku. Memintanya dengan manja.

“Yang namanya rahasia itu, kan tidak seharusnya untuk dibocorkan.” Aku menjawab sekenanya.

“Nah, itu ’kan, punya rahasia ’kan. Ayolah, pa!” Jawabanku seperti menyudutkanku sendiri. Seperti senjata makan tuan, aku pun tak bisa mengelak lagi.

“Biar tersimpan sajalah.” Aku kehabisan kata-kata. Kalimatku itu telah mendakwa bahwa aku memang punya rahasia yang hingga sekarang belum diketahuinya.

“Ayolah, pa!” Ia terus memaksa. Ya seperti itulah istriku. Kemauannya tidak bisa ditangguhkan.

“Tapi mama harus janji tidak boleh marah.” Aku mulai membuat kesepakatan.

“Ya, siap,” kalimatnya begitu mantap.

Aku pun meraba-raba kembali masa lalu, di mana aku masih muda dan perkasa. Pertama kali aku jatuh hati pada seorang gadis di SMA. Namun pada cinta pertama itu aku menuai kegagalan. Dua kali aku menyatakan cinta, dua kali juga aku ditolak. Nilai saat itu terjun bebas. Dari peringkat lima besar menjadi peringkat dua puluh besar sekelas.

Cinta kedua tumbuh saat kuliah, di mana aku sangat mengagumi seorang gadis kota. Wajahnya enerjik, tubuhnya sintal, dan tangkas. Berbagai upaya aku berusaha mendekatinya, tapi lagi-lagi aku belum berhasil menyentuh hatinya. Aku mundur dengan pelan, dan memulai membangun cinta lagi begitu seterusnya.

Cintaku meloncat dari hati ke hati, dari peristiwa ke peristiwa. Namun selalu gagal. Tak terhitung berapa banyaknya gadis yang aku sukai. Dan tak terhitung pula berapa kali aku dicampakkan. Dan setiap kegagalan aku mencari penyebabnya. Hingga berjilid-jilid buku tentang cinta aku khatamkan, dan bermalam-malam aku berdiskusi dengan orang yang sudah berpengalaman tentang itu. Namun aku tetap gagal juga.

Teman-teman selalu mengejekku. Jomblo seumur hiduplah, jodoh sudah matilah, dan banyak lainnya. Namun ada ejekan yang selalu membuatku bahagia, menurutnya aku ini dijaga oleh Tuhan, dijaga dari perbuatan yang kurang baik sekali pun, seperti berpacaran. Tapi ejekan itu pun diakhiri dengan hal yang tidak mengenakkan, yaitu dijaga Tuhan sampai mati. Artinya aku pun tak bakal mendapatkan gadis mana pun sampai ajal menjemputku.

Hingga suatu pagi yang basah, aku terlalu menikmati bau tanah sisa hujan malam hari. Hening sekali, barangkali burung-burung belum mengoceh lantaran masih menggigil kedinginan. Kuhirup udara dalam-dalam. Kunikmati setiap lekuk pepohonan dari keremangan kabut pagi. Jalan yang berupa tanah bercampur air membuat laju vespaku tidak stabil. Hingga aku terpeleset dan menyenggol seorang gadis yang berjalan dari arah berlawanan. Dari peristiwa itu aku mengenalnya. Ia adalah istriku yang sekarang ini, dan dengannya aku dikaruniai 3 orang anak.

“Itu hanya masa lalu, ma. Dan saya yakin setiap orang memiliki perjalanan asmara yang serupa,” aku menyudahi sebuah rahasia pada istriku.

“Ooo... rahasia terbesar papa ternyata aku bukan yang terutama.” Istriku berkata dengan nada kecewa. Raut wajahnya juga tak bersahabat.

“Ma, tadi ’kan mama sudah janji.....,” kata-kataku terhenti. Percuma, ia sudah ngeloyor pergi menuju anak-anak dengan membawa irisan-irisan semangka di atas piring.

Aku pun kembali menghirup dalam-dalam angin pantai Karanggongso. Kulihat lagi lautan yang luas, dengan ombak kecil yang melempar sebuah batok kelapa ke tepi. Kemudian menariknya kembali ke lautan, sambil kuingat-ingat lagi rahasia yang lebih besar yang belum pernah kuceritakan kepada istriku maupun orang lain. Barangkali memang laki-laki itu penyimpan rahasia sejati.***

Minggu, 06 Januari 2013

Dongeng Sebagai Pembentuk Karakter


Saya teringat bagaimana nenek saya setiap sebelum tidur mendongeng tentang Panji Laras, si Kancil, dan Burung But-but. Cerita itu diulang-ulang, tapi saya tetap menikmatinya lantaran gaya cerita dan pertanyaan-pertanyaan di tengah maupun diakhir cerita yang memancing ingatan sekaligus memancing daya imajinasi, karena pertanyaan itu membuat saya mengingat-ingat sekaligus membuat gambaran kronologi cerita dalam imajinasi saya.

Setelah saya raba dan saya hayati pengaruh dongeng-dongeng tersebut dalam diri saya, saya merasakan bahwa dengan dongeng tersebut diri saya secara perlahan mencintai alam semesta dengan segala keindahannya. Hal itu karena gaya mendongeng nenek yang kuat sekali dalam mendeskripsikan suasana. Dongeng Panji Laras misalnya, dalam gaya penyampaian nenek yang paling saya ingat adalah deskripsi yang detail sekali tentang rumah Panji Laras yang hidup bersama neneknya di gubuk reot, berdinding anyaman bambu, beratap daun ijuk, dan terletak di tepi hutan yang lebat sekali.

Begitu juga dengan perjalanan Panji Laras saat ingin menetaskan telor temuannya ke tengah hutan. Nenek saya selalu menceritakan indahnya pepohonan, bunga-bunga dengan  kupu-kupu di kelopaknya, gemericik sungai dan hewan-hewan kecil di sepanjang perjalanan yang seakan turut menyemangati Panji Laras dalam perjalanannya.

Sejak kecil saya sudah ada kecenderungan menyukai hal-hal yang alami. Saya begitu suka melihat pohon dengan cabang yang landai, sehingga bisa untuk dinaiki dan berteduh sambil bersantai di atas dahan itu. Atau saya juga menyukai liku-liku aliran parit di sawah. Dengan parit itu saya membuat perahu dari pelepah pohon pisang, menghanyutkan perahu itu dan membuntutinya dari belakang seakan-akan saya mengarungi sungai dengan pelepah itu dan menjumpai banyak tempat-tempat yang indah.

Bagi saya semua itu merupakan pengaruh dongeng-dongeng yang disampaikan nenek hampir setiap sebelum tidur malam. Rasa-rasanya sangat nikmat sekali menjelang memejamkan mata sambil membayangkan cerita yang sudah usai. Membayangkan wajah tokoh-tokoh dalam cerita tersebut dan lingkungannya yang indah.

Pengalaman selanjutnya tentang pengaruh dongeng pada pendengarnya adalah saat asmara saya diambang kehancuran, karena kekasih saya akan dijalinkan dengan laki-laki pilihan ibunya. Kita semua tahu bagaimana budaya nenek moyang kita yang kental dengan patriarkatisme. Yaitu sistem tata keluarga yang mana kekuasaan atas semua hal yang menyangkut keluarga ada di tangan orang tua, terutama ayah. Orang tua menjadi penentu segalanya atas apa yang dilakukan anak, termasuk pasangan hidup dan pekerjaan. Nah, kekasih saya adalah salah satu korban dari budaya tersebut.

Dia adalah gadis manis yang sangat taat kepada orang tuanya. Tatakala senyumnya mekar, daun-daun yang kering seakan hijau kembali. Karena kepatuhannya kepada orang tua, pada awalnya dia tidak berani menolak permintaan orang tuanya untuk dijalinkan dengan orang lain. Dia hanya mampu mengutarakan keinginannya bersamaku secara halus kepada orang tuanya. Dan ketika orang tuanya tetap pada keinginan menjalinkan dia dengan orang lain, dia hanya bisa pasrah dan mengiyakan.

Saat itu saya sudah tak bisa berbuat apa lagi. Saya segera mengemasi kenangan-kenangan saat aku bersama dia. Selanjutnya saya segera bersiap-siap membangun cinta yang baru, meski dengan susah payah tentunya. Saya sudah berpamitan dengan dia, dan saya mulai itu tidak akan lagi menghubunginya melainkan dengan jeda waktu yang lama. Mungkin setelah kami sama-sama berkeluarga nanti. Hanya untuk sekedar bertegur sapa dan menanyakan kabar.

Namun beberapa hari kemudian ia menghubungiku, mengeluh padaku tidak tahan dengan paksaan ibunya tersebut. Ia ingin melawan kehendak orang tuanya, namun ia tidak mampu. Di tengah keterpurukan asmaraku, aku melipurnya dan menguatkan hatinya. Ya, yang bisa saya lakukan hanyalah dua hal itu.

Hingga pada suatu saat, ia mengatakan bahwa keponakannya yang seusia 3 tahun mencari saya. Katanya ia rindu kepada saya karena lama tidak berkunjung ke rumahnya dan menagih janji saya untuk mendongenginya tentang kisah Raja Angin. Saya memang beberapa kali berkunjung ke rumah kekasih saya dan kebetulan kakaknya yang mempunyai dua anak masih serumah dengan ibu. Jadi setiap kali saya ke sana saya selalu bermain dengan keponakannya tersebut. Dan saya pernah menjanjikan akan menceritakan dongeng “Raja Angin” kepadanya.

Saya tidak bisa bermain ke rumahnya karena hanya tinggal beberapa hari keluarga laki-laki pilihan ibunya akan melamar kekasih saya. Akhirnya melalui telepon, saya menceritakan kisah Raja Angin kepada kekasih saya, untuk diceritakan lagi pada keponakannya di rumah. Dengan seperti itu saya bisa menepati janji saya kepada keponakannya yang masih 3 tahun.

Setelah saya bercerita tentang Raja Angin tersebut, kekasih saya sering mengatakan bahwa ia tidak bisa seperti Maharani, tokoh utama dalam cerita Raja Angin tersebut. Maharani adalah tokoh utama yang tegar dengan pendiriannya, tegar dengan pilihannya, dan ia tidak takut dengan  hal-hal yang ditakuti perempuan pada umumnya. Rupanya tokoh Maharani menjadi pusat cermin bagi kekasih saya.

Selama beberapa hari tersebut kami sering mengobrol melalui telepon. Dalam obrolan kami tokoh Maharani selalu muncul sebagai simbol kekuatan untuk memperkokoh pendirian. Dan dengan itu secara konsisten tokoh Maharani sebagai sumber kekuatan kekasih saya untuk berusaha terus mempertahankan keinginannya untuk bersamaku, dengan mengutarakan apa yang diinginkannya kepada orang tuanya.

Pengaruh dongeng Raja Angin luar biasa. Dia mampu melawan kehendak orang tuanya tersebut dengan frontal. Dia terang-terangan kepada ibunya dengan menjelaskan bahwa hidup dengan orang yang tidak dicintainya adalah penyiksaan. Dan tindakan yang paling berani adalah sebagai penentu kisah kami selanjutnya, yaitu dia terang-terangan kepada laki-laki pilihan ibunya, bahwa sebenarnya dia mengiyakan dengan laki-laki tersebut karena dipaksa.

Itulah akhir dari segala tekanan yang membuatnya sangat tersiksa. Laki-laki pilihan ibunya mengundurkan diri dengan baik-baik, dan kekasih saya kembali pada saya. Kami pun bersama lagi dengan gelora cinta yang semakin menggebu dan berkobar membakari segala rintangan yang menghadang.

Dua hal tersebut yang bagi saya adalah pengalaman langsung bagaimana cerita bisa sangat berpengaruh bagi pembaca dan pendengarnya. Melalui deskrpisi nenek saya yang detail tentang keindahan alam membuat saya mencintai alam, hingga saya masuk ke organisasi pecinta alam MAPALA TURSINA saat saya penempuh pendidikan di perguran tinggi. Dan tokoh Maharani mampu membakar semangat kekasih saya untuk mempertahankan harapan-harapan hidupnya bersama saya.

Cerita memang salah satu cara yang efektif untuk menjelaskan kehidupan. Kitab suci al-Quran banyak mengajarkan kehidupan kepada manusia melalui cerita-cerita Nabi-nabi terdahulu, sebelum nabi Muhammad SAW. Kisah Ashabul Kahfi, kisah Nabi Ibrahim, Kisah Nabi Musa dan Fir’aun, dan masih banyak lagi. Kisah-kisah tersebut membuka pengetahuan manusia tentang kebaikan dan keburukan. Juga menjadi inspirasi manusia untuk bersikap dan berbuat.

“Jas Merah = Jangan melupakan sejarah” kata Soekarno. Karena sejarah merupakan cerita tentang rentetan kejadian manusia-manusia terdahulu, yang bisa kita ambil hikmah dan pelajarannya. Maka berceritalah, mendongenglah tentang kehidupan. Karena mendongeng adalah mengajar dengan cara yang rapi. Kumpulkanlah anak-anak, kawan-kawan, serta saudara-saudara, dan mulailah bercerita tentang apa saja.