Minggu, 06 Januari 2013

Dongeng Sebagai Pembentuk Karakter


Saya teringat bagaimana nenek saya setiap sebelum tidur mendongeng tentang Panji Laras, si Kancil, dan Burung But-but. Cerita itu diulang-ulang, tapi saya tetap menikmatinya lantaran gaya cerita dan pertanyaan-pertanyaan di tengah maupun diakhir cerita yang memancing ingatan sekaligus memancing daya imajinasi, karena pertanyaan itu membuat saya mengingat-ingat sekaligus membuat gambaran kronologi cerita dalam imajinasi saya.

Setelah saya raba dan saya hayati pengaruh dongeng-dongeng tersebut dalam diri saya, saya merasakan bahwa dengan dongeng tersebut diri saya secara perlahan mencintai alam semesta dengan segala keindahannya. Hal itu karena gaya mendongeng nenek yang kuat sekali dalam mendeskripsikan suasana. Dongeng Panji Laras misalnya, dalam gaya penyampaian nenek yang paling saya ingat adalah deskripsi yang detail sekali tentang rumah Panji Laras yang hidup bersama neneknya di gubuk reot, berdinding anyaman bambu, beratap daun ijuk, dan terletak di tepi hutan yang lebat sekali.

Begitu juga dengan perjalanan Panji Laras saat ingin menetaskan telor temuannya ke tengah hutan. Nenek saya selalu menceritakan indahnya pepohonan, bunga-bunga dengan  kupu-kupu di kelopaknya, gemericik sungai dan hewan-hewan kecil di sepanjang perjalanan yang seakan turut menyemangati Panji Laras dalam perjalanannya.

Sejak kecil saya sudah ada kecenderungan menyukai hal-hal yang alami. Saya begitu suka melihat pohon dengan cabang yang landai, sehingga bisa untuk dinaiki dan berteduh sambil bersantai di atas dahan itu. Atau saya juga menyukai liku-liku aliran parit di sawah. Dengan parit itu saya membuat perahu dari pelepah pohon pisang, menghanyutkan perahu itu dan membuntutinya dari belakang seakan-akan saya mengarungi sungai dengan pelepah itu dan menjumpai banyak tempat-tempat yang indah.

Bagi saya semua itu merupakan pengaruh dongeng-dongeng yang disampaikan nenek hampir setiap sebelum tidur malam. Rasa-rasanya sangat nikmat sekali menjelang memejamkan mata sambil membayangkan cerita yang sudah usai. Membayangkan wajah tokoh-tokoh dalam cerita tersebut dan lingkungannya yang indah.

Pengalaman selanjutnya tentang pengaruh dongeng pada pendengarnya adalah saat asmara saya diambang kehancuran, karena kekasih saya akan dijalinkan dengan laki-laki pilihan ibunya. Kita semua tahu bagaimana budaya nenek moyang kita yang kental dengan patriarkatisme. Yaitu sistem tata keluarga yang mana kekuasaan atas semua hal yang menyangkut keluarga ada di tangan orang tua, terutama ayah. Orang tua menjadi penentu segalanya atas apa yang dilakukan anak, termasuk pasangan hidup dan pekerjaan. Nah, kekasih saya adalah salah satu korban dari budaya tersebut.

Dia adalah gadis manis yang sangat taat kepada orang tuanya. Tatakala senyumnya mekar, daun-daun yang kering seakan hijau kembali. Karena kepatuhannya kepada orang tua, pada awalnya dia tidak berani menolak permintaan orang tuanya untuk dijalinkan dengan orang lain. Dia hanya mampu mengutarakan keinginannya bersamaku secara halus kepada orang tuanya. Dan ketika orang tuanya tetap pada keinginan menjalinkan dia dengan orang lain, dia hanya bisa pasrah dan mengiyakan.

Saat itu saya sudah tak bisa berbuat apa lagi. Saya segera mengemasi kenangan-kenangan saat aku bersama dia. Selanjutnya saya segera bersiap-siap membangun cinta yang baru, meski dengan susah payah tentunya. Saya sudah berpamitan dengan dia, dan saya mulai itu tidak akan lagi menghubunginya melainkan dengan jeda waktu yang lama. Mungkin setelah kami sama-sama berkeluarga nanti. Hanya untuk sekedar bertegur sapa dan menanyakan kabar.

Namun beberapa hari kemudian ia menghubungiku, mengeluh padaku tidak tahan dengan paksaan ibunya tersebut. Ia ingin melawan kehendak orang tuanya, namun ia tidak mampu. Di tengah keterpurukan asmaraku, aku melipurnya dan menguatkan hatinya. Ya, yang bisa saya lakukan hanyalah dua hal itu.

Hingga pada suatu saat, ia mengatakan bahwa keponakannya yang seusia 3 tahun mencari saya. Katanya ia rindu kepada saya karena lama tidak berkunjung ke rumahnya dan menagih janji saya untuk mendongenginya tentang kisah Raja Angin. Saya memang beberapa kali berkunjung ke rumah kekasih saya dan kebetulan kakaknya yang mempunyai dua anak masih serumah dengan ibu. Jadi setiap kali saya ke sana saya selalu bermain dengan keponakannya tersebut. Dan saya pernah menjanjikan akan menceritakan dongeng “Raja Angin” kepadanya.

Saya tidak bisa bermain ke rumahnya karena hanya tinggal beberapa hari keluarga laki-laki pilihan ibunya akan melamar kekasih saya. Akhirnya melalui telepon, saya menceritakan kisah Raja Angin kepada kekasih saya, untuk diceritakan lagi pada keponakannya di rumah. Dengan seperti itu saya bisa menepati janji saya kepada keponakannya yang masih 3 tahun.

Setelah saya bercerita tentang Raja Angin tersebut, kekasih saya sering mengatakan bahwa ia tidak bisa seperti Maharani, tokoh utama dalam cerita Raja Angin tersebut. Maharani adalah tokoh utama yang tegar dengan pendiriannya, tegar dengan pilihannya, dan ia tidak takut dengan  hal-hal yang ditakuti perempuan pada umumnya. Rupanya tokoh Maharani menjadi pusat cermin bagi kekasih saya.

Selama beberapa hari tersebut kami sering mengobrol melalui telepon. Dalam obrolan kami tokoh Maharani selalu muncul sebagai simbol kekuatan untuk memperkokoh pendirian. Dan dengan itu secara konsisten tokoh Maharani sebagai sumber kekuatan kekasih saya untuk berusaha terus mempertahankan keinginannya untuk bersamaku, dengan mengutarakan apa yang diinginkannya kepada orang tuanya.

Pengaruh dongeng Raja Angin luar biasa. Dia mampu melawan kehendak orang tuanya tersebut dengan frontal. Dia terang-terangan kepada ibunya dengan menjelaskan bahwa hidup dengan orang yang tidak dicintainya adalah penyiksaan. Dan tindakan yang paling berani adalah sebagai penentu kisah kami selanjutnya, yaitu dia terang-terangan kepada laki-laki pilihan ibunya, bahwa sebenarnya dia mengiyakan dengan laki-laki tersebut karena dipaksa.

Itulah akhir dari segala tekanan yang membuatnya sangat tersiksa. Laki-laki pilihan ibunya mengundurkan diri dengan baik-baik, dan kekasih saya kembali pada saya. Kami pun bersama lagi dengan gelora cinta yang semakin menggebu dan berkobar membakari segala rintangan yang menghadang.

Dua hal tersebut yang bagi saya adalah pengalaman langsung bagaimana cerita bisa sangat berpengaruh bagi pembaca dan pendengarnya. Melalui deskrpisi nenek saya yang detail tentang keindahan alam membuat saya mencintai alam, hingga saya masuk ke organisasi pecinta alam MAPALA TURSINA saat saya penempuh pendidikan di perguran tinggi. Dan tokoh Maharani mampu membakar semangat kekasih saya untuk mempertahankan harapan-harapan hidupnya bersama saya.

Cerita memang salah satu cara yang efektif untuk menjelaskan kehidupan. Kitab suci al-Quran banyak mengajarkan kehidupan kepada manusia melalui cerita-cerita Nabi-nabi terdahulu, sebelum nabi Muhammad SAW. Kisah Ashabul Kahfi, kisah Nabi Ibrahim, Kisah Nabi Musa dan Fir’aun, dan masih banyak lagi. Kisah-kisah tersebut membuka pengetahuan manusia tentang kebaikan dan keburukan. Juga menjadi inspirasi manusia untuk bersikap dan berbuat.

“Jas Merah = Jangan melupakan sejarah” kata Soekarno. Karena sejarah merupakan cerita tentang rentetan kejadian manusia-manusia terdahulu, yang bisa kita ambil hikmah dan pelajarannya. Maka berceritalah, mendongenglah tentang kehidupan. Karena mendongeng adalah mengajar dengan cara yang rapi. Kumpulkanlah anak-anak, kawan-kawan, serta saudara-saudara, dan mulailah bercerita tentang apa saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar