Senin, 13 September 2010

Tebak-tebakan

Di tengah gemuruh orasi calon bupati yang seakan menjungkirbalikkan bumi, Sinyo merasa kalimat-kalimat yang mengepul bagai asap itu sudah sering kali didengarnya. Namun, toh keadaan tetap saja dan tak ada perubahan. Maka Sinyo menyeret beberapa temannya untuk menepi sekedar menikmati kopi.

Kamis, 09 September 2010

Tiga puisi dalam antologi G 30 S (Gempa 30 September) Padang

Lagu Para Tani

Tanahku, air mata yang jatuh
Secuil kekecewaan. Padamu saja
Sebab Tuhan Maha Kuasa segala

Tanahku, langkah kita beriringan
Akankah sampai di sini. Karena
Kau menguburku. Maka rinduku
Jadi abu. Berserak di reruntuhan

Tanahku, apalah arti pengabdian
Berabad kau Tuan hamba petani
Meski kemarau membakar hati
Gagal mengetam datang bertubi

Atau kau telah lupa. Bajak siapa
Setia menyisir gerai kulitmu. Pada
Kaki yang tak segan bercanda
Dengan becek hitam lumpurmu

Apa kau sudah buta. Bedakan
Keculasan dan kebenaran. Hingga
menumpuk setumpuk. Para
Abdimu dengan mucikari dunia

Pada langit yang menguning
Pada desir angin di tepi tebing
Sebentar jerit mengangkasa
Sudah hancur lebur semua

Tanahku, masih tersisa niat
Mengabdi. Tapi kini kita bersatu
Karena aku adalah debumu

Kediri, 0ktober 2009


Di antara Duka

Matahari. Kau berkhianat
Melayang indah
Di atas rumah-rumah
Rebah ke tanah

Angin. Kau berkhianat
Menari gemulai
Di antara sanak famili
Mati terkulai

Awan. Kau berkhianat
Biarkan cerah cakrawala
Mengejek duka
Tak kunjung reda

Hanya rembulan
Bisa mengerti

Mengendap-endap
Di tengah malam

Dengan sipit mata
Seperti keluar airnya.

Kediri, Oktober 2009


Lara Anak-Anak

Tidurlah...
Tidurlah ular besar
Dalam perut bumi
Jangan kau batuk
Hingga bumiku terantuk
Dan lelaplah isi dunia
Dengan tangis para tetangga

Pelanlah...
Pelanlah batu sahabatku
Menyangga bumi
Jangan kau bergerak
Hingga halaman rumah retak
Dan aku tak bisa lagi
Di punggungmu menari gemulai

Pulanglah...
Pulanglah kakak
Sebelum gelap hari
Jangan kau berpangkuan
Dengan abang di tepi sungai
Kata guruku; itu
Membuat marah bumi

Ular besar, batu-batu, kakakku
Rumah-rumah bertabrakan
Genting-genting berjatuhan
Orang-orang berlarian
Orang-orang menangis
Dan bapak ibu, kata orang;
Pergi lama kembali

Kediri, Oktober 2009

Heorisme Kyai Yahya

Setelah kemerdekaan diberikan
Tergambarlah kebebasan
Dan tinggal sketsa fana
Saat belanda kembali
Pijakkan kaki
Di tanah ini

Tawa menjadi hampa
Gembira menjelma duka
Kota ini tergenang tuba

Geram pun meledak
Menjadi desingdesing tembak
Merobek udara pekak
Di setiap gerak

Namun apa daya
Garuda tanpa cakar
menyala

Geram diurungkan
Dendam-dendam
dipadamkan

Di tengah pecah
pertempuran mengancam
Dengan berpuluh santri
Kyai Yahya tetap mengaji
di Pondok Gading permai
Dan selongsong rudal
Kembali terpental
Dari cerobong-cerobong
meriam
membentur pojok masjid

Haha...
hanya tergores rupa
Menara masjid
Tetap mencakar langit
Selongsong rudal
Tak kuasa memberai dirinya

Kepala ‘Garuda Merah’
Mayor Sullam Syamsun
Melihat sinar berpendar
Memancar dari Pondok Gading
Dikepakkanlah sayapnya
Untuk bertemu Kyiai Yahya

Dua tali tersimpul
Hizib Nashar para santri
menjelma bala tentara
Dan pasukan ‘Garuda Merah’
memanggul senjata

Dua daya melebur Satu
Daya raga
Daya sukma
Menggelegar di langit liar
Berkilauan halilintar
Menjelma hujan api
Hanguslah kota ini

Genangan tuba menguap
Bagai asap sampah
Dari api-api suci

Malang kembali!
Malang kembali!
Lantang suara awal hari.

Malang Januari 2009

Kyai Yahya adalah ulama' kharismatik pengasuh Pondok Gading Malang. Beberapa saksi mengatakan, beliau bersama santrinya berjuang angkat senjata dalam pengusiran penjajah di beberapa daerah pasca kemerdekaan Indonesia. Padahal, beliau hanya di Pondok Gading membaca Hizib Nashar bersama para santri. Puisi ini serapan dari buku biografi beliau, "Heroisme Kyai Yahya dalam Perang Gerilya"

- Sudah dimuat di Malang Post 1 Februari 2009