Di
tengah gemuruh orasi calon bupati yang seakan menjungkirbalikkan bumi, Sinyo
merasa kalimat-kalimat yang mengepul bagai asap itu sudah sering kali
didengarnya. Namun, toh keadaan tetap saja dan tak ada perubahan. Maka Sinyo
menyeret beberapa temannya untuk menepi sekedar menikmati kopi.
“Udahlah,
percuma saja kamu mendengarnya. Tak didengar pun kalau yang dikatakannya benar
pasti akan ia lakukan.” Sinyo mencoba mencari teman menikmati kopi hangat di
warung tak jauh dari situ.
Akhirnya
dia berhasil membawa dua temannya, yang seorang berwajah legam. Tubuhnya tegap
dan sigap. Matanya tajam menatap. Ia seorang buruh tani. Kedua agak ceking,
kedua pipinya berlesung ketika tertawa. Ia seorang pengecer telur ayam.
Mengambil dari para peternak lalu menyetorkan ke toko-toko kecil.
Kini
tiga kopi hangat sudah berada di hadapan tiga pemuda desa yang punya latar
belakang berbeda. Sebungkus rokok seperti meluncur begitu saja dari saku Sinyo.
Lalu ketiganya segera menyulut dengan korek api dan memainkan kepulan asapnya.
Seperti para orator memainkan kepulan kata-katanya.
Pekerjaan
menjadi hal yang tidak menarik untuk dibicarakan di saat seperti ini. Lalu
mereka beranjak ke soal perempuan, tak bertahan lama bosan juga. Apalagi bicara
soal politik, duh, bagai mengunyah duri.
”Nah,
aku punya tebakan. Pirtut litandahi, apa artinya?” Sinyo membuka percakapan
setelah beberapa saat ketiganya diam dalam kegentingan.
”Duh,
apa ya..” seorang temannya garuk-garuk kepala memikirkan kalimat yang diambil
bagian suku katanya tersebut.
”Pir
kecut...&^%$#” seorang mencoba menjawab.
”Salah..
jauh banget” Sinyo mengklarifikasi
”Nyerah
deh” kedua temannya berkata hampir bersamaan
”Supir
ngentut, kuli dalan sing nadahi. Hahaha” Sinyo mengurai tebakannya dengan
bangga.
”Ipaktusek
icipturi, apa hayooooo?” kali ini si wajah legam melontarkan tebakan yang tak
kalah serunya. Kedua temannya cuma meraba-raba jawaban dan akhirnya menyerah.
”Tai
papak metu disek, tai lincip metu keri.”
”
Kwakakaka.” ketiganya tertawa terpingkal-pinggal sambil membayangkan tai-nya
saat buang air besar alias be’ol.
”Kalo
ini, Rukdul watditul ngancut?” si pipi lesung tak mau kalah melontar tebakan.
Wah, yang ini tambah panjang, pasti lebih sulit. Nyerah deeeh.
”Jeruk
gumandul disrawat gendhi putul dipangan kecut.”
”Hwahahahahaha”
ketiganya terbahak-bahak.
”Kalo
Suru blekitu?” Sinyo melontar tebakan yang ke dua kali.
”Asu
turu dibleki watu” kedua temannya menjawab hampir bersamaan. Yang ini mah, udah
seringkali diungkapkan sama orang-orang, pikir mereka.
Tak
terasa beberapa pengunjung yang kebetulan mendengar gelagat mereka ikut juga
tertawa terpingkal-pingkal. Begitulah gambaran saat ini. Pembicaraan tentang
hiburan lebih menarik dari pada membicarakan keseriusan yang menjelma hiburan,
yaitu POLITIK.