Rabu, 21 Mei 2014

Lamunan Sarpan

Dihisapnya rokok dalam-dalam, lalu dihembuskan pelan-pelan. Asap lembut keluar dari mulutnya berurutan. Lalu dipandanginya pisang goreng, tahu isi, tape goreng, dan rentengan berbagai kerupuk yang tersaji di depannya.

Tak lama kemudian datang satu orang. Ia tak beralas kaki. Titik-titik keringat di kening dan lengannya berkilauan, menandakan bahwa ia baru saja menjalani pekerjaan yang melelahkan. Bau langu getah kayu membubung dari orang itu. Dan di pundaknya terdapat serpihan-serpihan kulit kayu. Tanpa ragu ia mengambil pisang goreng dan langsung menggigitnya. Kemudian dengan suara serak ia berucap, “es teh satu, bu”. Lalu dikunyahnya lagi pisang itu dengan kuat. Seakan-akan ia sudah menahan rasa lapar dalam beberapa waktu.

Sarpan masih menghisap lagi rokoknya, sambil sesekali menyeruput kopi hitam di depannya. Lalu dipandanginya ibu penjaga kedai yang sibuk dengan gelas, gula, teh, dan air panas dalam termos. Dengan cepat ia mengaduk teh dalam gelas, dan dengan cepat pula ia menyajikannya pada kuli kayu itu.

Beberapa saat kemudian datang dua orang. Dua orang tersebut duduk di sampingnya. Kedua kakinya belepotan tanah liat. Sudah tentu yang dua orang ini adalah petani. Di tengah hari ini mereka menghindari terik matahari dengan menggelontorkan minuman dan beberapa jajanan di kedai.

Semua itu hanya sedikit pengalih kegundahan Sarpan siang itu. Pikirannya kembali lagi pada persoalan pada dirinya. Lalu ia mulai membanding-bandingkan dirinya dengan orang-orang tersebut. Apakah mereka juga mengalami apa yang dialaminya. Ah tentu tidak, pikirnya. Dilihat dari wajahnya, petani dan tukang kayu itu lebih ceria darinya, meskipun ia bersepatu dan berbaju masuk, namun mereka lebih ceria dibanding dirinya.

Barangkali kuli kayu dan petani itu penghasilannya tidaklah seberapa, namun beban yang ditanggungnya juga tidak banyak. Orang-orang seperti mereka lebih nerimo dengan apa yang dipunyainya. Menerima dengan apa yang diperolehnya membuat mereka bahagia. Kemudian Sarpan melihat dirinya sendiri. Meskipun penghasilannya lebih banyak dari orang-orang yang duduk di sampingnya, namun ia terpuruk saat ini.

Dulu, waktu ia masih lajang, ia memegang prinsip bahwa jika ia menikah kelak, ia akan memilih gadis yang benar-benar dicintainya. “Lha kita kan menikahi gadisnya, bukan hartanya, kan?” Begitu ucapnya kepada teman-temannya yang mengutamakan kekayaan calon mertuanya. “Lha kita kan menikahi orangnya, bukan mertuanya atau neneknya kan?” begitu ucapnya kepada teman-teman yang mengutamakan keturunan calon istri. “Lha kita menikahi ceweknya kan, bukan menikahi pangkat atau pekerjaannya?”, begitu ia berucap kepada teman-temannya yang mengutamakan karir calon istri.

Sarpan begitu yakin bahwa cinta yang murni akan memandang yang dicintainya saja, tak lain. Tidak memandang apa yang menghiasinya bahkan apa yang ada di sekitarnya. Karena menurutnya jika masih memandang hal-hal di luar apa yang dicintai, maka cintanya bukan lagi murni, namun imitasi.

Waktu masih mengaji di madrasah dulu kyainya pernah bilang bahwa ada sebuah hadist yang mengatakan bahwa dalam memilih istri itu ada empat pertimbangan yang sangat prinsip. Pertama kecantikannya, kedua nasabnya, ketiga kekayaannya, dan keempat akhlak dan agamanya. Namun dari keempat itu, jika akhlak dan agama kurang, maka yang lainnya menjadi tidak baik. Dari hal itu bisa dipahami bahwa ada pertimbangan-pertimbangan di luar dari yang dicintai, namun itu tidaklah yang utama. Karena tetap akhlak baik yang menjadi utama, sedang akhlak baik tentu suatu hal yang ada dalam sesorang yang dicintai. Prinsip itu ia pegang erat hingga pada saat ia menentukan pendamping hidupnya.

Dan benar saja ketika ia menentukan pilihan, maka yang menjadi patokan utama ialah seorang yang dipinangnya. Ia menutup mata terhadap kondisi keluarga calon istrinya, juga saudara-saudaranya. Ketika ia mengetahui yang akan dijadikan istri adalah orang yang baik, maka dia langsung menentukan pilihan. Ia sudah mendapatkan cinta yang murni, pikirnya saat itu.

Pesta pernikahan Sarpan diselenggarakan cukup meriah. Tamu-tamu banyak yang berdatangan memberikan doa dan ucapan selamat. Ia bahagia, duduk berdua di pelaminan dengan seseorang yang dicintainya secara murni. Maka Sarpan sudah tak sabar untuk menyampaikan rencana panjang yang sudah matang kepada istrinya. Rencana itu tentang rintisan keluarga yang bahagia.

Dengan berjalannya waktu, Sarpan semakin yakin bahwa ia tidak salah memilih istrinya. Ia kenal betul dengan karakter istrinya, dan memang karakter seperti itu yang diinginkannya. Maka ia segera menyampaikan rencana besar mengenai arah keluarganya. Meliputi merintis ekonomi dan menentukan pendidikan anaknya kelak.

Namun sayang sekali, rencana itu tidak bertahan lama. Pada sebuah malam, ketika ia berkunjung di rumah mertuanya, istrinya dipanggil oleh ayah ibunya, didudukkan di ruang tamu. Sedang Sarpan pada saat itu barada di kamar.

“Dulu acara resepsi pernikahanmu, sebenarnya memakai uang dari bank”. Ibu berkata terus terang. “Kami meminjam dari bank sebanyak tiga puluh juta. Uang itu diangsur selama dua tahun, jadi satu bulan sekitar 1,7 juta”. Perkataan ibu diperkeras, seakan supaya nyaringnya terdengar hingga di telinga Sarpan.
Istri Sarpan hanya terdiam.

“Kami sudah mengangsurnya selama delapan kali. Dan merasa keberatan. Kamu tahu sendiri kan, pendapatan keluarga kita tidaklah seberapa. Saya bermaksud untuk meminta bantuan kalian melunasi hutang kita”. Begitulah akhir pembicaraan malam itu. Istri Sarpan mengiyakan permintaan ibunya, dan tentu ia akan bermusyawarah dulu dengan Sarpan.

Sejak saat itu, rencana yang sudah berjalan menjadi kacau. Tabungan Sarpan semakin bulan tidaklah bertambah, melainkan terus berkurang untuk menutupi biaya hidupnya. Penghasilannya sebagai pegawai honorer pemerintah memang cukup untuk hidup berdua dan masih bisa menyisakan uang untuk tabungan. Namun, semenjak membantu mertuanya melunasi hutang, keadaan ekonominya menjadi kacau.

Hal itu terus berlarut hingga istrinya hamil dan melahirkan. Kebutuhan yang lebih banyak, menjadikan tabungannya kini habis terkuras. Bahkan untuk membeli keperluan sehari-hari ia sempat beberapakali kesulitan karena kondisi keuangan yang jelek.

Di saat titik jenuh keuangan melanda, ia memberanikan diri menanyakan mas kawin yang digunakan sebagai mahar menikah dulu. Sarpan berniat ingin meminjamnya. Dan ia sungguh kaget ketika istrinya mengatakan bahwa mas kawin yang ia terima sudah habis dipakai ibunya. Dan yang lebih membuat terkejut, uang mas kawin itu sebenarnya sudah disimpan di lemari kamar isrtinya di rumahnya. Lalu entah bagaimana ibu istrinya mengetahui uang itu, mengambilnya dan membelanjakannya. Baru setelah beberapa waktu mertuanya bilang kepada istrinya tentang uang itu. sejak itu di benak Sarpan mulai tumbuh pikiran negatif tentang keluarga istrinya.

Ia mulai merasa gelisah. Bagaimanapun mertua adalah sama dengan orang tuanya sendiri. Menghormatinya, mematuhinya, tentu tak berbeda dengan mematuhi orang tua sendiri. Namun yang menyesakkan dada jika beberapa tanggung jawab yang seharusnya dilaksanakan oleh mertua, lalu dilimpahkan kepada menantunya. Bisakah hal itu disebut sebagai pemerasan. Ah bodoh sekali, bagaimana mungkin orang tua bisa disebut memeras anaknya. Bukankah diri dan harta anak itu milik orang tua. Sungguh persoalan yang pelik.

Persoalan ini dipikirnya hanya sendiri saja. Istrinya tidak mungkin diajak berembuk untuk mencari solusinya. Karena selain yang bersangkutan adalah ayah ibunya, istrinya juga masih lugu dan polos. Bisa jadi ia berangggapan positif terhadap diri Sarpan. Hal itu dilihat dari persoalan ketika uang mas kawinnya diambil ibunya tanpa izin, lalu dibelanjakan, namun istrinya hanya diam dan mempermasalahkan.

Juga tidak mungkin persoalan ini disampaikan kepada orang tua Sarpan. Hal itu bisa menumbuhkan pikiran negatif dalam diri orang tuanya tentang besannya. Dan kalau sudah tumbuh pikiran negatif maka hubungan antara dua keluarga sudah bisa dipastikan tidak bisa harmonis. Dan Sarpan sangat khawatir jika hal itu terjadi, karena bisa memecah silaturrahmi yang sudah terjalin.

Kini keluarga Sarpan tidak seharmonis dulu. Sering terjadi pertengkaran antara ia dan istrinya. Pertengkaran itu lah jauh dari masalah keuangan keluarga. Si kecil yang lucu tentu membutuhkan seabrek perlengkapan dan keperluan tumbuh kembangnya. Namun Sarpan tetap tidak berterus terang bahwa salah satu faktor memburuknya keuangan karena persoalan hutang. Hal itu akan menyakiti hati istrinya.

Diam-diam ia menyetujui apa yang dulu dikatakan temannya, yang mana ditolak mentah-mentah olehnya pada saat itu. “Cita-citaku adalah mencari istri anak konglomerat. Biar setelah menikah aku tak perlu capek-capek cari kerja. Karena sudah tersedia lapangan pekerjaan yang menjanjikan. Makanya sekarang aku bersungguh-sungguh mendalami ilmu manajemen, ya untuk mempersiapkan itu”.

Atau perkataan temannya yang lain, “Bagaimanapun juga mertua itu turut menentukan karir kita. Mertua yang banyak kenalan, banyak mitra kerja, akan mengarahkan kita dalam karir dan pekerjaan. Bisa jadi menempatkan kita di pekerjaan yang baik”.

Kini Sarpan menyadari bahwa mencari istri itu hakikatnya adalah satu paket beserta keluarganya. Bagaimanapun kedudukan keluarga istri adalah sama dengan keluarganya sendiri. Maka baik dan buruknya, bahagia dan sedihnya, menantu turut merasakannya.

Ia tersadar dari lamunannya. Dua petani dan kuli kayu sudah tak ada di sampingnya. Barangkali mereka ke kedai ini memang karena hanya ingin rehat sejenak, melepaskan beban kecil di pundaknya. Bukan seperti dirinya, yang mendamaikan hati yang sedang terbebani dengan tumpukan persoalan.

Dihisapnya rokok dalam-dalam, lalu dihembuskan pelan-pelan. Asap lembut keluar dari mulutnya berurutan. Lalu dipandanginya pisang goreng, tahu isi, tape goreng, dan rentengan berbagai kerupuk yang tersaji di depannya.

Rabu, 14 Mei 2014

Parkir Bebas

Bersandar di pematang menunggu para penanam. Dingin sungai dan terik mentari mengekalkan diam. Adalah yang terindah, bagi para sepeda. Dari pada di gelap malam mendiam, atau di gudang sepanjang siang mendekam.