Aku hanya bisa memandangimu dari kaca cendela rumahku. Di
saat bintik-bintik hujan menguyur halaman rumahmu, kau tetap duduk di tepi
sungai kecil, yang menjadi batas antara jalan dan halaman. Matamu terus
mengikuti lalu-lalang kendaraan. Sesekali kau sapa orang-orang yang kebetulan
lewat. Dengan tatapan kosong.
Tidak ada tanda-tanda itu sewaktu kecil. Kau salah satu anak
yang ceria, dan boleh dibilang sering unggul dalam permainan. Apa kamu masih ingat, saat kita berjalan
bersama lainnya di lorong-lorong sampah; berburu bungkus rokok untuk kita
lipatjadikan jirak. Lalu dengan jirak itu kita bertaruh tentang kelihaian
membidik dengan lempengan pecahan genteng atau tegel.
Saat gunung sampah masih mengeluarkan asap putih, kau
berlalu saja di atasnya dengan telanjang kaki. Mengorek permukaan ke dalam dan
dengan seperti itu kau bisa mendapatkan lebih banyak bungkus rokok ketimbang
aku yang hanya di tepian karena takut tertusuk pecahan kaca atau menginjak bara
api yang masih berasap. Dan kau selalu berbagi barang satu atau dua bungkus
rokok.
Di saat musim ikan Berta, kau adalah yang pertama kali
membuat kolam kecil dari plastik. Ikan-ikan itu hidup di dalamnya dan
berkembang biak. Aku dan teman-teman pun mengikuti keasyikan itu, meski
hasilnya tidak sebaik kolammu. Begitu pula anak-anak gemar beternak burung merpati,
siapa lagi kalau bukan karena kamu.
Apakah ingatan itu tak sedikit pun membesit di pikiranmu.
Sewaktu kau bilang cincin yang kau kenakan sudah diisi rajah oleh seorang
ulama, lalu dengan amarah kau berusaha memukulnya dan akhirnya kau terbanting
ke tanah, seolah-olah cincin itu memiliki kekuatan ghaib. Dan saat itu, saat
aku mencobanya dengan amarah yang aku bangun dalam pikiran, ingin memukul
cincin itu tapi tak kurasakan tekanan apa pun. Meski seperti itu aku
berpura-pura terpental, supaya kau tidak dipermalukan teman-teman kita. Ya,
saat aku terguling-guling di tanah itu hanyalah pura-pura belaka.
Kita sudah dewasa sekarang, dan masih aku merindukan
masa-masa kecil kita. Setidaknya aku masih ingin berkali-kali menceritakan
persahabatan kita saat itu. Terakhir kita bermain adalah lima belas tahun lalu,
yaitu menerbangkan layang-layang di sawah belakang rumah. Waktu itu matamu
masih memancar, lakumu masih berjiwa seorang anak yang tangkas.
Namun keinginan bercerita kupaksa untuk tenggelam saja dalam
kenangan di hati. Kita dekat sekali, bahkan hanya berbatas kaca cendela yang
buram lantaran debu dan hujan. Namun hanya bisa kulihat dirimu duduk di teras
rumah, kadang-kadang di tepi sungai yang dulu sering kita bermain perahu kertas
di permukaan airnya. Setelah lama kita tak bersapa aku ingin sekali
mendekatimu, sekedar menyapa atau bertanya kabar, tapi aku masih ragu.
Orang-orang mengatakan, apa yang kamu alami sekarang adalah
keturunan. Menurut mereka, ibumu yang entah sejak kapan memiliki kelainan jiwa
menurunkan kelainan itu pada dirimu. Namun aku tak akan pernah percaya akan hal
itu. Bukankah sewaktu kita masih bersama, sama sekali tak tampak ciri-ciri itu.
Kau bahkan lebih cerdas dari yang lainnya. Hingga aku menelusuri, mencari
jejakmu selama kita berpisah. Kepada teman-teman aku tanyakan tentang dirimu.
Akhirnya aku mendapatkan kabar yang kurang lebih seperti ini;
Saat sekolah di SMA, kau menaruh hati pada seseorang. Kau
melakukan pendekatan hingga suatu hari jadian sama seorang itu. Anaknya cantik
memang, ia anak pengusaha tempe kripik yang cukup terpandang lantaran
keberhasilannya. Homeindustri keluarganya bisa dibilang paling besar diantara
lainnya. Namun apa arti semua itu, cinta remaja adalah cinta yang memicingkan
mata. Ia hanya melihat apa yang dicintainya. Keluarga, harta, dan apa pun yang
di luar dari yang dicintai bukan menjadi hal yang utama, bahkan selalu
diacuhkan.
Dengan semangat waktu, hubungan kalian semakin matang.
Setelah merampungkan studi di SMA kalian berniat mengencangkan hubungan dengan
membangun pelaminan. Pertama-tama kau bersilaturrahmi ke rumahnya, berbicara
kepada orang tuanya tentang hal yang tidak ada kaitannya dengan pernikahan. Ya,
hanya kau bilang kau teman sekolahnya. Tapi di malam harinya, kekasihmu itu
berbicara serius kepada bapaknya; bahwa kau adalah pacarnya.
Mendengar curhatan hati anak gadisnya, si bapak biasa-biasa
saja. Ia tidak begitu menanggapi. Ya barangkali menurutnya suatu yang wajar
seusia anaknya mulai menjalin kekasih. Lalu kekasihmu mengabarkan padamu bahwa
itu adalah kabar baik, “kita direstui” katanya dengan wajah berbinar. Dan
dipastikan hatimu saat itu tak terkira bahagianya.
“Rani, sepertinya sudah saatnya kita benar-benar menaiki
bahtera keluarga. Penghasilanku dari kerja sablon dan percetakan sudah cukup
untuk hidup sederhana.” Kau ucapkan kata itu pada kekasihmu di suatu malam.
Kekasihmu tersenyum, lalu mengeratkan genggaman tanganmu atas tangannya. Begitu
kau bercerita pada teman-teman.
Sejak setelah itulah kekasihmu tak bisa dihubungi. Telfonnya
selalu dinonaktifkan. Begitu juga tak kau temukan dia di tempat-tempat yang
sering dikunjunginya. Hingga suatu saat kau mendapatkan sepucuk surat yang
dititipkan temannya, surat itu dari Rani. Surat itu kau buka, kalimatnya kacau
dan tidak teratur dan yang lebih menggiriskan; Rani mengajak putus. Kau tidak
percaya kalau itu benar dari Rani, meski kamu sudah sangat hafal kalau surat itu
memang ditulisnya.
Di satu kesempatan kau bisa menemui Rani dan memang benar,
ia meminta kau melupakannya. Ia meminta kau menghapusnya dari segala ingatanmu.
Saat itu pikiranmu pasti tak menentu, sesingkat itu ia menginginkan berakhirnya
hubungan kalian berdua. Dan yang lebih membingungkan saat kau tanyakan kenapa
harus putus, ia hanya menjawabnya dengan airmata.
Lalu kau terus berusaha mencari tahu tetang Rani. Dari
temenmu yang lainnya kau mendapat kabar bahwa Rani pernah mengatakan padanya
tentang persoalan yang dilandanya. Bapaknya tidak setuju jika ia menikah
denganmu, lantaran rumahmu yang reyot, pekerjaanmu yang cuma buruh sablon, dan
pekerjaan orang tuamu yang buruh serabutan, terlebih lagi kondisi ibumu.
Sejak saat itu kau sering berada di halaman rumah,
memandangi rumahmu. Rumah tak begitu besar dengan jendela papan kayu. Dan di
bawah tritis terdapat bagupon dengan beberapa ekor merpati. Kau mulai
meninggalkan pekerjaanmu menyablon, dan yang kau lakukan hanya memandangi
rumahmu dari halaman. Hingga sampai saat ini, sebelum mentari bersinar kau
sudah berdiri di halaman dan kembali masuk rumah tatakala matahari benar-benar
tertimbun pegunungan di barat sana.
Aku bisa merasakan kesedihan itu, sahabatku. Rani adalah
cinta pertama dan terakhirmu. Tapi seharusnya kau tidak menjadi seperti ini.
Harus kau ketahui bahwa cinta tidak harus jatuh pada satu orang. Cintamu
seharusnya masih bisa untuk mencintai orang lain yang barangkali lebih baik
dari Rani kekasihmu. Pandanganmu harus luas, tidak sempit seperti itu. Hidup
ini penuh dengan kemungkinan-kemungkinan, sahabatku. Seharusnya kau mengetahuinya
sejak dulu.
Ada rasa bersalah pada diriku. Kenapa aku melupakanmu, tidak
pernah menyapamu dari kejauhan. Seandainya kita masih menyambung komunikasi,
aku yakin kau akan mengatakan persoalan asmaramu padaku. Cinta pertamaku juga
gagal, tapi aku sudah tahu, bahwa kegagalan bukan akhir dari semuanya.
Seharusnya kita bisa saling berbicara meski aku di perantauan yang jauh darimu.
Aku hanya ingin mengatakan bahwa kegagalan bukan akhir segalanya.
Kamu harus tahu, sahabatku. Saat dia memutuskanmu lanataran
kondisimu yang kekurangan menurut mereka, bukan berarti kamu tidak mampu
mencintai. Namun kau mampu mencintai melebihi kemampuan cinta orang-orang yang
berlimpah. Kebanyakan orang-orang yang berlimpah berambisi meraih kesuksesan,
berambisi pada kekayaan dan kekuasaan. Tapi mereka sama sekali tak mampu
mencintai, karena semua yang mereka lakukan itu adalah agar mereka dicintai. Sedangkan
kamu mencintai dengan seutuh jiwa ragamu. Kamu tidak membawa-bawa rumah dan
kekuasaan dalam mencintai, tapi kau membawa semangat dalam dirimu. Kau membawa
harapan dan cita-cita yang paling puncak; membahagiakan Rani, semangat untuk
mencintai.
Seandainya kau mengetahui hal itu sejak dulu, tentu kau
tidak akan berputus asa. Bahkan kau akan lebih giat mengembangkan kemampuanmu untuk
mencintai gadis lain. Ah, andai saja kau tahu sejak dulu, atau seandainya kita
masih bisa saling mengobrol tentu akan lain dengan yang sekarang ini.
***
Lama-lama kakiku tergerak untuk mendekatinya. Maka kulangkahkan
menuju halaman rumahnya. Ifan masih duduk di tepi sungai. Bintik-bintik hujan
menjadi bintik-bintik embun di rambutnya. Rambut yang gondrong dan lama tak
disisir. Raut mukanya masih sama dengan lima belas tahun lalu, hanya sedikit
kusam. Setelah jarak kami tinggal beberapa meter, aku mencoba menyapanya, “Fan!”.
Dia menoleh. Pandangannya kosong.