Berani mencintai berarti juga berani menanggung segala
resiko yang diakibatkan darinya, termasuk patah hati. Itu adalah hukum alam.
Kita tidak bisa terhindar darinya. Kita mengambil sesuatu dengan segala
resikonya, atau tidak mengambil sama sekali. Dan hanya orang-orang yang berani
menerima akibat dari yang ia lakukan, ialah orang-orang yang kuat.
Setiap manusia pasti pernah merasakan cinta. Merasakan
geloranya. Bagaimana setiap sesuatu menjadi indah, bahkan hal-hal yang
sebelumnya dibenci, tatkala di masa gelora cinta yang dibenci pun tiba-tiba
disukainya tanpa suatu alasan yang jelas. Itulah gelora cinta, dimana keindahan
menjadi pangkal dari segala sudut pandang.
Gelora cinta adalah gelombang yang memberi kekuatan jiwa.
Yang menumbuhkan gairah kehidupan, dan yang memberikan kekuatan raga untuk
melakukan hal-hal besar sekalipun. Cinta membangkitkan harapan-harapan dan
cita-cita, melenyapkan semua bentuk dendam, dan kesemuanya itu membangkitkan
kualitas hidup seseorang.
Ketika seorang berada di puncak gelora cinta lalu rintangan
mulai menghadang, semangat untuk menyingkirkan segala rintangan menyala-nyala
seperti api yang bangkit untuk membakar kayu. Namun semua itu hanyalah akan
menjadi kebohongan ketika dihadapkan dengan kekuatan budaya balas budi. Dimana
orang tua sebagai orang yang paling berjasa dalam hidup setiap orang, menjadi
kuasa atas segala pilihan seorang tersebut, dan celakanya mencampuri urusan
cinta, sedangkan urusan cinta adalah urusan rasa. Rasa yang murni dari
kedalaman hati yang dimulai dari ketertarikan antara dua individu yang berbeda
yang ingin bersatu.
Budaya balas budi adalah monster yang siap menerkam siapa
saja, sebuah jurang api yang siap meleburkan apa saja, hujan belati yang siap
mencincang siapa saja yang terperangkap di dalamnya. Balas budi menjadi jebakan
paling sukses sepanjang sejarah manusia. Ia melemahkan dengan menyenangkan,
menjerumuskan dengan mengangkat martabat, dan menusuk tanpa menghunus. Sebuah
cara paling kejam untuk mematikan apa saja yang dijadikan sasarannya.
Orang tua sebagai orang paling berjasa dalam tumbuh
kembangnya anak adalah salah satu orang yang memiliki senjata paling mematikan
ini. Orang tua mendidik setiap anak, merawat, menimang, memberikan kasih
sayangnya, secara langsung ia mengasah senjata balas budi yang bisa digunakan
untuk menikam anaknya kelak dewasa nanti.
Adalah anak yang paling malang, yang orang tuanya tega
mengeluarkan senjata terampuh untuk melemahkannya. Demi keinginan dan ambisi
orang tua kepada anaknya, ia menggunakan senjata itu. Senjata balas budi.
Senjata terlaknat di dunia, mengungkit-ungkit jasanya untuk mengendalikan
anaknya yang sebatang kara tanpa dukungannya. Maka orang tua yang dulu dianggap
sebagai penyayang utama dalam kehidupan anak, anak mulai berpikir, bahwa orang
tuanya kini menjadi kanibal paling kejam di dunia.
Orang tua yang egois, mementingkan dirinya sendiri,
mementingkan kehormatannya di atas apa pun, akan memasung anak, mencarikan
jalur hidupnya, meski anak tidak suka dan tidak menemukan
kecenderungan-kecenderungan dengan jalur itu. Maka yang terjadi adalah
pertentangan harapan dan cita-cita. Anak mencoba mengutarakan keinginannya,
mencoba menyuarakan pilihannya, dan orang tua akan mengeluarkan gaman paling
tajam yaitu balas budi. Orang tua mulai mengungkit-ungkit jasanya pada anak, ia
mengungkapkan bagaimana susahnya mendidik anak waktu kecil, mengganti popok,
memandikan, menyuapi, dan dengan seperti itu orang tua menjadi pembunuh
karakter paling kejam, sedangkan anak menjadi tak berdaya, menjadi mati rasa.
Hal itu akan lebih menyengsarakan tatkala berada di kawasan
cinta. Dimana cinta bermula dari kecenderungan rasa. Pekerjaan dan profesi bisa
saja disiasati jika orang yang melakukan tidak ada kecocokan dengannya. Tapi
dalam ranah cinta, siapa yang bisa menyiasatinya. Dalam urusan pekerjaan ketidakcocokan
akan reda begitu kita keluar kantor atau keluar dari jam kerja. Namun cinta,
cinta adalah jalinan rasa yang membelit antara dua manusia. Dimana pun berada,
kapan pun waktunya, cinta selalu mengiringi hidup manusia. Cinta bermukim dalam
jiwa hingga akhir hayat manusia. Siapa yang bisa menyiasati cinta.
Maka orang tua yang mengeluarkan aji-aji paling bangsat itu
untuk maksakan kehendak cinta seorang anak, ia telah merubah kepercayaan,
keteladanan, dan kebersamaan anak menjadi kebencian yang dalam saat itu juga.
Saat itu juga. Kepercayaan, keteladanan, dan kebersamaan anak dengan orang tua
akan musnah seketika berganti dengan rasa benci yang tiada duanya. Sedangkan
anak hanya akan menerima begitu saja, atau jika melawan dia akan menjadi
seorang anak yang terkutuk karena menentang kehendak orang tua. Merupakan
sebuah mitos yang sempurna untuk membodohkan dan melemahkan.
Maka mari kita ucapkan bela sungkawa atas yang terjadi pada
setiap manusia yang dipaksakan cintanya oleh orang tua. Semoga mereka bisa
menyesuaikan diri, bisa membangun cinta meski dengan susah payah. Semoga mereka
diberi kekuatan untuk menerima segala kekejaman orang tua yang menggunakan
sejata balas budi yang mengerikkan. Dan semoga kekalahan anak dalam bersuara buka semata karena ketertundukannya pada orang tua, namun ia sudah benar-benar berusaha berjuang untuk mendapatkan apa yang mereka harapkan, dengan sekeras-keras usaha.
Dan sebagai calon orang tua, mari kira renungkan hakikat
dari kebebasan, kebebasan memilih jalan hidup, kebebasan untuk mencintai,
dengan batasan-batasan kebaikan. Anak-anak kita nanti mempunyai kecenderungan
sendiri-sendiri, dan beruntung sekali mereka jika kita mempunyai orang tua
dengan pengetahuan yang mumpuni dalam mengarahkan jalan hidup mereka. Mengarahkan,
dan bukan memaksakan. Sekali lagi, hanya mengarahkan.
hehe,,, pengalaman pribadi yak??
BalasHapusmenyentuh sob,, :D
assalamualaikum,,,
BalasHapusmas faiz.. mau ada kompalind,, duulu teather al-islam pertma berdiri dgn nama auf klarung,, mohon di perjelas, n jgn gnti nama qta,, klu bisa, di perjuangkan,,
insy allah, ada bukti klu qt prnah brdiri adanya teater,, suwuuun :)
wa'alaikumslam,,
Oh pernah ada teaternya? Saya tanya ke anak-anak belum pernah ada. Ya, kalau memang sudah ada berarti saya tinggal membangunkan lagi dari tidur panjang. Soalnya selama ini tidak ada kegiatan pelatihan teater. Nama Auf Klarung juga bagus. Nanti semester dua kami mulai bermain, insyaallah dengan nama Auf Klarung. :-)
Hapus