Minggu, 20 Juli 2025

Menyusuri Jejak Waktu di Pasar Antik Triwindu Solo

Pada 24 Januari 2025 lalu menjadi hari yang berkesan karena untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Pasar Antik Triwindu, Solo. Kunjungan saya ke sana bersama dua teman, keduanya juga untuk pertama kalinya menjejakkan kaki di Pasar Triwindu. Pasar ini sudah lama saya dengar sebagai surga bagi para pencinta barang antik, dan kunjungan kali ini benar-benar menjadi pengalaman yang tak terlupakan.

Halaman pasar Triwindu

Begitu tiba di Pasar, suasana khas masa lampau langsung menyergap. Bangunan pasar dua lantai itu dipenuhi lapak-lapak kecil yang berjajar rapat, menawarkan ragam barang antik dari berbagai zaman. Setiap sudut seakan membawa saya menelusuri lorong waktu — dari peninggalan era kerajaan hingga memorabilia era kolonial. Ada topeng-topeng kayu tua, radio kuno, kamera analog, cangkir keramik, hingga perabot perunggu yang mulai berkarat namun tetap memesona.
Klinting kebo dan beberapa kriya kayu sebagai koleksi salah satu lapak pasar Triwindu

Saya melangkah pelan, mencoba menikmati setiap detail benda yang saya lihat. Ada aroma khas dari barang-barang lama — campuran debu, kayu tua, dan logam — yang justru membentuk atmosfer masa lalu. Masing-masing barang seakan memiliki kisahnya sendiri. Sebuah gilingan kopi misalnya, tentu menyiratkan sebuah keluarga di masa lalu yang untuk menyeduh secangkir kopi harus melalui proses panjang dan jeli. Seperti nenek saya sendiri -saat saya masih kecil- ia selalu membeli biji kopi dari pasar, lalu menggilingnya sendiri di rumah. Kadang setelah kakek menyeruput kopi berkelakar, "kopinya kaya kerikil", lalu nenek segera mengencangkan setelah gilingan kopi supaya hasilnya lebih lembut. Gilingan kopi di depan saya langsung memunculkan aroma kopi di rumah nenek waktu itu.

Lampu gantung dan keramik kuno

Sebagai penggemar mesin ketik, saya juga tak melewatkan kesempatan untuk menelisik keberadaan benda favorit itu di pasar ini. Namun, pencarian yang saya lakukan tak sepenuhnya membuahkan hasil menggembirakan. Hanya beberapa mesin ketik yang saya temukan, itupun dalam kondisi mengenaskan — tuts yang copot, cat yang mengelupas, dan debu yang menutupi bodinya. Meski begitu, keberadaannya tetap menyiratkan kisah masa lalu yang menggugah rasa penasaran.

Lapak yang sesak dengan barang mana judu

Setelah puas berkeliling dari satu lapak ke lapak lain, kami menyempatkan diri singgah di sebuah warung kopi di belakang pasar. Tempatnya sederhana, tapi justru di situlah letak pesonanya. Bangunan dan furnitur bergaya jadul membuat pengalaman ngopi seolah membawa kami benar-benar mundur ke beberapa dekade lalu. Sambil menyeruput kopi panas dan menikmati suasana, saya merasa hari itu menjadi momen kontemplatif yang hangat.

Menikmati kopi sambil kembali ke masa lalu

Perjalanan singkat itu memberikan kesan mendalam. Pasar Triwindu bukan sekadar tempat jual beli barang antik, tetapi juga ruang hidup bagi kenangan dan nilai-nilai sejarah. Saya pulang dengan hati puas dan harapan, semoga suatu hari nanti bisa kembali menyusuri jejak-jejak waktu di pasar penuh cerita ini.

Senter dan aneka lampu kuno

Salah satu sudut di lantai dua

Petunjuk arah toilet

Pedagang dan pengujung

Salah satu sisi lantai dua

Awas ketiduran