Senin, 04 Januari 2021

Nikah

Materi ini bersumber dari kitab Fathu Qorib.

Nikah secara bahasa digunakan untuk mengungkapkan makna mengumpulkan, bersenggama, dan akad. Dan secara syariah nikah adalah akad yang mengandung beberapa rukun dan syarat.

Hukum Nikah

Nikah disunnahkan bagi orang yang membutuhkannya sebab keinginan kuat untuk melakukan wathi’ (seks) dan ia memiliki biaya seperti mas kawin dan nafkah. Jika tidak memiliki biaya maka tidak disunahkan untuk menikah.

Nikah Empat Wanita Bagi Laki-Laki Merdeka dan Dua Wanita Bagi Budak

Bagi laki-laki merdeka diperbolehkan menikahi empat wanita merdeka, kecuali jika haknya hanya satu saja seperti nikahnya lelaki idiot dan sesamanya, yaitu pernikahan yang tergantung pada kebutuhan saja. Bagi seorang budak walaupun budak mudabbar, muba’adl, mukatab, atau budak yang digantungkan kemerdekaannya dengan sebuah sifat, diperkenankan hanya menikahi dua istri saja.

Memandang Lawan Jenis

Pandangan seorang lelaki pada wanita terbagi menjadi tujuh macam:

Yang pertama, pandangan seorang laki-laki, walaupun sudah tua renta dan tidak mampu lagi berhubungan intim kepada wanita lain (bukan mahram dan bukan istri) tanpa ada keperluan untuk memandangnya, maka hukumnya tidak diperbolehkan (haram). Jika pandangannya karena ada keperluan seperti menjadi saksi atas wanita tersebut, maka hukumnya diperbolehkan.

Yang kedua, pandangan seorang laki-laki pada istri dan budak perempuannya. Maka diperbolehkan melihat keduanya selain bagian kemaluan. Sedangkan bagian kemaluan, maka hukum melihatnya adalah haram. Dan ini pendapat yang lemah. Menurut pendapat yang paling shahih adalah diperbolehkan melihat bagian kemaluan akan tetapi disertai hukum makruh.

Yang ketiga, pandangan seorang laki-laki pada wanita-wanita mahramnya, baik sebab nasab (karena keturunan), radla’(karena persusuan) ataupun pernikahan, atau pada budak wanitanya yang telah dinikahkan dengan orang lain, maka diperkenankan baginya memandang anggota badan selain anggota di antara pusar dan lutut. Sedangkan melihat anggota di antara keduanya, hukumnya haram.

Yang keempat adalah melihat wanita lain karena ingin dinikahi. Ketika seseorang ingin menikahi seorang wanita, maka diperbolehkan melihat wajah dan kedua telapak tangan luar dalam wanita tersebut, walaupun calon istri tersebut tidak memberi izin melakukannya.

Menurut tarjihnya imam an-Nawawi, ketika seorang lelaki hendak melamar budak wanita, maka ia diperbolehkan melihat budak wanita tersebut bagian badan yang diperkenankan untuk dilihat dari wanita merdeka.

Yang kelima adalah melihat karena untuk mengobati. Maka seorang dokter laki-laki diperbolehkan melihat pasien wanita lain pada bagian-bagian yang akan diobati hingga bagian farji (kemaluan) sekalipun. Hal itu dapat lakukan di depan mahram, suami, atau majikan pasien wanita tersebut. Dan memang tidak ada dokter wanita yang bisa mengobati pasien wanita tersebut.

Yang keenam adalah memandang karena tujuan bersaksi atas seorang wanita. Maka seorang saksi diperbolehkan melihat farji wanita lain ketika ia bersaksi atas perbutan zina atau melahirkan yang dialami oleh wanita tersebut. Sehingga, jika ia sengaja melihat dengan tujuan selain bersaksi, maka ia dihukumi fasiq dan persaksiannya ditolak. Atau memandang karena untuk melakukan transaksi jual beli atau yang lain dengan seorang wanita, maka baginya diperbolehkan memandang pada wanita tersebut. Mushannif berkata, “tertentu hanya memandang bagian wajahnya saja”.

Yang ketujuh adalah memandang budak wanita ketika hendak membelinya. Maka baginya diperbolehkan memandang bagian-bagian badan yang butuh untuk dipandang/ dibolak balik Sehingga ia diperkenankan memandang bagian-bagian tubuh dan rambutnya, tidak bagian auratnya.

Syarat Nikah

Akad nikah menjadi sah apabila memenuhi syarat-syarat perkawinan yaitu adanya wali nikah pihak perempuan, adanya dua saksi laki-laki yang adil dan ijab kabul yakni serah terima dari wali nikah dan mempelai laki-laki.

Akad nikah tidak bisa sah kecuali dengan hal-hal tersebut. Akad nikah hukumnya tidak sah kecuali disertai dengan wali yang adil. Dalam sebagian redaksi dengan bahasa, “dengan seorang wali laki-laki”. Hal ini mengecualikan seorang wanita. Karena sesungguhnya seorang wanita tidak bisa menikahkan dirinya sendiri atau orang lain. Akad nikah juga tidak bisa sah kecuali dengan hadirnya dua orang saksi yang adil.

Syarat Wali dan Saksi

Mushannif menjelaskan syarat masing-masing dari wali dan dua saksi di dalam perkataan beliau. Seorang wali dan dua orang saksi membutuhkan enam syarat:

Pertama adalah Islam. Sehingga wali seorang wanita tidak boleh orang kafir, kecuali permasalahan yang dikecualikan oleh mushannif setelah ini. Kedua adalah baligh. Sehingga wali seorang wanita tidak boleh anak kecil. Ketiga adalah berakal. Sehingga wali seorang wanita tidak boleh orang gila, baik gilanya terus menerus atau terputus-putus.

Keempat adalah merdeka. Sehingga seorang wali tidak boleh berupa budak di dalam ijab (serah) nikah. Seorang budak diperkenankan menjadi orang yang qabul (terima) di dalam akad nikah. Kelima adalah laki-laki. Sehingga seorang wanita dan khuntsa tidak bisa menjadi wali nikah. Keenam adalah adil. Sehingga seorang wali tidak boleh fasiq.

Dari keterangan di atas, mushannif mengecualikan permasalahan yang tercakup di dalam ungkapan beliau, Hanya saja, sesungguhnya pernikahan wanita kafir dzimmi tidak mengharuskan walinya beragama islam. Pernikahan seorang budak wanita tidak mengharuskan majikkannya adil, sehingga hukumnya sah walaupun majikan yang menikahkannya adalah orang fasiq.

Semua syarat yang telah disebutkan di dalam wali juga disyaratkan di dalam dua saksi nikah. Adapun seorang yang buta tidak sampai mencacatkan hak menjadi wali menurut pendapat paling shahih.

Urutan Wali Nikah

Wali-wali yang paling berhak menikahkan adalah ayah, lalu kakek yang menjadi ayahnya ayah, kemudian ayahnya kakek dan seterusnya. Kakek yang lebih dekat dengan wanita yang hendak dinikahkan harus didahulukan daripada kakek yang lebih jauh. Kemudian saudara lelaki seayah seibu (kandung). Seandainya mushannif mengungkapkan, “asy syaqiq (kandung)”, niscaya lebih ringkas.

Kemudian saudara lelaki seayah. Lalu anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah seibu walaupun hingga ke bawah. Kemudian anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah walaupun hingga ke bawah. Kemudian paman dari jalur ayah yang seayah seibu (dengan ayah). Lalu paman dari jalur ayah yang seayah (dengan ayah). 

Kemudian anak laki-lakinya, maksudnya anak laki-laki masing-masing dari keduanya walaupun hingga ke bawah sesuai dengan urutan di atas. Sehingga anak laki-laki paman yang seayah seibu lebih didahulukan dari pada anak laki-laki paman yang seayah. Jika ahli ashabah dari jalur nasab sudah tidak ada, maka yang berhak menikahkan adalah majikan laki-laki yang telah memerdekakannya. Kemudian ahli ashabah majikan tersebut sesuai dengan urutan di dalam masalah warisan.

Adapun majikan wanita yang telah memerdekakan ketika ia masih hidup, maka yang berhak menikahkan wanita yang telah ia merdekakan adalah orang yang berhak menikahkan majikan tersebut sesuai dengan urutan yang telah dijelaskan di dalam urutan wali dari jalur nasab.

Jika majikan wanita yang telah memerdekakan tersebut telah meninggal dunia, maka yang menikahkan wanita yang telah dimerdekakan olehnya adalah orang yang mendapat waris wala’ dari majikan wanita tersebut, kemudian anak laki-lakinya, lalu cucu laki-laki dari anak laki-lakinya. Kemudian seorang hakim berhak menikahkan ketika wali dari jalur nasab dan wala’ sudah tidak ada.

Lamaran

Kemudian mushannif beranjak menjelaskan permasalahan khitbah (melamar). Kata “al khitbah” dengan terbaca kasrah huruf kha’nya. Khitbah adalah permintaan seorang laki-laki yang melamar seorang wanita untuk menikah. Mushannif berkata, “tidak diperkenankan melamar wanita yang sedang menjalankan iddah wafat, talak ba’in dan talak roj’i, dengan bahasa sharih (terang-terangan).

Sharih adalah bahasa yang secara tegas menunjukkan keinginan untuk meminang, seperti ucapan seorang laki-laki pada wanita yang menjalankan iddah, “aku ingin menikahi kamu”. Jika seorang wanita yang sedang iddah namun bukan iddah talak raj’i, maka diperkenankan melamarnya dengan ta’ridl (bahasa sindiran), dan menikahinya setelah iddahnya selesai.

Ta’ridl adalah ungkapan yang tidak secara tegas menunjukkan keinginan untuk menikahinya akan tetapi hanya ihtimal (mirip-mirip) saja, seperti ungkapan seorang lelaki yang ingin melamar pada seorang wanita, “banyak sekali laki-laki yang menyukaimu”.

Sedangkan wanita yang terbebas dari hal-hal yang mencegah untuk menikah dan sebelumnya tidak ada yang melamar, maka diperkenankan melamarnya dengan bahasa sindiran dan bahasa terang-terangan.

Wanita Janda dan Perawan

Wanita terbagi menjadi dua, wanita-wanita janda dan perawan. Wanita janda adalah wanita yang keperawanannya telah hilang sebab wathi’ yang halal atau haram. Sedangkan wanita perawan adalah sebaliknya.

Bagi seorang ayah dan kakek -ketika sama sekali tidak ada ayah atau ayahnya tidak bisa menjadi wali- diperkenankan meng-ijbar (memaksa) anak perawannya untuk menikah, jika memang memenuhi syarat-syarat ijbar.

Yaitu calon mempelai wanita belum pernah diwathi’ vaginanya, dan dinikahkan dengan lelaki sepadan dengan mas kawin standar wanita tersebut yang diambilkan dari mata uang daerah setempat. Sedangkan wanita janda tidak diperkenankan bagi walinya menikahkan kecuali setelah wanita tersebut baligh dan memberi izin dengan ucapan tidak dengan diam saja.

Wanita Haram (Muhrim)

Wanita mahram atau muhrim adalah wanita yang haram dinikah karena adanya unsur kekerabatan atau pernikahan atau sesusuan. Ini mahram selamanya. Adapun wanita mahram yang bersifat sementara adalah dua wanita bersaudara hanya boleh dinikahi salahsatunya dalam waktu yang sama. Wanita-wanita yang diharamkan, maksudnya yang diharamkan untuk dinikahi dengan dalil Nash (Al Qur’an) ada empat belas.

Mahram Jalur Nasab

Yaitu tujuh wanita sebab nasab. Mereka adalah ibu hingga ke atas. Dan anak perempuan hingga ke bawah. Adapun anak wanita yang dihasilkan dari sperma zinanya seorang laki-laki, maka bagi laki-laki tersebut dihalalkan menikahinya menurut pendapat al-ashah, akan tetapi hukumnya makruh.

Baik wanita yang dizinai atas keinginan sendiri ataupun tidak. Sedangkan bagi seorang wanita maka tidak dihalalkan menikah dengan anaknya dari hasil zina. Ketiga, saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja atau seibu saja.

Keempat, bibik dari jalur ibu, baik secara hakikat atau dengan perantara seperti bibiknya ayah atau bibiknya ibu. Kelima, bibik dari jalur ayah, baik secara hakikat atau dengan perantara seperti bibiknya ayah dari jalur ayah. Keenam, putrinya saudara laki-laki dan cucu-cucu perempuannya dari anak laki-laki atau perempuan. Ketujuh, putrinya saudara perempuan dan cucu-cucu perempuannya dari anak laki-laki atau perempuan.

Mahram Karena Radha’ (Sesusuan)

Mushannif mengathafkan pada perkataan beliau di depan, “tujuh”, ungkapan beliau di sini, “dan dua wanita, maksudnya wanita-wanita mahram berdasarkan Nash Al Qur’an adalah dua wanita sebab radla’. Mereka adalah ibu yang menyusui dan saudara wanita dari radla’. Mushannif hanya menyebutkan dua wanita tersebut karena yang disebutkan di dalam Nash Al Qur’an hanya dua itu saja.

Jika tidak demikian, maka tujuh wanita yang diharamkan sebab nasab juga diharamkan sebab radla’ sebagaimana yang akan ditegaskan di dalam ungkapan matan.

Mahram karena Pernikahan

Dan wanita-wanita mahram berdasarkan Nash Al Qur’an adalah empat wanita sebab pernikahan. Mereka adalah ibunya istri walaupun ibunya yang seatas, baik dari jalur nasab atau radla’. Baik suami sempat jima’ dengan si istri ataupun tidak.

Yang kedua dan ketiga, rabibah (anak tiri), maksudnya putrinya sang istri ketika sang suami sempat melakukan jima’ dengan ibunya rabibah tersebut. Dan istrinya ayah, walaupun ayah seatasnya. Keempat, istrinya anak laki-laki walaupun hingga ke bawah.

Wanita Yang Hanya Haram Dikumpulkan

Wanita-wanita yang telah dijelaskan di atas adalah wanita yang haram dinikah untuk selamanya. Dan ada satu wanita yang haram dinikah namun tidak untuk selamanya akan tetapi dari sisi tidak boleh dikumpulkan saja. Dia adalah saudara perempuannya istri.

Sehingga bagi seorang laki-laki tidak diperbolehkankan mengumpulkan -dalam pernikahan- antara seorang wanita dengan saudara wanitanya sekaligus, baik yang seayah atau seibu, atau di antara dua wanita tersebut terdapat hubungan nasab atau radla’, walaupun saudara perempuan wanita yang dinikah itu rela untuk dimadu / dikumpulkan.

Seorang laki-laki juga tidak diperkenankan mengumpulkan antara seorang wanita dengan bibik wanita tersebut dari jalur ayah, dan antara seorang wanita dengan bibiknya dari jalur ibu. Sehingga, jika seorang laki-laki mengumpulkan antara wanita-wanita yang haram dikumpulkan dengan satu akad untuk menikahi keduanya, maka akad nikah keduanya batal.

Atau tidak mengumpulkan keduanya dalam satu akad akan tetapi menikahi keduanya secara berurutan, maka akad nikah yang kedua batal jika memang diketahui secara pasti wanita yang diakad terlebih dahulu. Sehingga, jika tidak diketahui, maka akad nikah keduanya menjadi batal.

Jika akad wanita yang pertama diketahui namun kemudian lupa yang mana, maka laki-laki tersebut dilarang mendekati keduanya. Dua wanita yang haram dikumpulkan dalam satu pernikahan, maka juga haram dikumpulkan di dalam wathi’ dengan milku yamin (kepemilikan budak).

Begitu juga haram jika salah satunya menjadi istri dan yang lainnya dimiliki sebagai budak Jika ia telah mewathi’ salah satu dari dua budak wanita yang ia miliki -yang haram untuk dikumpulkan-, maka budak yang satunya haram untuk diwathi’, kecuali budak wanita yang pertama telah haram baginya dengan salah satu jalan seperti menjual atau menikahkannya dengan orang lain.

Mushannif memberi isyarah pada batasan secara umum dengan ungkapan beliau, Wanita-wanita yang haram dari jalur nasab juga haram dari jalur radla. Telah dijelaskan bahwa sesungguhnya wanita yang haram dari jalur nasab ada tujuh orang, maka tujuh orang tersebut juga haram dari jalur radla’

Talak dan Khuluk

Talak secara bahasa adalah melepas ikatan. Dan secara syara’ adalah nama perbuatan untuk melepas ikatan pernikahan. Untuk terlaksananya talak, maka disyaratkan harus dilakukan oleh suami yang mukallaf dan atas kemauan sendiri. Sedangkan orang yang sedang mabuk, maka talak yang dilakukannya tetap sah karena sebagai hukuman baginya.

Pembagian Talak

Talak ada dua macam, talak sharih dan kinayah. Talak sharih adalah talak menggunakan bahasa yang tidak mungkin diarahkan pada selain talak. Sedangkan talak kinayah adalah talak menggunakan bahasa yang memungkinkan diarahkan pada selain talak.

Seandainya sang suami mengucapkan bahasa talak yang sharih dan dia berkata, “aku tidak menghendaki bahasa tersebut untuk mentalak”, maka kata-katanya ini tidak bisa diterima.

Talak Sharih

Talak sharih ada tiga lafadz. Yaitu lafadz “talak” dan lafadz-lafadz yang dicetak dari lafadz tersebut, seperti “saya mentalakmu”, “kamu orang yang tertalak”, dan “kamu orang yang ditalak.” Lafadz “al firaq” dan lafadz “as sarah”, seperti “faraqtuki”, “wa anti mufaraqatun”, “sarahtuki”, dan “anti musarrahatun.”

Di antara bentuk kalimat talak yang sharih adalah khulu’ yang disertai dengan penyebutan harta yang dijadikan sebagai iwadl. Begitu juga lafadz “al mufadah (tebusan).” Bentuk talak yang sharih tidak butuh pada niat.

Dikecualikan orang yang dipaksa melakukan talak, maka bentuk kalimat talak sharih yang ia lakukan menjadi bentuk talak kinayah. Jika ia niat menjatuhkan talak, maka jatuh talak. Dan jika tidak niat mentalak, maka tidak jatuh talak.

Talak Kinayah

Kinayah adalah bentuk lafadz yang memungkinkan diarahkan pada talak dan juga pada selain talak, dan butuh pada niat. Sehingga, jika lafadz kinayah tersebut diniati untuk menjatuhkan talak, maka jatuh talak. Dan jika tidak niat menjatuhkan talak, maka tidak jatuh talak.

Bentuk talak kinayah adalah seperti, “anti bariyah khaliyah (engkau adalah wanita yang bebas dan sepi)”, “susullah keluargamu”, dan bentuk-bentuk lain yang ada di dalam kitab-kitab yang lebih luas penjelasannya.

Macam-Macam Wanita Dalam Talak

Wanita di dalam permasalahan talak ada dua macam :

Satu macam adalah wanita yang bila ditalak, maka talaknya bisa berstatus sunnah dan bisa berstatus bid’ah, mereka adalah wanita-wanita yang memiliki (berusia) haidl. Yang dikehendaki mushannif dengan talak sunnah adalah talak yang diperbolehkan, sedangkan talak bid’ah adalah talak yang haram.

Talak sunnah adalah talak yang dijatuhkan oleh sang suami pada istri saat masa suci yang belum dijima’ pada masa suci tersebut. Dan talak bid’ah adalah talak yang dijatuhkan oleh sang suami pada istri saat masa haidl atau masa suci namun sudah melakukan jima’ pada masa suci tersebut.

Dan satu macam lagi adalah wanita yang bila ditalak, maka talaknya tidak berstatus sunnah juga tidak berstatus bid’ah. Mereka adalah empat wanita, yaitu wanita yang masih kecil, wanita ayisah yaitu wanita yang sudah tidak mengeluarkan darah haidl lagi, wanita hamil, wanita yang menerima khulu’, dan wanita yang belum dijima’ oleh suaminya.

Hukum-Hukum Talak

Dengan pertimbangan yang lain, talak terbagi menjadi talak wajib seperti talak yang dilakukan oleh suami yang sumpah ila’. Talak sunnah seperti mentalak istri yang tidak beres kelakukannya seperti berbudi jelek. Talak makruh seperti mentalak istri yang baik keadaannya. Talak haram seperti talak bid’ah dan sudah dijelaskan di depan.

Imam al Haramain memberi isyarah pada bentuk talak mubah dengan contoh mentalak istri yang tidak dicintai oleh suaminya dan hati sang suami tidak rela memberi nafkah tanpa ada unsur bersenang-senang dengan istri tersebut.

Khuluk

Definisi Khulu’

Lafadz “al khul’u’” dengan terbaca dommah huruf kha’nya yang diberi titik satu di atas, adalah lafadz yang tercetak dari lafadz “al khal’u” dengan terbaca fathah huruf kha’nya. Dan lafadz “al khal’u” bermakna mencopot. Secara syara’, khul’u adalah perceraian dengan menggunakan ‘iwadl (imbalan) yang maksud (layak untuk diinginkan). Maka mengecualikan khulu’ dengan ‘iwadl berupa darah dan sesamanya.

Syarat Khulu’

Khulu’ hukumnya sah dengan menggunakan ‘iwadl yang ma’lum dan mampu diserahkan. Sehingga, jika khulu’ menggunakan ‘iwadl yang tidak ma’lum seperti seorang suami melakukan khulu’ pada istrinya dengan ‘iwadl berupa pakaian yang tidak ditentukan, maka sang istri tertalak ba’in dengan memberikan ganti mahar mitsil.

Konsekuensi Khuluk

Dengan khulu’ yang sah, maka seorang wanita berhak atas dirinya sendiri. Dan sang suami tidak bisa ruju’ pada wanita tersebut, baik ‘iwadl yang digunakan sah ataupun tidak. Dan ungkapan mushannif, “kecuali dengan akad nikah yang baru” tidak tercantum di kebanyakan redaksi.

Khulu’ boleh dilakukan saat sang istri dalam keadaan suci dan dalam keadaan haidl, dan khulu’ yang dilakukan ini tidaklah haram. Wanita yang telah dikhulu’ tidak bisa ditalak. Berbeda dengan istri yang tertalak raj’i, maka bisa untuk ditalak.

Jenis Talak

Jenis talak yang dijatuhkan suami pada istri ada dua yaitu talak tanjiz (munajjaz) dan talak ta'liq (muallaq). Talak tanjiz adalah talak yang diucapkan secara langsung seperti "Kamu aku cerai.” Sedangkan talak muallaq adalah talak kondisional di mana suami menjatuhkan talak bersamaan dengan terjadinya sesuatu di masa depan. Seperti, "Kalau kamu menemui mantan kamu, kamu aku cerai," maka, cerai akan terjadi apabila istri melakukan larangan tersebut.

Hak Talak Suami

Suami yang merdeka memiliki hak talak tiga kali atas istrinya walaupun istrinya berstatus budak. Dan suami yang berstatus budak hanya memiliki hak talak dua kali atas istrinya, baik istrinya berstatus merdeka ataupun budak. Budak muba’adl, mukatab, dan budak mudabbar itu sama dengan budak yang murni.

Istisna’ (Mengecualikan) Dalam Talak

Istisna’ dalam talak hukumnya sah ketika istisna’ bersambung dengan talak yang diucapkan. Maksudnya sang suami menyambung lafadz “mustasna (yang dikecualikan)” dengan lafadz “mustasna minhu (yang diambil pengecualiannya)” dengan bentuk penyambungan secara ‘urf, dengan arti kedua lafadz tersebut dianggap satu perkataan secara ‘urf.

Juga disyaratkan suami harus niat mengecualikan sebelum selesai mengucapkan kalimat talak. Dan tidak cukup mengucapkan pengecualian tanpa disertai niat untuk mengecualikan. Dan juga disyaratkan yang dikecualikan (mustasna) tidak menghabiskan jumlah yang diambil pengecualiannya (mustasna minhu). Sehingga, jika menghabiskan seperti ucapan “engkau tertalak tiga kecuali tiga”, maka pengecualian tersebut batal.

Ta’liq (Penggantungan) Talak / Talak Kondisional

Sah menta’liq talak dengan sifat dan syarat. Seperti kata-kata “jika engkau masuk rumah, maka engkau tertalak”, maka sang istri menjadi tertalak ketika masuk rumah. Talak tidak bisa jatuh kecuali terhadap istri. Kalau demikian, maka talak tidak bisa jatuh -terhadap seorang wanita- sebelum menikah. Sehingga tidak sah mentalak wanita lain -bukan istri- dengan bentuk talak secara langsug seperti ucapan seorang laki-laki pada wanita tersebut, “aku mentalakmu.”

Dan juga tidak dengan bentuk talak yang digantungkan seperti ucapan seorang laki-laki pada wanita yang bukan istrinya, “jika aku menikah denganmu, maka engkau tertalak”, atau “jika aku menikah dengan fulanah, maka ia tertalak.”

Orang-Orang Yang Tidak Sah Menjatuhkan Talak

Ada empat orang yang tidak bisa menjatuhkan talak, yaitu anak kecil, orang gila, yang semakna dengan orang gila adalah orang epilepsi. Orang yang tidur dan orang yang dipaksa menjatuhkan talak, maksudnya dengan tanpa alasan yang benar.

Sehingga, jika pemaksaan tersebut di dasari dengan alasan yang benar, maka jatuh talak. Bentuk pemaksaan dengan alasan yang benar seperti penjelasan sekelompok ulama’, adalah pemaksaan talak yang dilakukan oleh seorang qadli terhadap suami yang melakukan sumpah ila’ setelah melewati masa ila’.

Syarat-Syarat Pemaksaan

Syarat ikrah / paksaan adalah kemampuan al mukrih (orang yang memaksa), dengan terbaca kasrah huruf ra’nya, untuk membuktikan ancamannya terhadap al mukrah (orang yang dipaksa), dengan terbaca fathah huruf ra’nya, baik dengan mengandalkan kekuasaan atau kekuatan.

Lemahnya al mukrah (orang yang dipaksa), dengan terbaca fathah huruf ra’nya, untuk melawan/ menghentikan al mukrih (orang yang memaksa), dengan terbaca kasrah huruf ra’nya, baik dengan lari darinya, meminta tolong pada orang yang bisa menyelamatkannya, atau cara-cara sesamanya.

Dan al mukrah (orang yang dipaksa) mempunyai dugaan bahwa sesungguhnya jika ia tidak mau melakukan apa yang dipaksakan padanya, maka al mukrih (orang yang memaksa) akan membuktikan ancamannya. Pemaksaan bisa hasil dengan ancaman pukulan keras, penjara, merusakkan harta atau sesamanya.

Ketika dari al mukrah (orang yang dipaksa) nampak ada qarinah (petunjuk) bahwa ia melakukan dengan keinginan sendiri, dengan contoh semisal seseorang dipaksa menjatuhkan talak tiga namun kemudian dia menjatuhkan talak satu, maka talak yang ia lakukan sah / jatuh.

Ketika ada orang mukallaf menggantungkan talak dengan sifat dan sifat tersebut baru wujud ketika orang tersebut tidak dalam keadaan mukallaf, maka sesungguhnya talak yang dita’liq dengan sifat tersebut menjadi jatuh. Orang yang sedang mabuk ketika menjatuhkan talak, maka talaknya sah seperti penjelasan di depan.

Rujuk

Lafadz “ar raj’ah” dengan terbaca fathah huruf ra’nya. Ada keterangan bahwa ra’nya terbaca kasrah. Raj’ah secara bahasa adalah kembali satu kali. Dan secara syara’ adalah mengembalikan istri pada ikatan pernikahan saat masih menjalankan ‘iddah talak selain talak ba’in dengan cara tertentu.

Dengan bahasa “talak” mengecualikan wathi syubhat dan dhihar. Karena sesungguhnya halalnya melakukan wathi dalam kedua permasalahan tersebut setelah hilangnya sesuatu yang mencegah kehalalannya tidak bisa disebut ruju’. Ketika seseorang mentalak istrinya satu atau dua kali, maka bagi dia diperkenankan ruju’ tanpa seizin sang istri selama masa ‘iddahnya belum habis.

Cara Rujuk

Ruju’ yang dilakukan oleh orang yang bisa bicara sudah bisa hasil dengan menggunakan kata-kata, di antaranya adalah “raja’tuki (aku meruju’mu)” dan lafadz lafadz yang ditasrif dari lafadz “raj’ah.” Menurut pendapat al ashah sesungguhnya ucapan al murtaji’ (suami yang ruju’),”aku mengembalikanmu pada nikahku” dan, “aku menahanmu pada nikahku” adalah dua bentuk kalimat ruju’ yang sharih. -menurut al ashah- Sesungguhnya ucapan al murtaji’, “aku menikahimu”, atau, “aku menikahimu” adalah dua bentuk kalimat ruju’ yang kinayah.

Syarat Orang Yang Rujuk

Syarat al murtaji’, jika ia tidak dalam keadaan ihram, adalah orang yang sah melakukan akad nikah sendiri. Kalau demikian maka ruju’nya orang yang mabuk hukumnya sah. Tidak sah ruju’nya orang murtad, anak kecil dan orang gila. Karena sesungguhnya masing-masing dari mereka bukan orang yang sah melakukan akad nikah sendiri.

Berbeda dengan orang yang safih dan budak. Maka ruju’ yang dilakukan keduanya sah tanpa ada izin dari wali dan majikan. Walaupun awal pernikahan keduanya membutuhkan / tergantung pada izin wali dan majikannya. Jika ‘iddah wanita yang tertalak raj’i telah selesai, maka bagi sang suami halal menikahinya dengan akad nikah yang baru. Dan setelah akad nikah yang baru tersebut, maka sang istri hidup bersama suaminya dengan memiliki hak talak yang masih tersisa. Baik wanita tersebut sempat menikah dengan laki-laki lain ataupun tidak.

Talak Ba’in Kubra

Jika suami mentalak sang istri dengan talak tiga, jika memang sang suami berstatus merdeka, atau talak dua jika sang suami berstatus budak, baik menjatuhkan sebelum melakukan jima’ atau setelahnya, maka wanita tersebut tidak halal bagi sang suami kecuali setelah wujudnya lima syarat.

Yang pertama, ‘iddah wanita tersebut dari suami yang telah mentalak itu telah habis. Yang kedua, wanita tersebut telah dinikahkan dengan laki-laki lain, dengan akad nikah yang sah. Yang ketiga, suami yang lain tersebut telah men-dukhul dan menjima’nya. Yaitu suami yang lain tersebut memasukkan hasyafah atau seukuran hasyafah orang yang hasyafah-nya terpotong pada bagian vagina sang wanita, tidak pada duburnya. Dengan syarat penisnya harus intisyar (berdiri), dan orang yang memasukkan alat vitalnya termasuk orang yang memungkinkan melakukan jima’, bukan anak kecil.

Yang ke empat, wanita tersebut telah tertalak ba’in dari suami yang lain itu. Yang kelima, ‘iddahnya dari suami yang lain tersebut telah selesai.

Iddah

‘Iddah secara bahasa adalah kalimat isim dari fi’il madli “i’tadda.” Dan secara syara’ adalah penantian seorang perempuan dalam jangka waktu yang bisa diketahui dalam rentan waktu tersebut bahwa kandungannya telah bersih, dengan beberapa masa suci, beberapa bulan atau melahirkan kandungan.

Macam-Macam Mu’taddah (Wanita Yang Menjalankan ‘Iddah)

Wanita mu’taddah ada dua macam, yaitu mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha (yang ditinggal mati suami) dan mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha (yang tidak ditinggal mati suami).

Wanita Iddah karena Ditinggal Mati Suami (Mu’taddah Mutawaffa‘Anha Zaujuha)

Untuk mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha, jika berstatus merdeka dan sedang hamil, maka ‘iddahnya sebab wafatnya sang suami adalah dengan melahirkan kandungan secara utuh hingga kandungan yang berupa dua anak kembar dengan syarat dimungkinkan nasab sang anak bersambung pada suami yang meninggal dunia walaupun hanya kemungkinan saja seperti anak yang dinafikan dengan sumpah li’an.

Sehingga, seandainya ada anak kecil meninggal dunia yang tidak mungkin bisa memiliki keturunan dan meninggalkan istri yang sedang hamil, maka ‘iddahnya sang istri adalah dengan melewati beberapa bulan, tidak dengan melahirkan kandungan.

Jika mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha itu tidak dalam keadaan hamil, maka masa ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari sepuluh malam. Empat bulan tersebut dihitung sesuai dengan perhitungan tanggalan yang memungkinkan, dan untuk tanggal bulan yang tidak utuh, maka disempurnakan menjadi tiga puluh hari.

Wanita Iddah Bukan Karena Ditinggal Mati (Mu’taddah Ghairu Mutawaffa ‘Anha Zaujuha)

Untuk mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha jika dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya dengan melahirkan kandungan yang bisa dihubungkan nasabnya pada suami yang memiliki ‘iddah tersebut. Jika mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha itu tidak dalam keadaan hamil dan ia termasuk golongan wanita yang memiliki / memungkinkan haidl, maka ‘iddahnya adalah tiga kali aqra’, yaitu tiga kali suci.

Jika ia tertalak saat dalam keadaan suci dengan arti setelah tertalak masih berada dalam waktu suci, maka ‘iddahnya habis dengan mengalami haidl yang ketiga. Atau tertalak saat dalam keadaan haidl atau nifas, maka ‘iddahnya habis dengan mengalami haidl yang ke empat. Sedangkan sisa masa haidlnya tidak terhitung masa suci.

Jika mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha tersebut masih kecil atau sudah besar dan sama sekali belum pernah haidl dan belum mencapai usia ya’si (monupause), atau dia adalah wanita yang sedang mengalami mutahayyirah (bingung akan haidl dan sucinya) atau sudah mencapai usia monupause, maka ‘iddahnya adalah tiga bulan sesuai tanggal jika talaknya bertepatan dengan awal bulan.

Sehingga, jika ia tertalak di tengah bulan, maka ‘iddahnya adalah dua bulan setelahnya sesuai dengan tanggal dan untuk jumlah bulan yang tidak utuh disempurnakan menjadi tiga puluh hari dari bulan ke empat. Jika mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha -yang telah disebutkan ini- mengalami haidl di saat menjalankan ‘iddah dengan penghitungan bulan, maka wajib bagi dia melakukan ‘iddah dengan penghitungan masa suci.

Atau mengalami haidl setelah selesai menjalankan ‘iddah dengan penghitungan beberapa bulan, maka ia tidak wajib menjalankan ‘iddah lagi dengan penghitungan masa suci. Wanita yang tertalak sebelum sempat dijima’, maka tidak ada kewajiban ‘iddah bagi wanita tersebut. Baik sang suami sudah pernah berhubungan badan dengannya selain pada bagian farji ataupun tidak.

Wanita yang menjalankan ‘iddah dan hukum-hukumnya.

Wanita Talak Raj’i

Bagi wanita yang menjalankan ‘’iddah talak raj’i maka wajib menetap di rumah yang menjadi tempat saat ia tertalak jika memang layak baginya. Dan wajib diberi nafkah dan pakaian kecuali ia nusuz sebelum tertalak atau di tengah-tengah pelaksaan ‘iddah. Sebagaimana wajib diberi nafkah, ia juga wajib diberi kebutuhan hidup yang lain kecuali alat membersihkan badan.

Wanita Talak Ba’in

Bagi wanita yang tertalak ba’in wajib diberi tempat tinggal tidak wajib diberi nafkah kecuali ia dalam keadaan hamil. Maka wajib memberi nafkah padanya sebab kehamilan menurut pendapat ash shahih. Ada yang mengatakan sesungguhnya nafkah itu untuk kandungan.

Wanita Yang Ditinggal Mati Suami

Wajib bagi mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha untuk melakukan ihdad. Ihdad secara bahasa diambil dari lafadz “al had”. Al had adalah bermakna mencegah. Ihdad secara syara’ adalah mencegah diri dari berhias dengan tidak memakai pakaian yang diwarna dengan warna yang ditujukan untuk berhias seperti pakaian yang berwarna kuning atau merah.

Hukumnya mubah memakai pakaian yang tidak berwarna dari bahan kapas, bulu, katun, sutra ulat, dan pakaian berwarna yang tidak ditujukan untuk berhias. Dan mencegah diri dari wewangian, maksudnya menggunakan wewangian di badan, pakaian, makanan, atau celak yang tidak diharamkan.

Adapun celak yang diharamkan seperti bercelak dengan itsmid yang tidak berbau wangi, maka hukumnya haram -ditinjau dari barangnya-. Kecuali karena ada hajat seperti sakit mata, maka diperkenankan menggunakannya bagi wanita yang sedang ‘iddah. Walaupun demikian, namun dia harus menggunakannya di malam hari dan membersihkannya di siang hari kecuali ada keadaan darurat yang menuntut untuk memakainya di siang hari.

Bagi seorang wanita -selain istri yang ditinggal- diperkenankan melakukan ihdad atas kematian selain suaminya, baik kerabat atau lelaki lain selama tiga hari atau kurang. Maka bagi dia haram melakukan ihdad lebih dari tiga hari jika memang sengaja untuk ihdad. Sehingga, jika ia melakukannya lebih dari tiga hari tanpa ada tujuan untuk melakukan ihdad, maka hal itu tidaklah haram.

Bagi mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha dan wanita yang tertalak ba’in wajib menetap di dalam rumah. Maksudnya rumah yang menjadi tempat terjadinya perpisahan antara dia dengan suaminya, jika rumah itu layak baginya. Bagi suami dan yang lain tidak diperkenankan mengeluarkan wanita tersebut dari rumah tempat terjadinya perpisahan.

Begitu juga bagi wanita tersebut tidak diperkenankan keluar dari sana walaupun sang suami rela. Kecuali karena ada hajat, maka bagi dia diperkenankan keluar rumah. Seperti ia keluar di siang hari karena untuk membeli makanan, kain katun, menjual tenunan atau kapas dan sesamanya.

Bagi wanita tersebut diperkenankan keluar malam ke rumah tetangga perempuannya karena untuk menenun, ngobrol dan sesamanya dengan syarat pulang dan bermalam di rumahnya sendiri. Bagi dia juga diperkenankan keluar ketika khawatir pada dirinya, anaknya dan sesamanya, yaitu permasalahan-permasalahan yang disebutkan di dalam kitab-kitab yang panjang penjelasannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar