Kamis, 10 Juni 2021

Ulumul Hadist dan Perkembangannya

Pada dasarnya Ulumul Hadis telah lahir sejak dimulainya periwayatan Hadis di dalam Islam, terutama setelah Rasul Saw. wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun Hadis-Hadis Rasul dikarenakan adanya kekhawatiran Hadis-Hadis tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan Hadis, mereka mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu dalam menerima Hadis, namun mereka belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa Ulumul Hadis ialah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang ada sangkut-pautnya dengan Hadis Rasul. Ilmu ini dapat memberikan penilaian apakah suatu Hadis memenuhi kriteria untuk dapat diterima atau tidak memenuhi syarat sehingga harus ditolak.

Secara garis besarnya, ilmu Hadis dibedakan kepada ilmu Hadis Riwayah dan ilmu Hadis Dirayah. Manfaat mempelajari ilmu Hadis Riwayah adalah untuk memelihara kemurnian Hadis-Hadis Rasul dan menghindarkannya dari kemungkinan-kemungkinan salah kutip dan kekeliruan lainnya. Adapun guna mempelajari Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk dapat memberikan kepastian kepada kita dalam menilai sebuah hadis, mana yang shahih dan mana pula yang tidak. Dengan kata lain, kajian Hadis Dirayah akan memnerikan keyakinan kepada kita dalam penerimaan Hadis yang dapat dijadikan Hujah. Ilmu ini di kalangan ulama Hadis disebut juga ‘illah al-hadits dan ‘ilm Musthalah al-Hadis.

DEFINISI ULUMUL HADIS

Ulumul Hadis terdiri atas dua kata, yaitu ‘ulum dan al-Hadits. Kata ‘ulum dalam Bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari ‘ilm, yang berarti “ilmu-ilmu”, tradisi di kalangan sebagian ulama, ilmu diartikan sebagai sesuatu yang menancap dalam-dalam pada diri seseorang yang dengannya ia dapat menemukan atau mengetahui sesuatu. Sedangkan kata al-Hadits juga berasal dari Bahasa Arab yang berarti: الجديد atau yang baru. Di samping arti baru, al-Hadits juga mengandung arti dekat atau القريب Kata al-Hadits bisa juga berarti: الخبر atau berita. Secara Terminologis, para Ulama Hadis mendefinisikan hadis berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat”.

Dengan demikian, gabungan kata ‘Ulum al-Hadits mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadis Nabi SAW”. Ilmu Hadis merupakan kaidah, dasar-dasar serta pedoman dalam menerima dan menolak suatu Hadis. Ilmu Hadis memberikan saham bagi pemeliharaan Hadis dan penjelasannya, membedakan antara Hadis yang shohih dan yang dho’if, yang selamat dan yang cacat, serta yang nasikh dan yang mansukh (Ahmad Zuhri, 2014:57).

Pada mulanya Ilmu Hadis memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadis Nabi SAW dan para perawinya, seperti Ilmu al-Hadits al-Shahih, Ilmu al-Mursal, Ilmual-Asma’ wa al-Kuna, dan lain-lain. Penulisan Ilmu-ilmu Hadis secara parsial dilakukan khususnya oleh para Ulama abad ke-3 H. Umpamanya, Yahya Ibn Ma’in (234 H/848 M) menulis Tarikh ar-Rijal, Muhammad Ibn Sa’ad (230 H/844 M) menulis at-Thabaqat, Ahmad Ibn Hanbal (241 H/855 M) menulis al-‘Ilal dan an-Nasikh wa al-Mansukh, Bukhari (256 H/870 M) menulis al-‘Ilal dan al-Kuna, Muslim (261 H/87 M) menulis Kitab al-Asma’ wa al-Kuna, Kitab at-Thabaqat dan Kitab al-‘Ilal, dan lain-lain.

Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut juga dengan Ulumul Hadis, karena masing-masing membicarakan tentang Hadis dan perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya, dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul Hadis, sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi penggunaan lafaz jamak Ulumul Hadis, setelah keadaannya menjadi satu, adalah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu Ilmu Hadis, karena telah terjadi perubahan makna lafaz jamak tersebut dari maknanya yang pertama beberapa ilmu yang terpisah menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus, yang nama lainnya, adalah Mushthalah al-Hadis. Para Ulama yang menggunakan nama ‘Ulum al-Hadits, diantaranya adalah Imam al-Hakim al-Naisaburi (405 H/1014 M), Ibn al-Shalah (643 H/1246 M), dan Ulama kontemporer seperti Zhafar Ahmad Ibn Lathif al-‘Utsmani al-Tawanawi (1394 H/ 1974 M), dan Shubhi al-Shalih. Sementara itu, beberapa Ulama yang datangm setelah Ibn al-Shalah, seperti Al-‘Iraqi (806 H/ 1403 M) dan Al-Suyuthi (911 H/1505 M), menggunakan lafaz munfrad, yaitu Ilmu al-Hadist, di dalam berbagai karya mereka (Nawir Yuslem, 2:2001)

1. Ilmu Hadis Riwayah

Menurut Zhafar Ahmad ibn Lathif al-‘Utsmani al-Tahanawi di dalam Qawa’id fi ‘Ulum al-Hadits, bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Hadis Riwayah adalah:

علم الحديث الخاص بالريواية هو: علم يعرف به أقوال رسول الله صلى الله عليه وسلم وافعاله واحواله وروايتها وضبطها وتحرير ألفاظها

Ilmu Hadis yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan, perbuatan dan keadaan Rasul Saw. Serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafadz-lafadznya.

Dari definisi diatas dapat dipahami Hadis Riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadis Nabi SAW. Objek kajian Ilmu Hadis Riwayah adalah Hadis Nabi SAW dari segi periwayatan dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup: 

(i)

Cara periwayatan Hadis, baik dari segi cara penerimaan dan
demikian juga cara penyampaiannya dari seorang perawi

kepada perawi yang lain;

(ii)

Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan,
penulisan, dan pembukuannya.

Ilmu Hadis Riwayah ini sudah ada sejak zaman Nabi SAW masih hidup, yaitu bersamaan dengan dimulainya periwayatan Hadis itu sendiri. Para sahabat Nabi SAW menaruh perhatian yang tinggi terhadap Hadis Nabi SAW. mereka berupaya untuk memperoleh hadis-hadis Nabi SAW dengan cara mendatangi majelis Rasul SAW serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan beliau. Mereka juga dengan seksama memperhatikan apa yang dikatakan rasul SAW baik dalam hal ibadah maupun aktivitas sosial serta akhlaq Nabi SAW sehari-hari. Semua yang mereka terima dan dengar dari Rasul SAW mereka pahami dengan baik dan mereka pelihara melalui hapalan mereka. Apa yang telah dimiliki dan dihapal oleh para sahabat selanjutnya mereka sampaikan dengan sangat hati-hati kepada sahabat lain yang kebetulan belum mengetahuinya atau kepada para tabi’in, dan para tabi’in pun melakukan hal yang demikian.

2. Ilmu Hadis Dirayah

Para Ulama memberikan definisi yang bervariasi terhadap Ilmu Hadis Dirayah ini. Akan tetapi, apabila dicermati definisi – definisi yang mereka kemukakan, terdapat titik persamaan di antara satu dan yang lainnya, terutama dari segi sasaran kajian dan pokok bahasannya. Ibn al-akhfani memberikan definisi ilmu hadis Dirayah sebagai berikut:

علم الحديث الخاص بالدرية: علم يعرف منه حقيقة الرواية وشروطها وانواعها واحكامها وحال الرواة وشروطهم واصناف المرويات وما يتعلق بها.

Dan ilmu hadis yang khusus tentang Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya (Nawir Yuslem, 97:2001). 

Objek ilmu Dirayah ialah sanad rawi dan matan dari sudut diterima dan ditolaknya suatu Hadis. Tujuan dan urgensi Ilmu Hadis ini ialah untuk mengetahui dan menetapkan hadis-hadis yang diterima sebagai dalil atau untuk diamalkan (maqbul) dan yang ditolak (mardud). Dengan demikian mempelajari Ilmu Hadis Dirayah ini banyak kegunaan yang diperoleh, antara lain: dapat mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari masa ke masa sejak masa Rasulullah SAW sampai dengan masa sekarang. Ilmu Hadis Dirayah inilah yang pada masa selanjutnya secara umum dikenal dengan Ulumul Hadis, Musthalah al-Hadits, atau Ushul al-Hadits. Keseluruhan nama-nama diatas, meskipun bervariasi namun mempunyai arti dan tujuan yang sama, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan perawi (sanad) dan marwi (matan) suatu Hadis, dari segi diterima dan ditolaknya. 3

SEJARAH PERKEMBANGAN ULUMUL HADIS

Kaum muslim merasa perlu adanya usaha untuk memperhatikan Hadis-Hadis Rasul SAW secara lebih serius dan lebih hati-hati. Untuk tujuan tersebut mulailah usaha-usaha penyaringan dan pemilahan riwayat dilakukan. Maka, terseleksilah Hadis-Hadis yang benar bersumber dari Rasul Saw. dari hadis yang cacat atau dipalsukan orang. Pada perkembangan berikutnya kaidah-kaidah tersebut semakin disempurnakan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, baik mereka yang mengkhususkan diri dalam mempelajari bidang Hadits maupun bidang-bidang lainnya.

Sejarah perkembangan Ulumul Hadis terbagi menjadi tiga periodesasi yaitu awal lahirnya Ilmu Hadis sampai pada masa kekinian. Dalam sejarah perkembangan Hadis tercatat bahwa ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu ini dalam satu disiplin ilmu yang lengkap adalah al-Qadi Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi (w. 360 H) dengan kitabnya al-Muhadis al-Fasil baina ar-Rawi wa al-Wa’i. Selanjutnya muncul al-Hakim Abu ‘Abdillah an-Naisaburi (321-405 H) dengan kitabnya Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis.

1. Periode Klasik (Masa Nabi SAW-Abad 7 H)

Membicarakan Hadis pada masa Rasul berarti membicarakan hadis pada awal pertumbuhannya. Dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasulullah SAW. sebagai sumber Hadis dan guru sunnah terbaik. Dalam periode inilah Hadis terbentuk dan diamalkan secara konsisten dan universal. Hadits-hadits Nabi yang terhimpun di dalam kitab-kitab yang ada sekarang adalah hasil kesungguhan para sahabat dalam menerima dan memelihara dimasa Nabi SAW dahulu. Apa yang telah diterima oleh para sahabat dari Nabi SAW disampaikan pula oleh mereka kepada sahabat lain yang tidak hadir ketika itu, dan selanjutnya mereka menyampaikannya kepada generasi berikutnya dan demikianlah seterusnya hingga sampai kepada perawi terakhir yang melakukan kodifikasi Hadits.

Cara penerimaan Hadits dimasa Nabi SAW tidak sama dengan penerimaan Hadits dimasa generasi sesudahnya. Penerimaan Hadis dimasa Nabi SAW dilakukan oleh sahabat dekat beliau, seperti Khulafa’ ar-Rasyidin. Setelah mendapatkan Hadis para sahabat selanjutnya menghafal Hadis tersebut. Dalam masa sahabat ini, perkembangan penelitian Hadits menyangkut sanad dan matan Hadis semakin menampakkan wujudnya, dalam rangka menjaga kemurnian sebuah Hadis.

Prinsip dasar penelitian sanad yang terkandung dalam kebijaksanaan yang dicontohkan oleh para sahabat diikuti dan dikembangkan oleh para tabiin. Periwayatan Hadis di permulaan masa sahabat terutama pada masa Abu Bakar dan Ummar, masih terbatas sekali disampaikan kepada yang memerlukannya saja, belum bersifat pelajaran. Demikian perkembangan Ilmu Hadis pada periode ini yang kemudian disempurnakan kembali oleh Ulama-ulama yang datang belakangan ( Ahmad Zuhri, 33:20).

2. Periode pertengahan (Abad 7 H-Abad 14 H)

Di periode ini masa seleksi dilanjutkan dengan masa pengembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab hadis masa ini dengan ‘asr at-tahzib wa ataqrib wa al-istidrak wa al-jam’I (masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan). Penyusunan kitab-kitab pada periode ini lebih mengarah kepada usaha mengembangkan beberapa variasi pembukuan kitab-kitab yang sudah ada.

Para Ulama mengalihkan perhatian mereka untuk menyusun kitab-kitab yang berisi pengembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab Hadis. Ciri yang paling populer pada periode ini adalah munculnya sistem pembelajaran lewat Madrasah, berbeda dengan periode klasik yang cenderung berpusat pada individu. Oleh karena itu tidak aneh bila kemunculan setiap karya, khususnya Ulumul Hadis didasarkan pada keperluan pembelajaran. Ulama pada abad ini mencoba untuk menyempurnakan kitab-kitab yang telah ditulis oleh Ulama-ulama sebelumnya pada periode klasik seperti Kitab Mukhtasar Muqaddamah Ibn sh Sholah yang paling baik ialah Ikhtisar Ulumul Hadis. Dan dalam kitab Nukhbatul Fikar fi Mushtholahi Ahli al-Atsar karya al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqolani (773 H/852 H), merupakan kitab kecil yang diringkas namun termasuk ringkasan yang paling bagus dan paling baik susunan dan pembagiannya.

3. Periode Modern (Abad 14 H-Sekarang)

Perkembangan ilmu Hadis abad demi abad terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan, pada abad ini yang terus menulis  ilmu Hadis dari ulama Muhaddisin adalah Asy-Syaikh Tohir Al-Jaziri(1338H) dalam kitabnya Taujihun Nadhor Ila Ilmi Usulil Atsar, salah satu kitab yang mempunyai nilai tinggi dalam ilmu hadis dan As-Sayid Jamaludin Al-Khasimi(1332H) dengan kitabnya Qowaidud Tahdits Fi Funulil hadis, suatu kitab yang banyak faedahnya dan sangat tertib susunannya. Dan diantara aturan-aturan yang masih diberlakukakan pada masa sahabat antara lain adalah:

-Mengurangi periwayatan Hadis, mereka khawatir dengan banyaknya periwayat akan tergelincir pada kesalahan dan kelalaian, dan menyebabkan kebohongan terhadap Rasul SAW.

-Kritik terhadap riwayat, yaitu dengan cara memaparkan dan membandingkan riwayat dengan al-Quran, jika bertentangan maka mereka tinggalkan dan tidak mengamalkannya. Ketelitian dan sikap hati-hati para sahabat Nabi Muhammad tersebut diikuti pula oleh para ulama yang datang sesudah mereka, dan sikap tersebut diikuti pula oleh para ulama yang datang sesudah mereka, dan sikap tersebut ditinggalkan ketika munculnya Hadis-Hadis palsu, yakni sekitar tahun 41 H setelah masa pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib.

Kegiatan ulama Hadis pada periode ini berkaitan dengan upaya mensyarah kitab-kitab hadis yang sudah ada, menghimpun dan mengumpulkan hadis-hadis dari kitab-kitab yang sudah ada, mentakhrij hadis dalam kiab-kitab tertentu, dan membahas kandungan kitab-kitab Hadis, sehingga menghasilkan hasil karya yang antara lain:

a. Kitab Syarah, yaitu kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan Hadis dari kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lain yang bersumber dari al-Quran, Hadis, maupun kaidah-kaidah lainnya. Contohnya Fath al-Bari syarah kitab Sahih
Bukhari, karya Ibn Hajar al-Asqolani.

b. Kitab Takhrij, yaitu kitab yang menjelaskan tempat-tempat pengambilan hadis-hadis yang dimuat dalam kitab tertentu dan menjelaskan kualitasnya. Contohnya Takhrij al-Hadis al-Ihya oleh al-‘Iroqi. Kitab ini mentakhrij hadis-hadis yang terdapat dalam kitab
Ihya ‘Ulum ad-Din karya Imam al-Ghazali.

c. Kitab yang membahas masalah tertentu, seperti masalah hukum. Contohnya, Bulughul Marom min Adillah al-Ahkam karya Ibn Hajar al-Asqalani dan Koleksi Hadis-hadis Hukum oleh T.M Hasbi ash-Shiddiqy.

Berbicara tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadis sekarang, baik ilmu hadis riwayah maupun ilmu hadis dirayah, dapat dikatakan telah eksis bersama tumbuh kembangnya periwayatan hadis itu sendiri. Akan tetapi, ilmu-ilmu tersebut belum terlembaga menjadi satu disiplin ilmu khusus. Ia menampakkan dirinya lebih jelas lagi setelah Rasul wafat.

Ketika itu, kaum Muslimin merasa perlu adanya usaha untuk memperhatikan hadis-hadis Rasul secara lebih serius dan hati-hati. Untuk tujuan tersebut mulailah usaha-usaha penyaringan dan pemilahan riwayat dilakukan. Maka, terseleksilah hadis yang benar-benar bersumber dari Rasul, dari hadis-hadis yang cacat atau dipalsukan orang. Abu Bakar misalnya, tidak mau menerima hadis sebelum perawinya bersedia disumpah atas kebenaran riwayat yang disampaikannya. Bahkan, ‘Umar dan Ali ibn Abi Thalib terlebih dahulu meminta saksi dari perawi yang menyampaikan hadis kepadanya sebelum hadis itu diterimanya. Sikap tegas dan kehati-hatian yang ketat yang dipraktikkan oleh para sahabat besar dalam penerimaan hadis tersebut menumbuhkan sikap serupa di kalangan sahabat lainnya.

Sikap kritis dan penuh kehati-hatian yang di tunjukkan oleh para sahabat dalam penyaringan hadis dan penyampaiannya serta langkah-langkah yang mereka tempuh untuk memelihara kemurniannya, secara langsung atau tidak, diikuti oleh generasi berikutnya (tabiin). Hal demikian berkembang secara bertahap yang akhirnya melahirkan kaedah-kaedah yang selanjutnya dijadikan pedoman dalam hal menilai hadis-hadis di belakang oleh generasi belakangan. Demikianlah, generasi ke generasi ditemukan sejumlah tokoh yang mencurahkan perhatian dan kesungguhan untuk memelihara dan mengembangkan hadis-hadis Nabi melalui pengembangan ilmu-ilmu yang bertalian dengannya. Para ulama yang muncul sebagai sebagai tokoh-tokoh yang menspesialisasikan diri untuk mempelajari bidang ini mulai secara berangsur-berangsur menggali kaedah-kaedah dan metode-metode yang menyangkut penyeleksian hadis-hadis Nabi, baik dari segi sanad maupun dari segi matan, kemudian tumbuh menjadi satu disiplin ilmu tersendiri.

Kaum muslim merasa perlu adanya usaha untuk memperhatikan Hadis-Hadis Rasul SAW secara lebih serius dan lebih hati-hati. Untuk tujuan tersebut mulailah usaha-usaha penyaringan dan pemilahan riwayat dilakukan. Maka, terseleksilah Hadis-Hadis yang benar bersumber dari Rasul Saw. dari hadis yang cacat atau dipalsukan orang. Pada perkembangan berikutnya kaidah-kaidah tersebut semakin disempurnakan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, baik mereka yang mengkhususkan diri dalam mempelajari bidang Hadits maupun bidang-bidang lainnya. Tokoh yang dianggap sebagai perintis pertama dalam ilmu hadis riwayah adalah Muhammad ibn Syihab az-Zauhri (w. 124 H).

Ilmu hadis dirayah secara garis besarnya mulai dirintis oleh sebahagian ulama hadis pada abad ke-2 Hijriah. Namun, dalam perjalannya, baru pada abad ke-4 Hijriah ia tampil sebagai satu ilmu yang berdiri sendiri. Banyak di antara ulama menilai bahwa tokoh perintis dalam ilmu hadis dirayah adalah al-Qadi Muhammad ar-Ramahurmuzi (w.360 H) dengan kitabnya berjudul al-Muhaddits al-Fashil bain al_rawi wa al-Wa’i. Hanya saja, sebelumnya usaha ke arah ini sudah dimulai oleh Imam asy-Syafii (w.204 H). Ketika ia menuangkan teori ilmu hadisnya di dalam kitabnya ar-Risaluh dan al-Umm. Namun bagaimanapun, teori-teori ilmu hadisnya ini belum ditulis di dalam sebuah kitab tersendiri. Teorinya masih tersebar di dalam karya-karyanya tersebut di atas.

Setelah ar-Ramahurmuzi, muncul al-Hakim an-Naisaburi (w.405 H) dengan karyanya Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits. Kemudian, muncul pula Abu Nu’aim al Ashfahani (w. 430 H). Berikutnya al-Khatib al-Bagdadi (w. 463 H) dengan kitabnya tentang periwayatan berjudul al-Kifayah dan tentang cara meriwayatkan hadis dengan judul Ma La Yasa’ al Muhadditsin Jahluh.

Setelah itu, muncul pula penulis-penulis lain dengan berbagai karyanya degan sistem oenulisan yang semakin sempurna. Selain hal tersebut, banyak pula yang melakukan eloborasi terhadap sebuah karya dengan melakukan pensyarahan dari kitab-kitab ilmu hadis yang terdahulu. Bahkan, banyak di antaranya ditulis dalam bentuk disertai dengan kajian yang dikaitkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan lain seperti dengan tinjauan ilmu sejarah. Kajian seperti ini semakin berkembang khususnya di zaman modern sekarang ini. Oleh karena itu, sekarrang dapat ditemukan banyak kitab ilmu hadis dengan pembahasan yang semakin luas sehingga memudahkan setiap orang yang berminat mendalaminya

CABANG ULUMUL HADIS

Seperti dikatakan sebelumnya, bahwa ilmu hadis sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu lain senantiasa mengalami perkembangan menuju kesempurnaannya. Dalam gerak perkembangan tersebut, ilmu ini telah melahirkan banyak cabang yang masing-masing akhirnya dianggap berdiri sendiri dengan obyek bahasan tersendiri pula. Meskipun demikian, inti permasalahannya tetap bertolak dari segi sanad dan matan.

Tentang cabang-cabang ilmu hadis ini, menurut Imam as-Suyuthi tidak dapat dihitung secara pasti. Sebab, memang jumlahnya banyak. Imam al-hazimi juga mengemukakan penilaian yang sama. Menurutnya, ilmu hadis mempunyai lebih dari seratus cabang ilmu yang masing-masing dapat dianggap berdiri sendiri. Bahkan katanya lebih lanjut, jika seseorang mencurahkan perhatiannya untuk kajian segala cabang ilmu ini, niscaya sampai akhir hayatnya pun ia tidak akan mampu menguasainya. Akan tetapi, meskipun masing-masing cabang ilmu hadis tersebut mempunyai obyek bahasan yang lebih khusus dan dapat dianggap berdiri sendiri, namun antara satu dengan lainnya tetap mempunyai kajian yang erat. Semuanya saling mendukung dan saling memperjelas kajian dalam berbagai hal yang menyangkut hadis rasul saw. Di antara cabang-cabang ilmu hadis yang lebih besar dan lebih menonjol pembahasannya di dalam berbagai kitab ilmu hadis adalah sebagai di bawah ini:

1. ‘Ilm Ri jal al-Hadits. Ilmu ini mempelajari hal ihwal para perawi, baik dari kalangan sahabat, tabiin maupun generasi sesudahnya, ilmu ini mempelajari sejarah kehidupan para rawi, akhlaknya, keadaannya dalam menerima dan menyampaikan hadis serta mazhab yang dianutnya dan sebagainya yang terkait denan rijal yang dilakukan secara mendalam.

2. ‘Ilm al jarh wa at-ta’dil. Ilmu ini secara khusus mempelajari keadaan perawI hadis dari segi sifat-sifat baik dan sifat jeleknya, serta kuat atau tidaknya hafalannya.

3. ‘Ilm ‘Ilal al-Hadits. Ilmu ini membahas sebab-sebab tersembunyinya yang dapat menyebabkan cacatnya hadis secara lahiriah mungkin tidak kelihatan. Oleh karena itu, ilmu ini mempunyai cara-cara pembahasan yang lebih halus dan mendalam.

4. ‘Ilm Gharib al-Hadits. Ilmu ini menerangkan makna kalimat atas kata-kata yang sulit difahami maksudnya karena jarang terpakai, atau kata-kata ganjil yang sudah usang dan jarang digunakan.

5. ‘Ilm Asbab Wurud al-Hadits. Ilmu ini mempelajari sebab-sebab atas latar belakamg munculnya sebuah hadis. Ilmu ini juga berusaha menerangkan kapan dan di mana hadits tersebut muncul dan dalam peristiwa apa.

6. ‘Ilm Fann aYMubhamat. Ilmu ini berusaha mengetahui nama-nama orang atau kata-kata yang tidak disebut secara jelas, baik di dalam sanad maupun di dalam matan hadits. Ilmu ini berupaya meneliti identitas orang-orang yang terdapat dalam jajaran sanad dan matan yang namanya tidak disebut secara jelas. Dengan bantuan ilmi ini dapat dihilangkan keragu-raguan tentang siapa sebenarnya orang yang diragukan identitasnya dalam sanad maupun matan hadits.

7. ‘Ilm talfiq al-Hadits. Ilmu ini disebut juga ‘Ilm Mukhtalaf al-Hadits. Pokok ulasan kajiannya adalah menbahas cara-cara menyelesaikan pertentangan yang tampak antara sebuah hadis dan lainnya. Penyelesaian ini dapat dilakukan karena pertentangan-pertentangan yang tampak itu hanya bersifat lahir sajar, bukan pada makna yang
sesungguhnya.

8. ‘Ilm nasikh al-Hadits wa mansukhih. Ilmu ini membahas hadis-hadis yang antara satu demgan lainnya saling bertentangan dan tak mungkin dikompromikan. Karena itu, ilmu ini mempelajari manakah di antara hadis-hadis tersebut yang lebi dahulu datang dan mana yang kemudian. Hadis yang lebih dahulu datang dinyatakan tidak berlaku lagi (mansukh) dan kedudukannya digantikan dengan hadis yang kemudian (nasikh).

9. ‘Ilm Mushthalah Al-Hadits. Ilmu ini menerangkan pengertian istilah-istilah yang dipakai oleh para ahli hadis sebagaimana dijumpai di dalam kitab-kitab mereka. Dengan mempelajari ilmu ini dapatlah dipahami dengan baik apa maksud sebenarnya istilah yang dipakai oleh para ahli hadis tersebut. Dengan usaha demikian akan terhindar salah pengertian dalam memahaminya.


DAFTAR PUSTAKA

 

Abdul, Ramli Wahid. Studi Ilmu Hadis, Bandung: Perdana Mulya: 2011.
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis, Jakarta: Mutiara Sumber Widya: 2001.
Zuhri, Ahmad, dkk. Ulumul Hadis, Medan: Manhaji: 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar