Senin, 23 Januari 2012

KUNCI


Langkahku tak mau berhenti. Sekarang waktunya senja dan aku terus menuju ke barat. Mengharuskan sampai ke ruko pak Kirman sebelum mentari benar-benar menyisipkan tubuhnya ke balik gunung. Dengan seperti itu aku tidak mengingkari janji untuk menemuinya sore hari, bukan malam hari. Malam hari bagi kami adalah malam yang gelap, suram. Tidak baik untuk meminta maaf, apalagi tentang keterlambatan membayar hutang.
            Kuning senja melumat muka tubuhku, kulihat dua lenganku yang legam menyesap kilaunya. Dari arah berlawanan kulihat secercah bayangan di atas tanah, lalu meluncur sepeda motor dengan kecang dan... “tidaaaaaaak! Wusssy...” Secara reflek mulutku berteriak. Nafasku tersengal. Oh, terlindas, oh, tidak. Tubuhku lemas seketika, tapi aku tetap berlari menujunya.
Tokek. Di sampingnya selincir ekor dengan enam baris bintil belang-belang bergerak-gerak terlepas dari tubuhnya. Sungguh lega hati merasakannya. Warnanya abu-abu kebiruan dengan bintil-bintil besar seluruh tubuhnya. Aku segera membungkuk guna memungut si pemilik ekor. Tapi sungguh sial, tokek yang hampir modar itu malah berlari menjauhiku. Kakiku tak rela lebih jauh darinya, kakiku mengikuti dan berusaha mendahului tanpa menginjakknya. Tokek semakin gesit, ia menghindar di setiap tikamanku. Aku pun semakin semangat dengan kelincahannya. Itu artinya sepeda motor yang melesat tadi sama sekali tidak melukainya, atau tidak membuatnya keder sedikit pun. Ia sungguh lincah.
Aku hadang dari utara lalu aku tikam, ah sial, ia kabur ke arah barat. Aku segera berlari mendahuluinya dan menghadangnya dari arah berlawanan, tapi saat aku tikam si tokek selalu kabur dengan kecepatan jari-jarinya. Tubuh gendutnya yang lenggak-lenggok seperti mengejekku saja. Ia sungguh tokek yang indah. Kali ini aku dan dia sama-sama payah. Kembang kembis perutku dan perutnya ingin saling mendahului. Kami berhadapan dan saling marasai kesialan yang sedang menimpa. Kesialanku tidak juga menangkapnya, kesialannya tidak bisa membebaskan dirinya. Mata kami saling memandang, menghayati keheningan, mencari celah untuk lebih cepat melangkah.
Kutikam ia kesekian kalinya, namun tetap kecepatan kakinya membuat ia lolos dari genggamanku. Tokek itu malah berlari kencang sekali menuju teras rumah. Aku terus memburunya. Ia menyelinap di bawah pot bunga. Aku pun mengintai, kemana kepala tokek mengarah. Dalam hitungan ke tiga, aku angkat pot yang tidak terlalu besar itu dengan tangan kiri dan tangan kanan siap mencengkeram tokek. Ketika satu sisi pot terangkat, tampak benda berkilauan di bawahnya. Aku sedikit tercengang. Tokek lari tunggang langgang memanjat tembok rumah pak Dibya. Hilang sudah harapan akan tokek. Hilang sudah bayangan meminangnya di atas timbangan pasar hewan. Hilang sudah angan-angan membeli beberapa kebutuhan dengan menjual tokek itu.
Kunci. Benda berkilau yang melenakan itu adalah kunci. Kulihat sekitar tak ada orang. Kunci itu aku pungut tampak tulisan SES dan aku lihat handle pintu rumah pak Dibya juga bermerk SES. Apakah ini kunci rumah pak Dibya! Aku semakin yakin kalau itu kunci rumahnya. Niat buruk menyusupi jiwaku. Bukankah pak Dibya dalam minggu-minggu ini pergi ke luar kota mengurusi bisnisya! Bukankah dengan kunci ini setidaknya aku bisa mengambil beberapa barang di rumahnya! Ah, segera kutampik pikiran-pikiran itu, meski kunci akhirnya kubawa juga. Sampai di ruko pak Kirman mentari tak menyisakan sinarnya sedikitpun.
***
Kunci itu kusimpan dalam laci. Namun bayangannya menyibukkanku. Aku gelimpangan di kamar tidur. Istriku mendekur saja, memang aku sengaja tidak menceritakan tentang kunci itu. Bisa jadi ia marah-marah karena kunci itu mengancam jiwaku. Jika jiwaku terancam mau tak mau jiwanya ikut terancam juga. Tapi kalau aku ceritakan bagaimana jika aku masuk rumah pak Dibya dengan kunci itu lalu mengambil beberapa barang untuk diuangkan, ia pasti berbalik pikiran lalu merengek-rengek supaya aku segera melakukan hal bodoh itu. Yah, memang sifat perempuan.
Lantas aku bertanya-tanya, kenapa pak Dibya meninggalkan kuncinya di bawah pot! Apa untuk mengelabuhi pencuri! Atau jangan-jangan ia berjaga jika dalam perjalanannya ke luar kota ditodong rampok, kunci rumah itu tidak akan jatuh di tangan mereka. Kalau itu alasannya berarti di rumah itu ada sesuatu yang sangat berharga. Uang! Emas! Ah, sungguh kacau pikiranku malam ini.
Atau aku kembalikan saja kunci itu ke tempat semula. Dari pada persoalan semakin rumit. Bisa jadi suatu saat nanti aku ceroboh dengan kunci itu, lalu ada orang yang tau kalau aku membawa kunci rumah pak Dibya bisa mati kesekian kali aku. Urusannya bisa panjang. Apa mengembalikan ke bawah pot juga perkara yang gampang! Bisa jadi saat aku mengembalikannya ada orang melihat aku mengendap-endap membawa kunci itu, lalu dia berteriak maling dan aku digebukin seluruh warga. Atau bisa jadi jika orang yang melihat gerak-gerikku di teras pak Dibya ia mengintip saja lalu saat aku pergi, dengan diam-diam ia membuka pot itu lalu mengambil kunci dan menguras habis isi rumah pak Dibya. Yang berhak menguras itu kan aku. Ah, tokek gendut itu membuat aku galau saja. Atau aku sendiri yang salah! Kenapa tadi sore aku tidak terus mengejar tokek saja tanpa menghiraukan benda berkilau di bawah pot itu. Seandainya aku tadi menangkapnya tentu sekarang sudah mendapatkan rupiah meski tak seberapa. Ah.
Kalau urusan menguntit dompet dari saku sesorang aku jagonya. Tapi, membobol rumah, lebih-lebih membuka rumah tanpa penghuni yang di dalamnya penuh barang berharga dengan kunci di tangan sudah mengedonkan mentalku. Aku jadi ingat saat diajak Rukani mencuri sepeda motor, aku menolak dengan tegas. Dibayar berapa pun aku tidak akan mau, meskipun aku hanya menjadi lintas kedua yang bertugas membawa kabur motor setelah kunci stirnya dirusak. Bahkan  untuk memprotoli saja aku tidak mau. Mencopet di keramaian lebih ringan bagiku. Dompet yang tipis bisa saja langsung aku selipkan ke celana dalam. Atau kalau kepepet aku lempar saja ke mana saja. Sedang mencuri barang yang berukuran besar, bagaimana bisa bersilat tangan. Itu jelas bukan keahlianku.
Gambar kunci muncul lagi, mengambalikan pikiranku pada isi rumah pak Dibya. Apa aku kembalikan saja secara baik-baik menunggu pak Dibya pulang. Tapi kapan! Bisa jadi saat pak Dipya samapi rumah mendapati kuncinya di bawah pot telah raib, ia langsung lapor polisi. Lalu polisi tentu membuat kecuriga-kecurigaan pada warga sekitar termasuk aku. Atau lebih parah lagi polisi mengintrogasi semua warga untuk mengetahui siapa yang mencuri kuncinya. Ah, payah. Ide ini akan membuatku menunggu berhari-hari di depan rumah pak Dibya. Menunggu kedatangannya. Kalau memang seperti itu, trus bagaimana aku harus mengatakan kepadanya! Aku harus mengatakan kunci ini kudapat dari mana! Jatuh! Mana mungkin! Pak Dibya sengaja meletakknnya di bawah pot. Duh. Lamat-lamat aku tertidur juga.
***
Gelap.. benar-benar masih gelap. Dingin pagi menyusupi kulit. Tak ada suara tokek atau apa.. sepi sekali. Seharusnya nyaliku lebih lebar, tapi dingin menyempitkannya. Kerikil di tepi aspal belum terlihat sepenuhnya. Sesekali mulutku nyengir jika kakiku menginjak kerikil itu. Aku sengaja tak memakai alas kaki, teman-teman bilang gesekan telapak kaki dengan tanah lebih halus ketimbang sandal atau sepatu.
Rumah pak Dibya sudah tampak. Lampu teras dibiarkan berpijar sepanjang ditinggal penghuninya. Pot yang menyimpan kunci ini masih tergeletak seperti terakhir aku meninggalkannya. Aku paksakan perasaanku untuk tenang, namun tubuh tetap menggigil bercampur rasa was-was. Niatku sudah bulat, aku tidak akan macam-macam di dalam rumah pak Dibya. Tempat yang aku tuju pertama adalah kamar, lalu laci, dan lemari. Siapa tau ada simpanan di bawah baju atau di dalam lemari, barang sejuta atau dua juta. Aku hanya akan mengambil itu dan langsung pergi. Aku tentu bisa menikmati nasi Soto Ayam pagi ini dan jugs kegirangan istriku ketika aku pulang dengan beberapa uang nanti sore.
Kulangkahkan kaki pada anak tangga pertama sebelum memasuki teras. Kutengok jalan tak ada yang lewat kecuali mobil-mobil yang datang dari jauh menuju ke pasar. Mana mungkin mereka mengetahui kalau ini rumah pak Dibya dan aku adalah tetangganya yang masuk tanpa izin! Mereka tentu menganggap aku adalah pemilik rumah ini. Tapi, tapi pot yang tergeletak itu seperti menatapku. Ah, itu hanya benda mati.
Aku ambil kunci di dalam saku. Menggerenjal dingin sekali seperti es batu. Aku lihat sejenak berkilau memantulkan lampu teras berwarna kuning. Ia seperti tersenyum padaku, seperti ia bahagia akan kupertemukan dengan kekasihnya slot pintu itu. Seakan dia kangen dengan slot pintu karena berhari-hari terpuruk di bawah pot bunga. Langsung saja aku masukkan lubang kunci pelan-pelan. Pot pun tidak boleh mendengarnya. Hanya aku dan kunci.
Belum sempat kunci aku putar menggeser gigi-gigi dalam slot, sebuah petir melemparkan kesadaranku sejenak. Petir itu berwarna kuning, dari buah lampu mobil yang masuk ke halaman rumah pak Dibya. Pak Dibya... pak Dibya... mulutku menyebut nama itu, tapi tanpa suara. Benar-benar tanpa suara. Mungkin jika direkam aku sepertu tuna wicara yang berusaha memahamkan orang. Pak Dibya datang pagi itu. Debar jantungku tak dapat lagi kurasa, aku hanya merasakan tusukan petir itu.
“Lho, pak Ridwan. Ada perlu apa, pak?” ucap pak Dibya setelah keluar dari mobilnya. Istrinya masih mengemasi barang-barang di dalam mobil.
Aku bicara, tapi tak ada suara yang keluar. Hanya mulutku bergoyang-goyang dengan raut wajah kecemasan.
“Bapak kok diam saja, maksudnya apa?”
Aku berteriak. Tak ada suara yang keluar dari mulutku. Aku lalu menggeleng-geleng sebagai isyarat tidak ada apa-apa, semua baik-baik saja. Aku hanya lewat dan kebetulan mampir saja.
“Bapak sakit ya?” Ucap pak Dibya sambil mendekatiku. Istrinya keluar dari mobil mendekatinya dengan tangan penuh tas belanja.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala. Suaraku seperti ditelan udara. pak Dibya lebih mendekat. Aku berkata tidak. Tanpa suara. Kuangkat tanganku, aku isyaratkan tidak ada apa-apa. Semua baik-baik saja.
Pak Dibya melihat kunci yang masih di genggamanku. Dia memungutnya. Ingin aku merebutnya, tapi tanganku lemah, sungguh lemah. Lalu kunci itu pun beralih digenggaman pak Dibya. Hatiku seperti pecah berkeping-keping.
“Lho. Ma, kunci rumah kita ma. Yang kita cari-cari ternyata ditemukan pak Ridwan, ma.” Pak Dibya mengungkapkan kunci itu kepada istrinya. Istrinya tampak tertawa terbahak-bahak. Tas-tas belanja yang nggrembol di tangannya berguncangan.
“Pak Ridwan menemukannya dimana? Kunci ini sudah beberapa hari kami cari-cari.” Pak Dibya menanyaiku.
Aku ingin mengungkapkan sesuatu, tapi suara tetap tak ada.
Lalu pak Dibya berbincang sebentar dengan istrinya, waktu semakin terasa pelan. Seperti slow motion. Lalu ia mengambil tas-tas yang ada di tangan istrinya, dan memberikannya kepadaku seluruhnya. Ia tertawa-tawa dan seperti mengungkapkan senuah kebahagianaan kepadaku. Namun tak ada suara juga. Mulutnya hanya tampak komat-kamit. Mungkin saja ucapan terimakasih karena kuncinya telah aku kembalikan. Dengan pelan sekali aku menerima tas-tas itu. Tiba-tiba ada suara tokek di atap teras pak Dibya.
“Mas.. mas.. sudah pukul sepuluh!” Seperti ada tangan kasar menggoyang-goyang pundakku.
Benda berkilauan diapit jari jempol dan telunjuk yang tampak pertama saat kubuka mata, lalu disusul suara yang setiap sore bertanya berapa duit yang kudapat. Tapi pertanyaan kali ini berbeda, “Mas, ini kunci apa?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar