Sabtu, 25 April 2015

Catatan Perjalan Ke Jogjakarta Bersama Vespa Rambo

Setiap perjalanan menyisakan kenangan yang unik dan berbeda. Begitu juga dengan perjalanan saya dan Agus Subekti ke Jogjakarta pada tanggal 25 Desember 2012 lalu. Sebuah perjalanan yang saya anggap terlalu berani karena menggunakan Vespa Rambo saya, yaitu Vespa modifikasi ekstrem berbentuk ceper dan panjang sekitar 2 meter.

Vespa tersebut saya beli dari Mbah Singo, penghulu kelompok Sekuter Peteng (Sepet) Trenggalek. Saya membelinya sekitar dua tahun yang lalu, dan selama itu belum pernah sama sekali saya menyervis mesin. Beberapa kali ke bengkel hanya memperbaiki kaki-kaki supaya nyaman dinaiki. Vespa itu sudah saya bawa ke Malang beberapa kali, sudah saya bawa ke Mojokerto, ke Nganjuk. Semua perjalanan tersebut lancar, tanpa mengalami ngadat maupun mogok di jalan. Hanya dulu waktu oli yang saya gunakan masih oli bekas,  jadi sering membersihkan busi di mesinnya.

Tanggal 25 ke Jogjakarta tidak dengan tanpa maksud. Saya sendiri dalam rangka mengantarkan vespa Rambo ke calon pemilik barunya, di daerah Kotagede Jogjakarta. Vespa sudah di DP satu juta sejak sebelum tanggal 20. Dan Bekti ingin menghadiri resepsi pernikahan temannya di daerah perbatasan Solo-Sragen. Dua tujuan satu jalan, itulah yang membuat kami sepakat untuk ke kota budaya Ngayogjokarto.

Saya berangkat dari rumah jam sembilan malam. Kondisi yang dingin, memaksa saya membelit leher saya dengan sorban. Knalpot besar yang berdiri miring di samping kiri menyembulkan bunyi “dong.. dong..” dan memantul-mantul di keheningan malam. Setelah mengucapkan mantra doa, saya mulai menarik penali gas dengan mantap. Perjalanan pun dimulai beserta lika-likunya.

Perjalanan saya lakukan dengan santai sekali, sekitar 60 km perjam. Demikian karena listrik yang dihasilkan spool dalam mesin melebihi kebutuhan, sehingga jika digas melebihi kecepatan itu dop (bola lampu) akan putus karena tegangan arus listrik yang dihasilkan terlalu besar. Menjalani perjalanan tengah malam sendirian dengan kecepatan bentor (becak motor) sungguh membosankan. Akhirnya setelah sampai pasar mangga Banyakan Kediri saya tak sabar lagi, penali gas saya tarik lagi, dan vespa pun melaju lebih kencang.

Setelah itu nyala lampu terang setengah putih dan tidak putus. Kondisi tersebut saya pertahankan dan perjalanan mulai menyenangkan. Menyalip truk-truk besar berkelok ke kanan, ke kiri di tengah malam vespaku meraung-raung sendiri. Namun sampai daerah Geringging, “pet” jalan di depan benar-benar gelap. Lampu depan belakang mati total. Hedeh perjalanan terhenti sejenak. Aku periksa, dop benar-benar putus. Putus sudah harapan untuk mendapatkan penerangan. Tengah malam, mana ada toko dop buka.

Saya pun melanjutkan perjalanan dengan pelan sekali. Setiap ada kendaraan dari belakang, saya sedikit menepi. Tak lama kemudian dari arah belakang ada truk tronton tangki pemasok bensin. Truk tersebut berlaju kencang karena tangkinya sedang kosong. Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Penali vespa saya tarik kuat-kuat untuk mengejar truk tersebut. Saya secara teratur membuntuti truk besar itu di belakangnya. Dengan seperti itu saya bisa mendapatkan jalan tanpa lampu.

Sesampai di tikungan pasar Pace Nganjuk, saya harus belok ke kanan. Sedang truk bensin terus menuju kota Nganjuk. Jalanan yang sebagian besar pesawahan itu saya lalui tanpa lampu. Nasib memang memihak ke saya, pantulan cahaya rembulan purnama membuat benda-benda di sekitar jalan memantulkan bayangan. Dengan demikian saya tetap bisa menjaga laju tetap pada jalan meski tanpa lampu.

Sesampai Nganjuk saya bertemu Bekti dan bermalam di sana. Keesokan harinya, jam 06.30 kami meluncur menjauhi matahari. Daerah Solo perbatasan Sragen adalah tujuan pertama, lalu ke Kotagede rumah Mas Hery Syukur yang mau membeli Vespa yang kami tunggangi tersebut.

Perjalanan di pagi sangat menyenangkan. Mentari dari arah timur seperti lampu yang super besar, menerangi segala keindahan di hadapan kami. Caruban, Madiun, dan Ngawi seperti tak terasa. Saat pukul sepuluh, kami berhenti sejenak melepas penat di tengah kawasan hutan Ngawi. Di samping jembatan kami teguk air mineral, dan Bekti menghisap beberapa glintir rokok.
Berpose di perbatasan Madiaun-Ngawi.

Istirahat di kawasan hijau.

Seusai beristirahat, kami lanjutkan perjalanan. Pemandangan yang serba hijau membuat perjalanan sungguh menyenangkan. Truk-truk tronton bermuatan berat yang merengkek-rengkek menyusuri jalan tanjakan aku dahului satu persatu. Vespa yang rendah dengan tanah membuat tinggi mata sejajar dengan roda truk-truk besar itu.

Pukul tiga sore kami menuju tujuan  pertama yaitu menghadiri pernikahan temannya Bekti, di daerah perbatasan Solo Sragen. Meski ia belum pernah ke rumahnya, namun alamat yang kami tuju sudah jelas. Jadi kami tidak sampai kehilangan arah. Dan kami pun segera sampai.

Sesampai di rumah teman kami, ada satu hal yang menarik yang membuat saya bertanya-tanya sejak masuk rumah tersebut. Selama masih mengobrol sama bapak pemilik rumah tanda tanya besar itu masih saya pendam. Nah, ketika temannya Bekti sudah datang dan kami mulai mengobrol, saya langsung bertanya tentang hal yang membuat saya penasaran tersebut.

Adalah satu huruf jawa berbunyi “Ja” tertulis di atas gawang rumah, sebagai pemisah antara ruang tamu dan ruang keluarga. Huruf tersebut ditulis dengan cat berwarna hijau dihiasi dengan dua ornamen di kanan kirinya. Saya yakin bahwa tulisan tersebut bukan sekedar coretan, namun ditulis dengan sengaja dan dengan maksud tertentu.
Huruf Jawa, "Ja".

Dan tepat sekali dugaan saya. Setelah saya tanyakan ke mas Kaffin, nama teman Bekti, dia menjawab bahwa tulisan “Ja” tersebut sebagai pengeling-eling dalam bahasa jawanya. Maksudnya adalah sebagai pengingat. “Ja” dalam bahasa jawa adalah “aja” artinya jangan. Maksudnya, lek kepingin diregani wong, ja sombong. Lek kepingin sugeh, ja males kerja. Lek kepingin pinter, ja males maca buku. Lek kepingin entuk pacar, ja males golek. Dalam bahasa Indonesianya, kalau kamu ingin dihargai orang lain jangan  sombong, kalau ingin kaya, jangan malas bekerja. Kalau ingin pandai, jangan malas membaca buku, dan seterusnya.

Sebuah cara yang ampuh untuk selalu mengingatkan kepada kebaikan. Ditulis di atas pintu yang mana setiap saat dilalui saat masuk rumah dan mau tidak mau pasti terbaca. Satu kata “ja” atau jangan, ternyata bisa mempunyai makna yang tak cukup diuraikan ke dalam berjilid-jilid buku pun. Luar biasa.

Seusai kami bersilaturrahmi, kami melanjutkan perjalanan berikutnya, menuju kota  Ngayogjokarto. Hari sudah mulai petang, dan Vespa belum ada lampunya sama sekali. Kami segera hunting toko lampu, sebelum gelap dan semua toko sperpart motor tutup. Dari toko ke toko, tak ada lampu yang cocok, sampai kami menemukan toko besar yang hampir saja tutup karena tinggal sedikit pintu yang terbuka. Saya langsung nyelonong masuk dan membeli dop buat ganti lampu vespa yang mati kemarin malam. Walhasil, dari toko setengah tutup tersebut saya mendapat dop lampu.

Karena jalan lumayan terang, kami tunda memasang lampu ke Vespa. Karena jika dop sudah terpasang kami tak bisa melaju dengan kencang, khawatir dop lampu akan putus lagi. Namun selang beberapa kilo kami berhenti di tukang tambal ban, dan meminjam kunci engkol serta obeng guna memasang dop tersebut. Saya baru menyadari pentingnya peratalan perbengkelan saat mengendarai Vespa, dan saya tidak membawa peralatan sama sekali kecuali kunci busi, karena peralatan tertinggal di Vespa saya satunya. Terlalu berani dan nekad menurut saya.

Senja di barat yang kuning kemerahan kami nikmati dengan laju vespa yang lamban. Luasnya jalan Kklaten Jogja dan keramainnya sungguh menambah keceriaan senja di sore itu. Semua kendaraan menyalakan lampunya, dan jalanan semakin tampak ramai olehnya. Tak lama kemudian perut Bekti berbunyi, itu tandanya minta diisi. Kami pun bertengger di angkringan dekat candi Prambanan, untuk menikmati khas Jogja Sego Kucing dan teh pahitnya.
Rambo dengan background Angkringan.

Jembatan layang Janti kemudian musium pelukis ekspresionis Affandi, merupakan dua tempat yang paling saya ingat sebagai tanda saya benar-benar sudah sampai Jogjakarta. Sesampai di Jogja, saya langsung menuju ke takmir masjid Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia, tak lain adalah menuju sahabat saya Riza Multazam Luthfi. Tanpa kabar-kabar kami langsung menuju ke kamarnya, dan ia tentu kaget sejenak dengan kedatangan kami.

Dengan kedatangan kami, Riza langsung sibuk dengan urusan dapur dan tetek bengeknya. Ia mempersiapkan makan malam dengan menu andalannya, sayur bening dan mie rebus. Dua kali saya mengunjunginya, dua kali kami disambut dengan menu yang sama. Jangan-jangan memang setiap hari sayur itu dan mie.
Reza terkejut saat saya dengan tiba-tiba masuk lorong kamarnya.

Mie dan sayur siap mengisi perut malam. 

Setelah perut kami penuh dengan sayur mayur dan mie masakan takmir masjid, saya menemui mas Hery Syukur yang akan membeli Vespa Rambo saya itu. Pertemuan kami lakukan di halaman masjid, lantaran rumah mas Hery sedang ada pengajian keagamaan. Setelah ia melihat vespa saya, dan sempat mencobanya, beliau sepakat untuk membeli. Namun, karena ada kesalahfahaman tentang surat-surat Vespa, beliau membatalkan pembelian dengan memberikan seluruh DP satu juta itu ke saya. Akad jual beli pun dibatalkan dengan sama-sama ikhlas dan rela hati.

Dengan dibatalkannya pembelian Vespa, muncul masalah baru. Rencana kami untuk kembali ke Nganjuk malam itu juga, kami urungkan, karena vespa tidak jadi diambil calon pemilik barunya. Akhirnya saya dan Bekti bermalam di tempat Riza tersebut. Meski satu kasur kami gunakan berempat, tidur terasa pulas. Oh Jogja.

Pagi harinya setelah sarapan, kami berpamitan pulang dengan jalan-jalan ke Malioboro terlebih dahulu sekedar ambil foto menandakan bahwa Vespa Rambo sudah pernah memijak jantung Jogja tersebut. Setelah berfoto-foto kami sempatkan menemui dua saudara dari ponorogo di warkop Mato. Berharap ada yang mau membeli vespa dan kami bisa pulang naik bis. Namun usaha itu sia-sia karena waktu mengharuskan kami segera kembali ke Nganjuk.
Berpose sebelum pulang.

Km nol Malioboro.

Kami pun segera berangkat menuju matahari terbit untuk segera sampai Nganjuk. Sebelum laju vespa kami galak, saya putus kabel yang menyambung ke lampu, sehingga melaju dengan kecepatan berapa pun arus listrik yang menuju lampu terputus. Perjalanan pulang itu adalah titik puncak kecepatan vespa. Saya tak peduli vespa saya rontok di jalan, saya tarik penali gas sekencang-kencangnya selama kondisi jalan memungkinkan.

Hasilnya luar biasa. Perjalanan yang kami mulai pukul 08.00 pagi pada jam dua kami sudah memasuki kawasan Caruban. Waktu tempuh tersebut terpotong di hutan Ngawi saat kami melakukan ritual makan siang di sebuah kedai. Masih saya ingat setiap di pemberhentian, Bekti yang duduk di belakang selalu berdiri dan memijit-mijit bokongnya. Katanya ngilu rasanya. Pernah dia mencoba duduk di depan mengendalikan Rambo, namun tersendat-sendat lantaran silang lima kopling yang ada dalam mesin Vespa sudah aus dan waktunya menggantinya.

Ketika mulai masuk hutan Caruban, tiba-tiba mesin Rambo meletus-letus dan berhenti. Setelah aku coba dengan perbaikan yang saya bisa, ia tetap tak mau hidup lagi. Kategangan mulai terjadi. Selama yang pernah saya lakukan adalah bepergian dengan Vespa PX Ekslusif yang pengapiannya menggunakan sisten CDI. Dan selama itu pula saya tidak pernah mengalami kendala serius. Sedangkan sistem pengapian Rambo adalah platina. Masih sangat asing bagi saya.

Hape saya mati, memaksa saya untuk cari pinjaman charger di konter terdekat untuk menghubungi kawan-kawan sekoteris dan minta bantuan mereka. Setelah hape saya hidup dengan bantuan batrey pinjaman, saya sempatkan mencatat beberapa nomor, dan menghubunginya lewat hapenya Bekti. Namun semua kawan-kawan lagi di luar kota. Akhirnya saya cari bengkel terdekat.

Orangnya tua, rumahnya sederhana. Beliaulah yang nantinya akan berusaha memperbaiki vespa saya. Mulai jam tujuh, hingga jam setengah dua belas malam, beliau berusaha memperbaiki dengan jalan pintas, karena alat yang mati yaitu kondensator yang menghubungkan kumparan spul dan koil. Alat itu hanya bisa didapatkan di toko, sedangkan pada malam hari mana ada toko sparepart motor buka.
Memperbaiki kondensator.

Pertama kalinya memanjakan Vespa.

Hingga akhirnya, beliau menyerah. Solusi terakhir adalah kami menghadang mobil pick up yang melintas ke arah Nganjuk. Pick up pertama yang kami hadang hanya sampai daerah Guyangan, yaitu daerah sebelum kota Nganjuk. Kamipun tidak jadi menumpang. Pick up kedua kami hadang, ia akan menuju kota Kediri. Dengan negoisasi singkat, kesepakatan pun terjadi. Pick up tersebut mengangkut Rambo hingga desa Kapas, Sukomoro, Nganjuk dengan ongkos Rp. 50.000. Itulah akhir perjalanan kami, dan untuk pertama kalinya saya memanjakan vespa dengan menaikkannya ke mobil Pick up. Selamat malam bapak tua, terima kasih telah merawat Rambo meski sementara. Jasamu akan selalu kukenang. Maka kupandangi lama bentuk rumahmu, dan kelak akan aku cari-cari ketika melintasi jalan ini. Perjalanan kamipun berlanjut, hingga larut.

***
Rambo tersebut akhirnya terjual beberapa minggu sebelum saya menikah. Dengan bandrol harga Rp. 3.100.000. Dari uang tersebut saya bisa membeli cincin pertunangan, mas kawin, dan serba-serbi pernikahan lainnya. Namun sayang sekali, saya tidak sempat mengisyaratkan perpisahan dengannya. Dia dibeli orang ketika aku serviskan di sebuah bengkel di Nganjuk. Melalui handphone, saya dan pemilik bengkel bernegoisasi. Sore itu bernegoisasi, sore itu juga Rambo dibawa pemiliknya yang baru. Ketika saya mengunjungi bengkel untuk mengambil uangnya, Rambo sudah tiada. Selamat tinggal Rambo, semoga pemilik barumu lebih merawatmu. Setiap jengkal perjalanan yang kita lalui, tak pernah hilang dari ingatan.

1 komentar: