Rabu, 08 Juni 2016

Mengejar Cinta

Sudah lama saya berhenti nulis di blog ini. Sepertinya memang salah satu penyebab utamanya adalah keinginan untuk menulis hal-hal yang “serius” mengingat sekarang sudah memasuki lebih lima tahun dari seperempat abad umur saya. Saya harus meninggalkan tulisan-tulisan pop dan beralih pada yang lebih serius dan berbobot. Namun apalah daya, dengan kesibukan kerja di dua instansi membuat saya kewalahan dalam menjalani hari-hari, hingga tak satupun tulisan dapat terangkai selama hampir satu tahun.

Pada kesempatan ini saya akan menulis tulisan yang pantasnya saya tulis sekitar tujuh tahun lalu. Namun tak apalah saya niatkan untuk memulai bangkit lagi dalam mengisi blog yang lama vakum ini. Dan tentunya, tulisan ini saya sajikan dari peristiwa lama.

Setiap remaja mesti ingin meraih cinta sejati yang diidam-idamkannya. Begitu juga dengan saya remaja, bergelora dalam semangat perburuan cinta hakiki nan sejati. Cinta, oleh pakarnya masih diperdebatkan definisinya. Saya remaja mengartikannya sebagai kata “menyukai”, dalam bentuk kata kerja aktif. Artinya cinta adalah aktivitas menyukai sesuatu. Nah, kata menyukai itu dalam gramatika Arab merupakan kata kerja yang membutuhkan objek (fiil muta’adi) maka ketika seorang mencintai maka haruslah ada yang menjadi objek dari cinta tersebut.

Saya remaja pun juga merasakan kebutuhan akan seseorang untuk dicintai. Karena kata kerja aktif mencintai sudah menguasai diri saya, sedang seseorang yang menjadi objek kata tersebut belum ada. Maka mulailah langkah demi langkah saya lakukan untuk mencari tumpuan kata kerja mencintai yang sudah menyatu dalam jiwa.

Barangkali berbeda dari orang pada umumnya, meskipun tujuan utama saya menemukan seseorang yang saya maksudkan itu, namun saya lebih tertarik pada proses bagaimana saya menemukannya. Dengan demikian saya selalu memimpikan sebuah pertemuan yang indah, agung, dan berkesan. Laksana seorang pangeran yang menempuh ribuan rintangan sebelum menemukan tuan putrinya pada dongeng-dongeng. Salah satu pengalaman saya dalam hal ini akan saya ungkapkan pada tulisan berikut ini.

Di stasiun kota Malang. Orang-orang dalam ketegangan ketika stasiun mengumumkan datangnya kereta dari Surabaya menuju Blitar dan Tulungagung. Mereka serentak berdiri, mendekati lintasan kereta api, dalam benak mereka tersisip rasa cemas; akankah mendapatkan tempat duduk. Lalu klakson kereta pun mendengung dan calon penumpang memasang mata untuk memantau gerbong mana yang paling longgar di antara gerbong-gerbong kereta. Saya hanya mengamati saja, karena naik kereta dengan berdiri menjadi kesenangan tersendiri.

Setelah kereta menghentikan rodanya, saat itu juga calon penumpang berdiri di depan pintu menunggu penumpang yang turun di stasiun Malang. Setelah itu mereka langsung berebut pintu memasuki gerbong kereta yang sebenarnya sudah sesak penumpang. Saya masuk terakhir kali dan tak lama kemudian kereta berjalan lagi. Gerbong sesak oleh penumpang, saya pun bergeser ke tengah gerbong untuk menghindari gangguan para asongan yang berjalan mondar-mandir dari gerbong satu ke gerbong lainnya.

Pada saat itulah mata menikmati uniknya para musafir yang heterogen dalam satu gerbong, bagaimana mereka berperilaku, berinteraksi antar sesamanya, dan merupakan hal yang paling menyenangkan menebak-nebak apa yang mereka pikirkan hingga menebak latar belakang mereka. Dengan berdiri, mata bebas memandang ke arah manapun ia inginkan. Semua itu saat ini tidak bisa dinikmati lagi oleh para traveler, dikarenakan transformasi PT. Kereta Api pada beberapa tahun terakhir yang memberlakukan isi penumpang sesuai dengan tempat duduk, dan pelarangan asongan berjualan dalam gerbong maupun stasiun.

Mata saya menyapu dari satu wajah ke wajah lainnya, saya menemukan sinar yang terang, rambutnya tergerai panjang gemlitir di tempa angin. Ibarat malam, wajahnya adalah rembulan, dan paginya adalah mentari. Mata saya terus mencuri-curi pandang, menikmati indahnya ciptaan Tuhan. Lalu saya berfikir mencari cara untuk dapat sekedar berkenalan dengan gadis itu. Akal saya menggali ide dengan keras, menemukan cara berkenalan yang berkesan. Posisi antara dua makhluk ini menyulitkan untuk saling bersapa. Saya berdiri di antara tempat duduk kereta yang penuh terisi penumpang, sedangkan ia duduk di kursi yang jauh dariku. Dan jarak kami dijejali beberapa penumpang yang juga berdiri di sepanjang jalan gerbong.

Kedipan demi kedipan kedua matanya memacu saya untuk terus menemukan cara untuk bersapa lalu mengenalnya. Akhirnya satu cara saya temukan juga. Saya segera mengeluarkan karcis kereta dari lembaran kertas, lalu mengeluarkan pena dan mulai menuliskan beberapa kata. Begini bunyinya, “Saat rambutmu tergerai indah, tak dapat kuingat lagi, selain bidadari yang menawan dengan segala kesempurnaan. Hai gadis perparas manis, aku ingin mengenalmu”. Lalu aku tuliskan nomor telpon di bawahnya. Lalu karcis itu aku lipat dan menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikannya.

Roda kereta terus berputar, suara gemeretak perpindahan roda besi di antara potongan rel tidak mengenal lelah. Aku terus waspada menemukan saat tepat untuk sebuah perkenalan yang berkesan, tak diguga-duga, secara tiba-tiba, penuh kejutan. Akupun sudah membubung tinggi membayangkan jika perjumpaan ini berhasil, betapa indahnya awal kisah cintaku nanti.

Kereta melambat sebelum memasuki stasiun Blitar. Gadis itu bergegas bersiap untuk turun, maka aku segera bersiap untuk menyampaikan kertas merah muda di genggaman. Ketika ia mulai melangkahkan kaki menuju pintu keluar akupun segera mengikutinya dengan langkah lebih cepat mendesak dan menjejal beberapa penumpang yang berdiri di sepanjang jalan. Sebelum ia sampai di pintu saya segera menyapanya lalu perempuan itu menoleh ke arahku. Jentik bulu matanya, bibirnya, menekan nafasku. Lalu dengan segera aku katakan bahwa karcisnya terjatuh dan aku berusaha memberikannya lagi. Di saat itu pula aku mengulurkan tanganku dengan secarik karcis kertas merah muda terapit jari jempol dan telunjuk. Ia pandangi karcis sejenak lalu menatapku dan mengatakan bahwa itu bukanlah karcisnya.

Aku mengatakan bahwa ini karcisnya seraya memaksa untuk menerimanya. Dengan desakan penumpang dari belakang yang juga mau turun, maka ia pun mengambil karcis itu lalu melangkah menuju pintu dan menuruni gerbong kereta. Aku pun melangkah berbalik arah untuk melihat langkahnya dari jendela. Pada saat itu aku melihat seorang penumpang yang hendak turun dan tangannya mengapit sebuah karcis kecil dari kertas karton berwarna coklat. Aku baru menyadari bahwa karcis yang kami miliki tidaklah sama. Penumpang dari kota Malang yang turun Tulungagung menggunakan karcis dari kertas HVS berwarna merah muda, sedang yang turun di kota Blitar (jaraknya lebih dekat) menggunakan karcis kecil berwarna coklat. Mukaku sekaligus terasa tebal. Sungguh peristiwa yang memalukan sekaligus memilukan. Aku pun segera membungkukkan badan berusaha menatap luar dari jendela, berharap pandangan ini dapat mengahantarkan langkah perempuan itu, sekaligus melihat reaksinya. Namun yang kudapati hanyala para manusia yang berjejal dalam kesibukan perjalanan. Seperti hatiku yang berjejal rasa malu, sesal, dan sebal.

Roda kereta menggelinding lagi, wajahku terserpih-serpih sembari menunggu handphone dalam saku, barangkali masih akan tiba secuil harapan untukku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar