Kamis, 23 Agustus 2018

Menit-menit Terakhir Bersama Abah

Kematian adalah jalan yang pasti dilalui oleh setiap makhluk hidup. Akhir dari perjumpaan adalah perpisahan dan setiap kehidupan akan berujung pada kematian. Perjumpaan dan perpisahan, sebagaimana kehidupan dan kematian, memiliki substansi yang sama, dari tidak ada menjadi ada, dan kembali ke tidak ada. Dari setiap segmen tragedi tersebut perasaan manusia berkelindan antara kesedihan dan kebahagian yang terus mengiring sepanjang hidupnya.

Pada 2 Juni 2018 lalu kali pertama saya merasakan kehilangan yang tiada tara. Salah seorang yang kami sayangi pergi mengikuti jalan kehidupan. Abah, bahkan aku pun tidak ingat kapan mulai memanggilnya dengan kata itu. Ingatan paling jauh yang ada dalam memoriku tentang abah adalah saat beliau mau bepergian mengirimkan genteng, lalu abah mengatakan akan membelikan mainan. Dan setelah pulang pada malam harinya, abah benar-benar membawakan mainan berupa mobil gila. Lalu pada pagi harinya sebelum langit terang aku membangunkan teman-teman di kanan kiri rumah untuk menyaksikan mainan baru tersebut. Semuanya terheran-heran melihat mobil yang ketika menabrak tembok dapat berguling dan berdiri lagi tersebut.

Di menit-menit terakhir menjelang perpisahan kami dengan abah, secara kronologis adalah paling berkesan dalam hidup saya. Saya adalah salah satu dari keluarga yang berada di samping abah di saat dia pergi meninggalkan kami. Ada penyesalan, sekaligus kelegaan, yang bertumpang tindih saat itu. Penyesalan karena selama ini aku belum mampu mengabdi dengan sebaik-baiknya, dan kelegaan karena abah melalui menit-menit terakhirnya terbilang cukup mudah. berikut ini adalah tulisan yang akan mencoba mengukir ingatan saya mengenai masa-masa menjelang perpisahan dengan abah.

Ayam berkokok. Mata terjaga. Jarum paling gimbul dalam jam dinding tergeletak diantara angka empat dan lima. Aku berdiri kemudian melangkah ke kamar mandi. Waktu paling efektif beraktifitas pagi hari adalah saat anak-anak masih pulas. Segera tubuh ini kuguyur dengan berliter air. Panas tubuh menguap dan dingin air mulai beradaptasi.

Istriku yang sudah menyiapkan jamuan pagi membangunkan anak-anak dengan lembut. Pertama si kecil kemudian kakaknya. Setelah semua terguyur dengan dingin air pagi, kami sarapan bersama abah dan ibu. Abah yang sebulan terakhir dalam kondisi sakit masih sering menyempatkan diri untuk menikmati sarapan bersama.

Saat mentari akan meninggi, kami berpamitan untuk pergi ke kota Angin, kota dimana istriku dilahirkan dan menghabiskan masa kecilnya. Ketika kami menaiki mobil, abah duduk di atas kursi plastik di teras rumah. Farih melambaikan tangannya ke kakeknya yang sedang duduk dengan lemah. Dan kakek juga melambaikan tangannya ke kami. Perjalananpun dimulai.

Pada keesokannya, tanggal dua hari Sabtu pukul 10.00 WIB hpku berdering. Ternyata itu adalah suara ibu yang sedang menangis panik karena abah tidak bisa diajak bicara. Mata terjaga dan sadar namun tidak bisa diajak bicara. Tanpa berpikir panjang saya dan keluarga langsung tancap gas pulang. Panik serta cemas menjalar ke urat nadiku. Bayangan wajah abah tak lepas sedetikpun selama perjalanan. Namun setelah sampai Kediri aku menelfon ibu untuk mengetahui kondisi abah terkini. Hasilnya abah sudah sadar. Ikatan yang sebelumnya membelenggu tubuh seakan pudar. Kabar yang melegakan. Saya meneruskan perjalanan, pedal gas saya perlembut.

Kami sampai rumah Baruharjo pukul 12.00 WIB, aku masuk kamar abah bersama ibu mertuaku yang ikut pulang bersamaku. Di dalam kamar ada juga ibuku. Dia bercerita tentang kejadian dua jam sebelumnya. Kami menyimak dengan seksama, kami menebak-nebak, abah pada saat itu sedang pingsan. Kata yang sering muncul dari penceritaan ibu, “Aku takut, aku khawatir”. Dan sesaat sebelum kami meninggalkan abah untuk istirahat, beliau mengucapkan, “Aku kok yo wedi”, “Aku juga merasakan takut”.

Setelah itu aku tertidur di ruang tengah, dan ternyata tak lama kemudian pakdhe (kakak abah) datang mengantarkan telur ayam jawa pesanan abah. Katanya mereka juga mengobrol cukup lama. Pada saat itu saya tidur.

Ketika waktu menjelang sore kami beraktifitas seperti biasa. Abah seperti beberapa hari terakhir, ia diseka, karena musim dingin (bedinding) terjadi dalam beberapa hari itu. Sebelumnya selama abah sakit, beliau mandi sendiri.

Ketika adzan magrib, menjelang buka puasa, saya masuk ke kamar abah, dan aku lihat abah sedang berbaring dengan mata terjaga. Lalu aku ingatkan beliau untuk sholat magrib. Seperti ketika sholat dzuhur sebelumnya karena tingkat keseimbangan abah melemah dan jika berjalan sempoyongan, maka diputuskan untuk tayamum saja, saat sholat magrib tersebut juga saya anjurkan untuk tayamum. Kemudian beliau juga melakukan gerakan tayamum membasuh muka dan dua tangan dengan tetap berbaring. Kemudian setelah beliau selesai tayamum, abah memejamkan mata seperti karena mengantuk. Lalu segera aku pegang pundaknya dan mengatakan kepada beliau untuk segera sholat, lalu abahpun segera memulai sholat dengan takbiratul ihram.

Kemudian aku menuju ke ruang makan untuk melaksanakan buka puasa. Saat kami berbuka ibu mengatakan bahwa ia akan segera sholat magrib dan menemani abah di dalam kamar, karena beberapa hari ini abah selalu minta ditemani. Ibu bergegas pergi dan aku masih melanjutkan buka puasa. Ketika ibu selesai sholat beliau langsung menuju kamar abah, lalu disusul ibu mertua beliau duduk di dekat abah dan meminda doa restu karena akan menikahkan kakak iparku. Abah hanya mendengar, tanpa ada kata.

Ketika adzan Isya berkumandang, aku segera berwudhu dan mengajak Farih anak pertamaku ke musholla guna melaksanakan sholat Tarawih. Di saat itu ibu memanggilku dari dalam kamar, lalu aku masuk. Kondisi abah tidak dapat diajak bicara, namun ia terjaga. Beliau juga merespon suara, saat aku panggil ia memandangku, saat dipanggil ibu ia melihatnya, dan ketika Farih yang berumur 4 tahun masuk kamar dan ikut memanggil kakeknya, abah juga melihatnya. Namun abah hanya menggerakkan tangannya dengan berat ia ingin mengakatan sesuatu tapi tak bisa.

Kami goyang-goyangkan pundaknya, kakinya, sambil memanggil-manggil beliau. Ibu mulai menangis. Tak lama kemudian nafasnya mulai berat dan mata abah memandang kosong. Saat itu juga aku ambil Al-Qur’an dan aku bacakan surat Yasin, sembari ibu menalqin abah didampingi ibu mertua yang berdiri di samping dipan. Dipikiranku hanya ada satu, jangan menyia-nyiakan detik-detik akhir abah di dunia. Sembari demikian, istriku pergi ke musholla memanggil paman. Selama pembacaan Yasin ibu mendekte abah dengan kata Allah.. Allah.. dan abah sempat menirukan dengan suara berat.

Setelah bacaan Yasin lengkap, dan mengulang satu halaman, paman sampai rumah. Kami berdiskusi dan menghasilkan keputusan abah harus segera di bawa ke UGD puskesmas Baruharjo yang berjarak 3 km dari rumah. Aku berlari keluar menuju garasi mengeluarkan mobil. Mobil saya parkir tepat di depan pintu rumah. Kemudian aku turun untuk membopong abah bersama paman dan ibu. Namun ketika hendak masuk rumah, paman malah berjalan keluar dan mengatakan abah minta aku antar ke toilet. Aku lari menuju ke kamar, dan benar, ternyata abah sudah sadar. Beliau ingin aku antar kan ke toilet. Saat itu ibu menawarkan abah untuk buang air kecil di kamar saja, pakai bak atau timba, namun abah menolak ia tetap ingin ke toilet dan langsung berdiri sendiri dengan sempoyongan lalu aku tangkap lalu aku papah beliau berjalan menuju toilet.

Sesampai toilet oleh paman aku disuruh ikut masuk, namun awalnya abah menolak. Namun mengingat keadaan, saya langsung ikut masuk begitu saja. Pintu kami tutup dari dalam, abah masih sempat menyiram bibir kloset sebelum beliau duduk untuk buang air. Aku berdiri di depannya, berjaga. Setelah beliau duduk, beliau hanya buang air kecil sembari demikian beliau berucap, “Ya Allah, rasane kok koyo ngene, ya Allah”, “Ya Allah rasanya kok begini, ya Allah”. Hatiku sudah lapang, abah sudah kembali normal seperti sebelumnya. Beliau mampu berjalan sendiri meski dengan aku papah. Beliau sudah dapat berucap sebagaimana biasa.

Seusai buang air kecil abah juga menyiram kloset sendiri, bersuci, kemudian menyiram kedua kakinya. Kemudian saat hendak berdiri, beliau berkata, “Sik, sik, aku lungguhna kene”, “Sebentar, sebentar, aku dudukkan di sini”. Beliau meminta didudukkan di bibir kolah yang hanya setinggi 30 cm. Lalu beliau duduk sambil aku pegangi tubuhnya. Saat duduk itulah abah berkata, “Aku kok wis ora ketara apa-apa”, “Saya kok sudah tidak dapat melihat apa-apa”. Sambil berkata itu abah seperti berusaha melihat benda-benda di depannya. Lalu aku berkata untuk segera ke kamar. Aku langsung mengangkat abah untuk menuju ke kamar. Setelah aku angkat sendikit, tiba-tiba abah lemas, beliau pingsan.

Pintu kamar kecil aku buka, dan meminta tolong paman dan ibu yang sedari tadi berjaga di depan. Kami bertiga membopong abah menuju kamar tidur. Lalu sesampai kamar kami rebahkan abah di atas kasur, saat itulah abah seperti menahan sakit yang sangat. Kedua tangan beliau menggenggam di depan dada dan mengotot, lalu lemas tak bergerak. Pecah tangis ibu, kami goyang-goyangkan abah, tak ada respon. Lalu aku berlari menuju tetangga yang berprofesi menjadi perawat di rumah sakit daerah. Tepat setelah sholat tarawih, beliau aku minta melihat kondisi abah.

Tak lama kemudian perawat sampai rumah lengkap dengan peralatan medisnya. Langsung memeriksa abah. Ia memeriksa nafas abah menggunakan stetoskop, lalu memompa dada abah membantu nafas, membuka dua mata abah dan menyenternya, hingga jatuh pada satu kesimpulan yang membuat semua lebur dalam kesedihan. Abah telah berpulang ke rahmatullah. Semoga amal baik beliau diterima dan semua kesalahan diampuni. Lahu Al-fatihah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar