Dalam sejarahnya, Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara dirumuskan secara matang oleh tokoh negara serta tokoh agama. Yaitu ketika dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 28 Mei 1945 hingga 17 Agustus 1945 sore hari setelah proklamasi kemerdekaan. Dalam rentang waktu yang cukup panjang tersebut ideologi dan dasar negara yang nantinya disebut Pancasila diolah melalui pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan kondisi negara Indonesia.
Lima sila dalam Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara ditinjau dari agama Islam sangat sejalan dengan Al-Quran dan Hadis sebagai dua sumber utama hukum Islam. Kelima sila tersebut berbunyi; (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab (3) Persatuan Indonesia (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan dalam permusyawaratan perwakilan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesejalan Pancasila dan Qur’an Hadist akan diuraikan secara singkat sebagai berikut:
(1)Ketuhanan Yang Maha Esa. Kata “Esa” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti satu, tunggal. Ke-esa-an Tuhan, dalam al-Qur’an disebutkan diantaranya dalam surat Al-Ikhlas (قُلْ هٌوَ اللَّهُ اَحَدْ: الاخلاص:1 ) artinya; Katakanlah (Muhammad), “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa”. Ayat tersebut sudah dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan Allah itu Esa (satu).
(2)Kemanusiaan yang adil dan beradab. Islam sangat menghargai kemanusiaan. Menurut KBBI kemanusiaan adalah secara manusia. Itu artinya Pancasila juga menjunjung tinggi sifat-sifat yang layak bagi manusia sebagaimana dalam Islam. Seperti dalam surat al-Baqarah 177 yang artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, Malaikat-malaikat, kitab-kitab, Nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah [2]; 177). Ayat tersebut sungguh mengutamakan sisi kemanusiaan dari pada ibadah ritual semata.
Kedilan dalam Islam dapat kita ketahui dari surat Mumtahanah ayat 8 yang artinya; “.... Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil”. Sedang tentang adab, ada sebuah hadist قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أدبني ربي فأحسن تأديبي)) artinya: Rasulullah SAW bersabda; Allah telah menjadikan aku beradab maka baiklah adabku. Kesempurnaan adab Rasulullah menjadikan ia sebagai pedoman setiap tinggah laku ummat Islam, karena adab beliau adalah al-Qur’an. Dengan dimikian kemanusian yang adil dan beradab adalah konsep kemanusiaan dalam Islam.
(3)Persatuan Indonesia. Menurut Dr. M. Qurash Shihab untuk mengetahui paham kebangsaan dalam al-Qur’an kita harus terlebih dahului mengetahui kata apa saja yang digunakan al-Qur’an dalam mengungkapkan paham kebangsaan. Beliau mengemukakan ada tiga kata yang dipakai al-Qur’an untuk menyatakan arti bangsa, yaitu; sya'b, qaum, dan ummah. Seperti dalam al-Qur’an: يايها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن اكرمكم عند الله اتقكم إن الله عليم خبير (الحجورة: 13) artinya: Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telahi menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan, dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Qs. Al-Hujurat:13).
Menurut beliau kata ummat-lah yang paling sesuai dengan kebangsan, karena kata umat dalam Al-Quran sangat lentur, dan mudah menyesuaikan diri. Tidak ada batas minimal atau maksimal untuk suatu persatuan. Sebagaimana al-Qur’an menyebut orang-orang yang tidak beriman juga dengan kata umat. Begitu juga Nabi disebut dengan kata umat seperti pada surat An-Nahl ayat 120: إن إبراهيم كان أمة قانتا لله حنيفا ولم يكن من المشركين artinya: Sesungguhnya Ibrahim adalah umat (tokoh yang dapat dijadikan teladan) lagi patuh kepada Allah, hanif dan tidak pernah termasuk orang yang mempersekutukan (Tuhan) (QS An-Nahl : 120).
Beliau juga menuturkan, “di sisi lain dalam Al-Quran ternyata ditemukan sembilan kali kata ummat yang digandengkan dengan kata wahidah, sebagai sifat umat. Tidak sekali pun Al-Quran menggunakan istilah Wahdat Al-Ummah atau Tauhid Al-Ummah (Kesatuan/ penyatuan umat). .... Hal tersebut ditafsirkan oleh Mahmud Hamdi Zaqzuq, mantan Dekan Fakultas Ushuluddin Al-Azhar Mesir, yang disampaikan pada pertemuan Cendekiawan Muslim di Aljazair 1409 H/ 1988 M, bahwa Al-Quran menekankan sifat umat yang satu, dan bukan pada penyatuan umat, ini juga berarti bahwa yang pokok adalah persatuan, bukan penyatuan.”
Hingga tentang persatuan umat Islam beliau menyimpulkan “Kesatuan umat Islam tidak berarti dileburnya segala perbedaan, atau ditolaknya segala ciri/sifat yang dimiliki oleh perorangan, kelompok, asal keturunan, atau bangsa. Kelenturan kandungan makna ummat seperti yang dikemukakan terdahulu mendukung pandangan ini. Sekaligus membuktikan bahwa dalam banyak hal Al-Quran hanya mengamanatkan nilai-nilai umum dan menyerahkan kepada masyarakat manusia untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai umum itu. Ini merupakan salah satu keistimewaan Al-Quran dan salah satu faktor kesesuaiannya dengan setiap waktu dan tempat. Dengan demikian, Al-Quran tidak mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam ke dalam satu wadah kenegaraan. Sistem kekhalifahan --yang dikenal sampai masa kekhalifahan Utsmaniyah-- hanya merupakan salah satu bentuk yang dapat dibenarkan, tetapi bukan satu-satunya bentuk baku yang ditetapkan. Oleh sebab itu, jika perkembangan pemikiran manusia atau kebutuhan masyarakat menuntut bentuk lain, hal itu dibenarkan pula oleh Islam, selama nilai-nilai yang diamanatkan maupun unsur-unsur perekatnya tidak bertentangan dengan Islam.”
(4)Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan dalam permusyawaratan perwakilan. Tentang musyawarah dalam al-Qur’an hanya terdapat tiga ayat. Itu artinya musyawarah tidak diterangkan secara terperinci hingga pernik-perniknya. Hal tersebut menurut -Dr. M. Quraish Shihab- permuysawaratan diserahkan kepada manusia, konsepsi dan tekniknya. Hanya saja yang perlu ditegaskan, bahwa musyawarah dalam hal ini adalah musyawarah dalam kebaikan.
Salah satu ayat tentang musyawarah yaitu: والذين يستجابوا لربهم وأقاموا الصلاة وامرهم شورى بينهم ومما رزقناهم ينفقون (الشورى: 38) artinya; (Orang-orang mukmin yaitu) Orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka, melaksanakan shalat (dengan sempurna), serta urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antar mereka, dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
(5)Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Al-Qur’an sangat menjunjung tinggi keadilan. يآيها الذين آمنو كونو قوامين لله شهدآء بلقسط ولا يجرمنكم شنآن قوم على ألا تعدلوا اعدلو هو أقرب للتقوى واتقوا الله إن الله خبير بما تعملون (المائدة: 8) artinya; “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Begitu pula dengan diturunkannya para Nabi di dunia adalah untuk menegakkan keadilan. Seperti yang tertuang dalam surat al-Hadid yang artinya: Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan membawa bukti-bukti nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan keadilan (QS Al-Hadid [57]: 25)
Nyata sudah bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Substansi Pancasila pada hakekatnya adalah muatan-muatan yang terkandung dalam Islam. Untuk membangun peradaban yang qur’ani kita tidak perlu merombak dasar dan ideologi negara dengan khilafah islamiyah, mengingat beragamnya suku dan budaya nusantara, yang mana al-Qur’an juga sangat menghargai perbedaan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar