Senin, 17 Oktober 2011

Pondok

"Kawan, ayo ke sini?” pintaku seraya menggelandang tangannya untuk menunjukkan sesuatu. Setelah kami berada dalam kamar. Ia belum merasa bersalah atas kata-katanya yang hampir membuatku malu di depan teman-teman. Ia melihat kamar kami yang bersih dan rapi, meski ada beberapa potong celana kolor yang menggantung di atas pintu. Namun, untuk ukuran cowok kamar kami sudah dalam kategori bersih dan rapi. Ia juga tau kalau kami bisa menata dan meletakkan sesuatu dengan pas. Almari pribadi melekat selebar tembok sebelah kanan dengan almari gantung di tepinya khusus untuk pakaian yang suci. Di bawah almari itu terdapat cantolan yang memanjang sebagai tempat tas. Rak buku bertingkat tiga melekat juga di tembok sebelah kiri tepat berhadapan dengan almari pribadi. Kemudian cantolan kopyah berada di balik pintu, sehingga saat pintu terbuka tidak terlihat. Selain itu, aquarium dengan ikan-ikan cantik, kotak baju kotor, dan galon air minum kami tata hingga menjadi aksesoris pelengkap yang indah.

Sekarang ia kutarik ke dapur. Ia melongo melihat suasana di dapur kami. ”Sudah pakai elpiji!” katanya. Ia kira kami ini terbelakang, pakai kayu dan arang. Namun dengan mata sendiri ia meihatnya. Kompor elpiji berjajar rapi di meja beton. Tempat mencuci piring terletak terpisah dengan kompor-kompor itu, sehingga tidak menimbulkan kesan becek. Juga almari khusus perkakas alat masak sudah tersedia di ruang sebelahnya. Tak ada panci yang terlantar di lantai.

Tak menungu lama, ia kugiring menuju kamar mandi dan WC. ”Kalau mau cari ide kreatif, nih, tempatnya!” kumenunjuk salah satu WC dengan sedikit pamer. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepala. ”Bener-bener gila, ini hotel, man!” kata-kata itu meletup dari mulutnya setelah ia masuk WC kami. ”Eh, jadi pengen beol nih, tunggu bentar ya!” Sialan. Ia kebelet juga. Itu pun tidak keluar sebelum pintu aku gedor-gedor setelah hampir 20 menit aku menungunya. Ia keluar dengan cengengesan. ”Maap. Lama nunggu ya! Terlalu menikmati. Habis WC-nya mewah sih”. Sambil bersungut-sungut aku cepat tarik tangannya menuju perpustakaan.

Sesampai di perpus ia gigit jari. ”Hari-hati, ntar jarimu patah lho” aku meledeknya. Betapa rak perpus kami membentang sepanjang dinding dari dasar lantai hingga menyentuh atap. Rak-rak tu seluruhnya disesaki dengan berbagai macam buku mulai dari yang paling salaf hingga yang paling posmodern. Juga maktabah syamilah yang menghimpun ribuan buku dalam satu PC tersedia di sana. Tinggal menggoyangkan sedikit jarimu persoalanmu akan terjawab dalam kitab-kitab itu. Tak ketinggalan, koran nasional yang selalu up to date siap membuka cakrawala informasi pada kita tanpa susah payah. Setelah puas melihatnya, kemudian ia kugiring lagi menuju kantor.

Saking melongonya air liurnya hampir menetes ke lantai kalau tidak aku bentak. ”hey, mingkem!”. ”Oh, maaf”. Sambil diserotnya lagi ilernya itu. Ia hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkali-kali acungkan dua jempol ketika mengetahui layanan kantor kami seluruhnya memakai sisitm on-line. Semua serba digital. Mulai perizinan sampai pembayaran sahriyah. Juga tak perlu bertumpuk kertas untuk mengarsipkan data para santri dan asatidz, karena database mampu menyimpannya dengan sekali ”klik”. Dengan layanan itu jangan sekali-kali kamu mencoba menipu keamanan tentang total pelanggaranmu. Karena secara otomatis, mesin canggih itu akan mem-blacklis-mu

Ia lemas. Sempat aku sedikit takut ia akan pingsan. Mungkin karena sudah terlalu meyesal atas perkataannya pada teman-teman kalau pondok salaf itu katrok, kolot, kumuh, ndeso, kampungan, terbelakang dan ucapan tradisional lainnya. Ia segera kuajak menuju puncak segala puncak. Tandon air. Di atas tandon air setara dengan lantai empat itu ia meminta maaf padaku atas ucapannya yang sangat ngawur tak berdasar. Tak ada yang bijak selain memaafkannya. Lalu dari ketinggian itu tampak hiruk pikuk kota yang berebut kemewahan. Dengan menatap senja di barat kota, beberapa kali ia memuji kemegahan pondokku. ”Ia, memang megah. Tapi, semangat santrinya tak semegah pondok dan keteladanan Masyayikhnya”. Kataku dalam hati. Tak lama kemudian, aku merasa juga. Merasa bersalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar