Jumat, 14 Oktober 2011

Pasang Bendera

“Pak, hari ini pak Presiden akan lewat di depan rumah kita. Perkiraan jam sebelas siang nanti”

“Trus, ngapain!”

“Bukankah kita harus pasang bendera!”

“Harus! Kenapa?”

“Tadi pak Bayan Desa ke sini, menyuruh setiap rumah yang berada di tepi jalan raya supaya memasang bendera merah putih”

“Kenapa hanya yang tepi jalan? Bagaimana dengan tetangga-tetangga kita di belakang rumah?”

Aku terdiam. Mencoba menafsirkan pertanyaan-pertanyaan bapak.

”Ya karena rumah mereka di belakang”

”Apa beda di belakang dan di depan?”

”Kalau di depan kan kelihatan, nanti waktu pak Presiden lewat”

”Kenapa harus merah putih?”

”Aduh, paaak.. masak Presiden mau diajak gaul dengan sambutan bendera warna-warni. Ini bukan hari raya, pak, ini Presiden; orang nomor satu di Indonesia. Kita harus menghormati beliau dengan nasionalisme. Kita harus menunjukkan bahwa rakyat Trenggalek ini benar sebagai bangsa Indonesia seutuhnya”

“Seutuhnya! Dengan bendera!”

“Iya, bendera itu kan simbol. Simbol nasionalisme”

”Trus, bagaimana dengan rumah-rumah yg tidak di tepi jalan! Mereka enggak utuh dong, keindonesiaannya. Sebab mereka enggak memasang bendera”

Aku semakin terjepit dengan pertanyaan yg bertubi-tubi itu.

”Aku kira rumah-rumah di tepi jalan mewakili keindonesiaannya”

”Oo.. berarti nasionalisme bisa diwakilkan, ya. Ya sudah, kita wakilkan nasionalisme pada rumah sebelah yang memasang bendera saja”

Gimana sih bapak ini.

“Aduuuh, pak aku malu sama si Mamat dan si Udin yang sudah pasang bendera dari kemrin. Bendera mereka besar, dengan tiang bambu pilihan”

“Ngapain malu!”

“Ya malu lah, nanti dikira aku enggak nasionalisme”

“Hahaha” Bapak tertawa. “kalau memang benar kamu gak nasionalis, mau apa?”

“Aku ini nasionalis. Aku hafal pancasila beserta butir-butirnya. Hafal pembukaan UUD 45. Hafal lagu-lagu nasional. Aku juga heran, pak. Si Mamat dan Udin itu sukanya kan lagu dangdut. Bahkan perilakunya tidak menunjukkan kenasionalismean. Ia suka pakai jeans, bajubaju impor, sepatu impor, dan yang lebih parah enggak punya sehelai baju batik-pun”

”Haha.. memang perilakumu sudah nasionalis!”

”Ya sudah lah”

”Heh, tak bilangin, nak. Nasionalisme pada bangsa ini terlalu berat buat kita. Terlalu berat.”

”Lhoh, kok bisa”

”Dengarkan dulu, jangan memotong! Sesuatu yang besar itu terjadi pasti dengan hal-hal kecil sebelumnya”

”Sepakat!”

”Dengarkan dulu! Lihat kembali tingkahlakumu tiap hari! Apa kamu rajin membantu bapak ke sawah? Apa kamu rajin membantu ibumu memasak!”

”Lhoh, apa hubungannya!”

”Sesuatu yang besar itu pasti meliputi sesuatu yang kecil juga. Maksudnya, kalau nasionalisme kamu pada keluarga saja setengah-setengah, gimana mau bernasionalis pada bangsa yang besar ini!”

Aku hanya diam

”Lalu” bapak melanjutkan ”bukan berarti kamu hafal segala ragam undang-undang, hafal teori-teori kemausiaan itu berarti sudah bernasionalisasi. Nasionalisme itu pengabdian, nak. Selama kamu hanya diam di tengah kecarutmarutan negeri ini, nasionalis kamu hanya nol besar. Selama kamu bisa menelan nasi di tengah kemelaratan sebagian besar rakyat negeri ini, nasionalisme kamu nol besar”

Suasana hening. Pagi ini seperti sarapan ceramah.

“Iya, pak. Tapi aku pingin memasang bendera”

”Ngapain pake bilangbilang saya!”

”Benderanya mana?”

”Bukannya kamu tancapkan di Vespamu itu?”

”Oh iya, aku lupa”

Aku segera berlari menuju motorku. Di sana tertancap bendera merahputih lusuh. Bendera yang sudah berkelana di berbagai kota.

“Lho.. lho.. lho.. mau di pasang di mana?”

Bapak menghentikan langkahku saat bendera akan ku pasang.

“Di halaman rumah”

“Sebagai simbol nasionalisme?” bapak bertanya lagi.

“Bukan. Tapi sebagai penghormatan”

“Kita sebagai rakyat Indonesia harus kompak!”

”Sepakat, pak!”

”Kalau di berbagai kota banyak mahasiswa dan masyarakat mendemo presiden, kita juga harus kompak. Bukankah berdemo dan menghormati itu bertolak belakang! Gak kompak dong!”

Aku urungkan langkahku.

”Sudah, tetap di pasang di Vespamu saja” perintah bapak.


Trenggalek, 31 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar