Rabu, 10 Januari 2018

Berkirim Doa Untuk Calon Suami Istri

Tulisan ini tak lebih hanyalah serpihan pengalaman. Satu pengalaman dari jutaan yang terjadi dalam hidup. Pengalaman yang jika kita tuliskan akan menjadi berjilid-jilid sejarah kehidupan. Lalu saya petik satu untuk tulisan ini, siapa tahu akan menjadi pelajaran bagi sesama. Saya tuliskan karena hal tersebut unik bagi saya pribadi. Tentu tidak dapat saya sangkal barangkali dari sekian manusia juga ada beberapa yang mengalami hal yang sama.

Ketika masih duduk di bangkus sekolah, saya sudah pernah jatuh cinta. Cinta pertama tumbuh saat kelas 1 Aliyah (sederajat dengan SMA). Namun apalah daya dan upaya. Seorang ingusan yang tinggal di pondok terpenjara oleh ketatnya aturan yang membatasi pertemuan dengan siswi putri. Hasilnya, di lain jatuh bangun dalam menumbuhkan cinta dalam hatinya tidak berjalan dengan baik, juga berakhir dengan penolakan. Kemudian tidak menyerah di situ, saya bangun kembali kepercaan dia kepadaku, hingga saya masih ingat jawaban terakhir yang aku terima beberapa hari sebelum prosesi kelulusan. Ditolak juga.

Kegagalan dalam percintaan di bangku sekolah tidak membuat saya patah harapan apalagi minder. Saat melanjutkan studi di perguruan tinggi, saya lebih aktif dalam mencari jati diri soal asmara. Satu gadis saya dekati, saya telateni dengan kesabaran. Namun setelah beberapa waktu saya mundur pelan karena tidak ada tanda-tanda kemajuan. Kemudian saya ganti dengan mendekati gadis lain. Setelah saya rasa itu waktu yang tepat, lalu saya tembak. Akhirnya terulang lagi pengalaman di masa sekolah. Saya cuma bisa gigit jari.

Di tengah studi, sekitar semester empat saya punya cita-cita, saat wisuda nanti harus dapat mengenalkan calon pendamping kepada orang tua. Bagiku itu merupakan waktu yang paling tepat sepanjang hayat. Di tangan kiri saya memegang ijazah, dan tangan kanan menggandeng seseorang sebagai pendahuluan dari buku nikah. Keren bukan. Hal itu tidak hanya harapan belaka, saya mendukungnya dengan mulai membaca buku-buku perihal cinta dan asmara. Buku-buku tersebut bahkan masih saya simpan hingga saat ini. Yang pertama adalah The Art of Loving karya Erich Fromm, dan berikutnya Obrolan Asyik Agar Dia Tertarik karya Hayley DiMarco dan Michael DiMarco. Belum lagi buku teman-teman, diantaranya yang berjudul Ta'aruf Forever, dan buku-buku lainnya yang saya baca di perpustakaan kota Malang.

Bukunya Erich Fromm banyak mendukung kualitas cinta saya, bisa dikatakan membangun dari dalam diri. Buku tersebut mangajariku bagaimana mencintai yang benar. Membedakan cinta dan nafsu, serta bagaimana tahapan mencintai dari mengenal hingga saling menghormati. Sedangkan buku Obrolan Asyik Agar Dia Tertarik mengajariku banyak hal tentang performa dalam mengenal dan mencintai, terutama dalam wilayah verba (kata-kata). Buku tersebut bisa dikatakan membangun dari luar dan bersifat sangat teknis. Dalam sebuah bab, berapa kali dalam berapa detik harus memandang lawan bicara saat mengobrol juga dirumuskan. Berapa jumlah kata yang keluar, dan lain sebagainya.

Hasil baca buku-buku tersebut banyak mengevaluasi mengenai cara dan teknik pendekatan yang selama itu saya lakukan. Setidaknya ada lima hal yang dapat saya gunakan untuk menambah performa dalam mencari cinta sejati. Pertama, saya mengetahui bagaimana tahapan seseorang dalam mencintai. Kedua, dapat memilah-milah tema percakapan tentang apa yang harus diangkat pada pertemuan pertama, pertemuan kedua, sampai menemui orang tuanya. Dengan mengklasifikasikan tema-tema yang dibahas dalam tiap pertemuan, akan memperpanjang usia obrolan serta dapat lebih mudah membangun kedekatan. Ketiga, bahwa wanita lebih suka didengar daripada mendengar. Dari sini saya harus pandai membuat dia dapat berbicara lebih banyak dari saya sendiri. Sebelumnya saya selalu berusaha menunjukkan ini loh saya, sehingga cenderung mendominasi pembicaraan. Ternyata yang seperti itu adalah kesalahan besar. Keempat, bahwa seorang perempuan tertarik dengan laki-laki hanya dengan satu alasan; merasa nyaman. Jadi kita tidak perlu heran jika ada laki-laki dengan tampang biasa, tapi pasangannya cantik luar biasa. Ini yang membuat saya bahagia. Dan yang kelima, cinta bukanlah ilham yang turun begitu saja dari langit. Ia bagian dari kebudayaan. Dapat dipelajari untuk mendapatkannya. Kesemua itu dibalut dengan do'a kepada yang Maha Kuasa. Kalaupun usaha serta berdoa sudah dilakukan dengan sebaik-baiknya tapi tetap gagal, harus tetap kuat dan segera bangkit lagi mencari yang lainnya. Bumi tidak sesempit daun kelor.

Sambil terus mencari pengetahuan saya juga langsung mempraktikkannya dalam mendekati seseorang. Hasilnya beberapa gadis lebih dekat denganku. Bahkan kadang saya merasa GR (Gedhe Rumongso) sendiri dengan kedekatan tersebut. Sayangnya saya menjadi sering ragu-ragu. Apakah dia yang selama ini aku dambakan atau bukan. Kadang juga sulit membedakan apakah dia dekat sebagai seorang teman, atau lebih dari itu. Hingga akhirnya sampai detik kelulusan sarjana masih dalam kondisi ZONK alias kosong. Di saat wisuda hanya mampu mempersembahkan ijazah dengan menyisakan lubang dalam jiwa.

Setahun berikutnya saya melanjutkan jenjang pendidikan. Masih dengan visi misi yang sama, selain ijazah saat wisuda saya harus mampu menghadirkan seseorang. Ambisi tersebut terus saya rawat dengan membaca teori serta praktik langsung. Di tengah intensitas keberadaan di kampus yang jauh lebih sedikit dari saat program sarjana, ditambah dengan mayoritas teman kelas sudah pada menikah dan pulang-pergi di luar kota, saya ke kampus hanya untuk kuliah dan nongkrong di perpus. Di organisasi, sudah berganti generasi membuat saya agak canggung mendekati mereka (dengan serius). Hingga akhirnya pada saat wisuda saya hanya dapat mempersembahkan ijazah lagi.


***

Pertemuan dengan istri sekarang sebenarnya sangatlah sederhana. Saat itu saya bermain Badminton (Bulu Tangkis) di sebuah aula balaidesa. Balaidesa tersebut memilihi cendela yang cukup lebar, sehingga apabila ada seseorang yang lewat di jalan kecil sampingnya pasti terlihat dari dalam. Di tengah permainan tiba-tiba saya berhenti. Perhatian saya beralih keluar. Dari dalam balaidesa tampak seorang gadis bersama anak kecil duduk di seberang jalan mengamati anak-anak TK bersekolah. Lalu lawan main saya terheran dan bertanya tentang sikap saya itu. Saya jelaskan duduk perkaranya, lalu ia ikut turut menyaksikannya. Lalu dengan gaya berkuasa dia berseloroh, "Itu 'kan alumni pondok kita. Saya kenal". Dari situ kurang dari satu tahun pernikahan kami terjadi. Sampai saat ini Badminton adalah satu-satunya olah raga permainan yang saya sukai. Dan Muammar Zyan Qadafi, sebagai pembuka jalan bagi kehidupan baru saya, juga tak mungkin terlupakan.


***

Suatu hari di saat lepas dari pekerjaan saya bincang-bincang dengan istri. Saya mulai bertanya mengenai perihal apa sehingga dia mau menjadi istri saya. Padahal saya kan enggak cakep amat, juga gak banyak duit. Hehe.. Obrola ringan berlangsung hingga memasuki ranah pribadi yang cukup sensitif, yaitu sang "Mantan". Singkat kata kami bertukar informasi mengenai mantan kami masing-masing. Meski sebenarnya aku sendiri hanya punya calon mantan. Hihi.. Lalu di tengah percakapan dia berucap, "Selama di pondok, setiap setelah sholat saya selalu mengirim surah Al-Fatihah, saya tujukan untuk calon suami". Menurut pengakuannya hal itu dilakukan karena mengukuti nasihat seorang Ustadzah senior di pondoknya. "Kata ustdzah, itu dapat menjaga calon suami dari hal-hal yang tidak baik". Saat itu juga -dalam batin- saya tepok jidat. Pantesan kuliah enam tahun berbaur dengan perempuan-perempuan dari segala penjuru dengan beraneka ragam karakter dan sifanya, cari satu aja gak dapet-dapet. Rupanya ini penyebabnya. Dia juga mengaku bahwa selama menjalin hubungan dengan mantan, kebimbangan selalu menghantui jiwa dan perasaannya. Hanya ketika mengenal saya dia merasa mantap semantap mantapnya. Haha.. (Wallahu 'ala kulli syai'in qadir)

4 komentar:

  1. ketika jodoh datang gak ada keraguan terhadap dirinya, itulah cinat sesungguhnya

    BalasHapus
  2. Apa memang benar itu ya. Tapi yang sulit mengukur kemantapan, kadang tercampur dengan rasa yang lainnya.

    BalasHapus
  3. Pendapat sampeyan tentang cinta adalah bagian dari kebudayaan, sangat menarik Mas.

    Begitu juga dengan endingnya, wah ternyata bisa sedahsyat itu doa yang dikirimkan oleh calon jodoh kita.

    Jangan2 aku juga digitukan nih sama calon istri.😂😂

    BalasHapus
  4. Semua itu hanya usaha kita. Toh ada juga cerita teman, seorang temannya yang baik-baik tapi tanpa disadari mendapat istri yang kurang baik. Padahal saya beranggapan menjaga diri sendiri itu juga sebagai salah satu doa supaya mendapatkan pendamping hidup yang terjaga juga. Doa yang kualitasnya melebihi doa verbal (kata-kata). Menemukan pendamping hidup itu memang misteri, bahkan bagi saya pribadi misteri terbesar dalam hidup. Hehehe..

    BalasHapus