Kamis, 29 Desember 2011

Advokasi Pendidikan Untuk Masyarakat Miskin dan Termarginalkan

Pendidikan memiliki peranan sangat penting dan strategis dalam membangun masa depan bangsa. Kemajuan sebuah bangsa dapat dinilai dari seberapa besar tingkat pendidikan masyarakat di sebuah negara. Pendidikan adalah kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi dan menjadi tanggung jawab negara.

Menjadi anak dari kaum termarjinalkan (kaum miskin) memang bukan sebuah pilihan. Hidup dengan serba keterbatasan dan ketertidihan menjadi semacam rasa sakit yang tak bisa ditawar lagi. Hal tersebut akan lebih menyakitkan ketika harapan utama (baca: pemerintah) dan masyarakat lainnya acuh tak acuh dengan keadaan mereka. Bahkan, elemen-elemen masyarakat (pemerintah, tokoh masyarakat, akademisi, tokoh agama, dan masyarakat pada umumnya) yang seharusnya mendampingi dan menjadi tumpuan mereka, tapi yang terjadi sebaliknya yaitu memberikan stigma-stigma hitam yang menjadikan mereka semakin terkucil dari siklus kehidupan masyarakat.

Permasalahan tersebut tidak hanya terjadi dalam status sosial, melainkan juga pada ekonomi, politik, pendidikan, dan budaya. Semisal dari sisi pendidikan, anak-anak yang tidak mampu membiayai pendidikan dibuatkan kelas-kelas khusus seperti pendidikan kesetaraan program paket A, B, dan C, sekolah layanan khusus (KLK), sekolah terbuka, yang semua ini tak luput dari citra sekolah anak miskin, sekolah anak yang tidak lulus Ujian Nasional, sekolah hanya untuk memperoleh ijazah, dan sebagainya.

Kekhususan tersebut juga menjadi kekhususan dalam pelayanan. Sekolah-sekolah khusus dan terbuka cenderung dinomorduakan dari sekolah reguler, dari segi sarana prasarana maupun tenaga pengajar. Begitu juga ijazah keluaran sekolah tersebut mempunyai daya jual yang rendah sehingga lebih rentan untuk memicu pengangguran. Hal itu mejadikan masyarakat berasumsi memasukkan anak ke sekolah khusus atau terbuka seperti halnya menjeburkannya ke lubang buaya yang akhirnya lebih baik anak dipekerjakan ketika tidak ada dana pendidikan dalam sebuah keluarga. Hal ini menjadi salah satu faktor besar dari banyaknya anak-anak putus sekolah.

Dalam konteks hak asai manusia (HAM), Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan bahwa hak atas pendidikan merupakan salah satu hak yang harus dipenuhi oleh Negara, begitu juga UUD 1945 secara eksplisit di dalam pembukaannya menyebutkan usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu tujuan dari berdirinya negara republik Indonesia. Itu artinya setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan sesuai minat, bakat, tanpa membedakan status sosial, ras, agama, maupun gender.

Beberapa badan hukum Indonesia juga sudah mengatur dan menjamin persamaan hak-hak anak Indonesia tanpa terkecuali. Diantaranya, UUD tahun 1945 tentang perlindungan anak terhadap kekerasan dan diskriminasi, hak untuk mendapatkan pengajaran, dan kesejahteraan sosial bagi anak. UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, bahwa bantuan dan pelayanan untuk kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak tanpa diskriminasi, PP 47 tahun 2008 tentang wajib belajar 9 tahun, bahwa wajib belajar 9 tahun tidak ada pungutan biaya (gratis), namun yang terjadi masih banyak pungutan liar yang dilakukan.


Hal ini tentu sangat ironis. Di satu sisi pemerintah melindungi hak-hak anak dari diskriminasi, namun di sisi lain (faktanya) bahwa pemerintah melakukan diskriminasi tersebut. Dalam negara hukum seperti Indonesia, hukum menduduki derajat paling puncak dalam menentukan setiap kebijakan dan tindakan. Dengan penyelewengannya pemerintah dari perundang-undangan, terdapat celah-celah untuk memperjuangkan anak guna mendapatkan pendidikan yang sama yaitu melalui advokasi pendidikan untuk masyarakat miskin.


Advokasi pendidikan pada masyarakat miskin dapat dilakukan melalui tiga jalur. Pertama, advokasi melalui kebijakan pemerintah, di antaranya dengan melakukan hearing dengan pihak-pihak terkait (DPRD dan Diknas) untuk tingkat kabupaten serta mendorong BOSDA (Bantuan Opersional Sekolah Daerah). Kedua, advokasi langsung dengan cara turun langsung dan memberikan pendampingan kepada masyarakat terutama yang anaknya tidak bisa sekolah karena kendala biaya. Ketiga, advokasi melalui turun langsung ke sekolah-sekolah dalam pelaksanaan administrasi sekolah terkait pendanaan.


Advokasi melalui kebijakan pemerintah dapat dilakukan dengan tujuan adanya regulasi khusus anggaran pendidikan anak miskin, karena bagi masyarakat miskin untuk bisa sekolah tidak cukup dengan bebas SPP karena kenyataannya bagi masyarakat tetap harus mengeluarkan biaya transportasi, seragam, uang komputer, uang ekstrakulikuler, uang paguyuban, uang buku dan sebagainya. Penambahan sarana prasarana sekolah-sekolah negeri juga penting sehingga dapat menampung anak-anak miskin, mewujudkan pendidikan 9 tahun secara gratis terutama untuk masyarakat miskin. Dan menjadikan sekolah khusus dan terbuka hanya untuk penderita cacat mental atau kesetaraan untuk masalah usia.


Advokasi langsung kepada masyarakat yaitu dengan memberikan pengarahan serta pengertian pentingnya akan pendidikan bagi anak-anak mereka, mensosialisasikan program-progam pemerintah terkait dengan pendidikan, mensosialisasikan undang-undang yang melindungi mereka sehingga menjadi masyarakat sadar hukum, dan memberikan motifasi akan pentingnya dunia pendidikan. Karena selama ini banyak sekolah-sekolah yang menyembunyikan informasi-informasi dari pemerintah terkait pendidikan hanya untuk mencari keuntungan dari siswa semata.


Seorang teoris dan praktisi pakar pendidikan dari Brazil, Paulo Freire mengatakan, “Pendidikan bagi kaum tertindas adalah pendidikan yang harus dilaksanakan bersama (Individu atau manusia secara keseluruhan), dan bukan hanya untuk kaum tertindas dalam wujud perjuangan tanpa henti untuk meraih kembali kemanusiaan mereka. Pendidikan ini membuat penindasan dan penyebabnya menjadi refleksi kaum tertindas, dan dari reflekasi itulah lahir pembebasan.” Ungkapan tersebut menjelaskan bahwa pentingnya penyadaran masyarakat akan keadaannya yang “tertindas”. Dari penyadaran itu masyarakat akan bangkit dan muncul eksistensi dirinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Advokasi melalui sekolah sangat diperlukan untuk menangkal “Sekolah-sekolah nakal” yang menjalankan administrasinya tidak sesuai dengan perundang-undangan yang ada. Advokasi ini bisa dilakukan dengan melakukan pengawalan dan pengauditan dana-dana yang terkait dengan wali siswa.


Perlunya transparasi dana dan kewenangan komite sekolah perlu dikawal ketat oleh pihak-pihak yang memperjuangkan pendidikan rakyat. Karena selama ini banyak komite sekolah yang notabennya sebagai perwakilan dari para wali siswa telah melakukan kerjasama dengan pihak sekolahan untuk melakukan berbagai pungutan liar yang menguntungkan sebagian pihak melalui program-progam komite.


Penjualan buku melalui sekolah, penjualan seragam oleh sekolah juga perlu dikawal dengan ketat. Karena hal-hal seperti itu sangat rentan sekali dengan kepentingan-kepentingan oknum guru dalam menggali keuntungan finansial, yang bisa menambah beban biaya pendidikan. 
Dengan demikian dalam melakukan pendampingan dengan masyarakat tidak hanya pada pengarahan-pengarahan wali siswa, namun juga mendampingi mereka keluar masuk sekolahan saat pendaftaran, juga mengawal jalannya pendidikan secara terus menerus.

Mendirikan posko-posko pengaduan masalah pendidikan juga tak kalah penting selain melakukan gerakan home to home, mengingat maraknya “sekolah-sekolah nakal” yang menjalankan administrasinya tidak sesuai dengan perundang-undangan yang ada. Tapi permasalahannya banyak dari masyarakat kita enggan untuk melaporkan segala kejanggalan-kejanggalan dalam pendanaan pendidikan sekolah dengan alasan takut.


Advokasi pendidikan masyarakat miskin sejalan dengan tiga pilar pendidikan nasional, yaitu: terciptaya pemerataan dan perluasan akses pendidikan, meningkatkan mutu, relevansi, dan daya saing, serta penguatan manajemen pengelolaan pendidikan, selain untuk menekan angka putus sekolah, membantu hak dasar masyarakat miskin untuk tetap memperoleh pendidikan, memperoleh akses pendidikan murah, mengurangi jumlah anak jalanan yang berada di jalan, memperoleh pedidikan yang layak bagi keluarga tidak mampu, mengurangi jumlah pekerja anak, dan memutus rantai kemiskinan.

Meski advokasi semacam ini berat dilakukan dan membutuhkan banyak tenaga, namun sudah menjadi harga mati demi terciptanya masyarakat berpendidikan, mengingat peran pemerintah yang setengah hati dalam menangani permasalahan pendidikan. Di lain daripada itu pada hakikatnya permasalahan pendidikan adalah tanggung jawab kita bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar