Kamis, 29 Desember 2011

Berdakwah Melalui Seni dan Budaya

Anjuran untuk berdakwah

Dewasa ini, banyak sekali umat Islam yang menyerukan kalimat Ilahi dengan dakwah Islamiyah. Dakwah di sini dalam artian penyebaran agama Islam sekaligus meluruskan pandangan kaum muslimin terhadap agama Islam dari segi akidah maupun ajaran syariat-syariatnya. Dalam benak kita sudah pastilah bergembira dengan adanya kaum muslimin yang dengan rasa ikhlas meninggikan nama Allah melalui syiar Islam kepada masyarakat. Sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an: “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Imran [3]: 104)

Yang dimaksud ma’ruf pada ayat diatas adalah segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah SWT. Sebaliknya, munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari-Nya.

Berdakwah melalui seni dan sastra budaya

Sayangnya jika kita amati dakwah kaum muslim akhir-akhir ini tak lebih dari separo yang berhasil mengajak masyarakat sesuai visi dan misi dakwah tersebut. Seberapa pesat perkembangan Islam saat ini? Apakah masjid-masjid kita penuh oleh muslim yang berebutan meluruskan shaf? Hal ini amat berbeda jika dibandingkan dengan keberhasilan dakwah nabi Muhammad SAW yang dimulai dari nol hingga mampu melebarkan sayap Islam ke segala penjuru dunia. Melalui perjuangan beliau Islam mampu menyatukan seluruh umat manusia dalam bingkai agama Islam. Padahal pada zaman itu kebudayaan dan kehidupan masyarakat Arab berbanding berbalik dengan ajaran Islam yang dibawa nabi Muhammad SAW. Lantas, apakah yang melatarbelakangi keberhasilan beliau dalam berdakwah? Yang pasti banyak faktor sebagai pedukung keberhasilan tersebut. Diantaranya kegigihan beliau dalam berdakwah, toleransi beliau, kesabaran beliau, metode dakwah beliau, dan mukjizat beliau dari Allah SWT yang tiada tandingannya. Di sini akan dipaparkan salah satu metode dakwah yang sangat dominan atas keberhasilan dakwah tersebut.

Ditinjau dari sisi sosiokultural, sudah menjadi fakta bahwa salah satu pilar kesuksesan dakwah nabi Muhammad SAW dikalangan masyarakat Arab adalah strategi beliau dalam mendekati kaum Arab lewat pendekatan seni dan budaya. Adanya kitab suci Al-Qur’an yang bernilai sastra tinggi di lingkungan yang sangat menghargai sastra budaya pada saat itu merupakan bukti bahwa melalui budaya masyarakat mudah menerima ajaran-ajaran Islam. Begitu juga dalam menetapkan hukum atas sesuatu, beliau tidak menghilangkan budaya yang ada, melainkan hanya meluruskan hingga sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.

Walisongo pelopor dakwah dengan seni dan sastra budaya di Jawa

Rupanya, metode dakwah tersebut telah diterapkan oleh Walisongo dalam syiar Islam di Jawa. Walisongo adalah sejumlah guru besar atau ulama’ yang berjumlah sembilan yang diberi tugas untuk dakwah islamiyah di wilayah tertentu. Walisongo mencapai sukses besar dalam syiar Islam di tanah Jawa ini. Selain ahli dalam bidang keagamaan, Walisongo juga ahli dalam seni dan sastra budaya, khususnya sastra pesantren. Dalam penyebaran agama Islam Walisongo juga memasuki ranah-ranah seni dan budaya masyarakat. Mereka gemar dengan kebudayaan dan sastra daerah. Walisongo menciptakan syair-syair atau puisi dan tembang-tembang atau lagu dengan memasukkan ajaran Islam di dalamnya dalam berdakwah. Karya-karya beliau di bidang seni dan satra budaya antara lain:

1. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik.

Beliau termasuk salah satu dari Walisongo yang menyiarkan agama Islam di Gresik. Setelah kerajaan Majapahit lenyap dari sejarah, munculah kerajaan Demak yang dipimpin oleh para Sultan yang didukung oleh para Wali, salah satunya ialah Maulana Malik Ibrahim. Beliau juga berpartisipasi dalam penyempurnaan bentuk dan lakon wayang agar tidak bertentangan dengan agama Islam.

2. Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.

Sunan Bonang termasuk Walisongo yang sukses dalam menyiarkan agama Islam. Beliau menggunakan seni dan budaya sebagai perantara dakwah Islamiyah. Diantara sumbangan beliau dalam seni dan sastra budaya adalah dakwah melalui pewayangan, menyempurnakan instrumen gamelan terutama bonang, kenong dan kempul, menciptakan tembang Macapat dan suluk Wujil. Di dalam suluk Wujil berisi tentang ilmu kesempurnaan hidup dan mistik.

3. Syarifudin atau Sunan Drajat.

Sunan Drajat menjadi juru bicara rakyat yang tertindas dan beliau mengecam elite politik yang hanya mengejar kekuasaan demi kepentingan pribadi. Beliau juga berdakwah melalui sastra budaya. Diantara karyanya adalah tembang Pangkur, yang menghendaki keselarasan jasmani rohani, dunia akhirat untuk memperoleh kesejahteraan hidup.

4. Raden Mas Syahid atau Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga merupakan wali yang paling populer di mata orang Jawa. Di antara karya-karya beliau dalam berdakwah adalah tiang Masjid Demak yang terbuat dari tatal, gamelan Naga Wilanga, gamelan Guntur Madu, gamelan Nyai Sekati, gamelan Kyai Sekati, wayang kulit Purwa, baju takwa, kain balik, tembang Dhandhanggula dan syair-syair pesantren. Di dalam tembang Dhandhanggula tergambar makna-makna kehidupan.

5. Jaka Samudra disebut juga dengan Raden Paku Atau Sunan Giri.

Sunan Giri adalah murid dari Sunan Ampel. Selain berdakwah dengan sastra budaya, beliau juga mendirikan Pesantren Giri di Gresik. Karya-karya beliau diantaranya permainan Jetungan, Jemuran, Gula Ganti, Cublek-cublek Suweng, tembang Asmaranda, tembang Pucung dan Ilir-ilir yang sampai sekarang masih sering kita dengarkan. Tembang Ilir-ilir menyuruh kita untuk menggunakan kesempatan hidup di dunia untuk mempersiapkan bekal guna di hari akhir kelak.

6. Jakfar Shadik atau sunan kudus.

Sunan Kudus adalah salah satu Walisongo yang bertugas melakukan syiar Islam di sekitar daerah Kudus, Jawa Tengah. Dalam berdakwah beliau menciptakan karya sastra budaya berupa Tembang Maskumambang dan Tembang Mijil.

7. Raden Umar Said atau Sunan Muria.

Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Beliau disebut Sunan Muria karena wilayah syiar Islamnya meliputi lingkungan Gunung Muria. Karya sastra budaya Sunan Muria sebagai dakwah antara lain Tembang Sinom dan Tembang Kinanti.

8. Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Beliau merupakan peletak pondasi agama Islam di daerah Jawa Barat. Meskipun beliau tidak menciptakan karya sastra budaya, beliau turut aktif mendukung sastra dan budaya di kerajaan Demak. Karena Sultan Trenggono raja ketiga Demak mengawinkan adik putrinya, Putri Demak dengan Syarif Hidayatullah.

9. Raden Rakhmat atau Sunan Ampel.

Selain berpartisipasi dalam bidang sastra budaya sebagai media dakwah, beliau juga mendirikan sebiah pesantren di Ampeldenta Surabaya. Di pesantren inilah berkembang pesat dakwah meliau melalui sastra pesantren. Diantara sastra pesantren yang masih sering kita lantunkan adalah singiran Tombo Ati. Singiran Tombo Ati berisi tentang butir lima dalam kehidupan masyarakat sebagai obat gelisah.

Melalui tembang-tembang tersebut Walisongo mampu meraih hati dan jiwa masyarakat untuk mamahami serta melakukan ajaran-ajaran Islam. Walisongo tidak pernah memaksa dalam bersyiar Islam. Mereka berbaur kedalam masyarakat dan di tengah keakraban merekalah Walisongo memasukkan ajaran-ajaran Islam melalui sendi-sendi humaniora dan budaya masyarakat. Dalam Al-Qur'an surat An-Nahl [16] ayat 125 dijelaskan: ”Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran baik. Dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik...”

Kebudayaan jawa yang saat itu (sebelum Walisongo datang) bertentangan dengan Islam sebenarnya telah dibantah oleh Walisongo. Pembantahan Walisongo pada kebudayaan tersebut tidak serta merta mengecam dan menolak melainkan dengan cara halus dengan mengarahkan kebudayaan tersebut sedikit demi sedikit agar tidak bertentangan dengan Islam.

Wajah dakwah kaum muslimin saat ini

Adapun yang kita dapati sekarang, dakwah kaum muslimin terkesan mencaci maki. Tak jarang kita jumpai dalam pendidikan maupun khutbah-khutbah keagamaan sang guru ataupun khotib menjelek-jelekkan umat beragama. Bahkan amat mudah lidah mereka mengkafirkan sesama muslim yang berbeda haluan/mazhab. Bagaimana mungkin kita menerima dakwah seorang dai jika ia mencaci maki dan mengolok-olok kita ketika berusaha mendekati mereka. Tak heran jika orang non-muslim berpandangan bahwa islam itu agama kekerasan. Mendekati saja sulit, apalagi memasukinya.

Saat ini, para khotib dalam berkhutbah berlandaskan pada kepentingan golongan sendiri. Mereka berkhutbah lebih menekankan pada penguatan madzhab atau aliran yang mereka anut, tidak berusaha untuk mengajak umat kepada penghormatan atas identitas masing-masing dan persaudaraan yang kuat. Dengan demikian orientasi atau tujuan dakwah itu sendiri semakin kabur.

Beberapa kelompok yang ingin melakukan tajdid (pembaharuan) seperti tak ingat bagaimana awal mula penyebaran Islam di Indonesia. Mereka hanya menganggap bahwa semua yang tidak sesuai dengan ajaran Islam mereka adalah jelek, buruk.

Kesembilan Wali dalam Walisongo patut kita hormati dan kita agungkan atas keberhasilan mereka dalam bersyiar Islam, khususnya di Jawa. Sudah cukup terbuktilah bahwa berdakwah Islamiyah melalui seni dan budaya akan membuahkan hasil yang lebih baik. Selama ini model-model dakwah sebagian kaum muslimin terkesan menafikan seni dan budaya masyarakat, sehingga sulit sekali memasuki ranah-ranah kehidupan sosial masyarakat. Kebenaran dari filsafat dan ilmu akan melahirkan cipta, rasa, dan karsa manusia yang diwujudkan berupa seni serta bahasa dan sastra sehingga terciptalah sebuah kebudayaan sebagai pembentuk sebuah peradaban. Tanpa menyentuh keseluruhan mekanisme tersebut sulit sekali untuk mengajak umat manusia kepada ajaran-ajaran agama Islam.

Pada tahun-tahun terahir ini, kebanyakan da’i cenderung melupakan faktor budaya dalam masyarakat. Seharusnya yang mereka lakukan adalah meninjau kembali hubungan antara budaya masyarakat setempat dengan dakwah Islam. Pada dasarnya materi kemasyarakatan harus mencerminkan tiga hal pokok.

Pertama, memadukan ide-ide dakwah keislaman yang sesuai dengan budaya kontemporer sehingga dapat meningkatkan gairah generasi muda untuk mengetahui hakikat-hakikat ajaran islam melalui partisipasi positif mereka. Dakwah seharusmnya tidak dilakukan di masjid atau majlis ta’lim saja. Namun para da’i harus turun langsung ke masyarakat, dan menyentuh semua golongan dan generasi muda maupun tua. Dakwah kita seharusnya dilakukan dengan berusaha memposisikan diri kita sebagai bagian dari mereka, bukannya menempatkan diri kita diluar mereka seraya berkata bahwa ini haram, itu haram.

Kedua, arah dakwah Islam harus ditujukan pada pembangunan masyarakat luas, terutama dibidang sosial, ekonomi, dan budaya. Kita bisa membayangkan bahwa dakwah yang teoritis dan tidak berdasarkan pemahaman atas kondisi masyarakat tidak akan diterima oleh masyarakat. Seharusnya para dai menunjukkan relevansi ajaran Islam dengan sektor riil kehidupan mereka. Contohnya, dai menunjukkan bahwa Islam memperhatikan ekonomi, dan malah menyarankan sistem bisnis yang menguntungkan.

Ketiga, dakwah Islam harus diarahkan untuk mewujudkan kerja sama antar pemeluk agama tanpa mengabaikan identitas masing-masing. Pemahaman terhadap kondisi masyarakat sangat diutamakan dalam hal ini, dari golongan apa mereka? Orang  kelas bawah, menengah atau kelas atas, masing-masing mempunyai pendekatan yang berbeda dan tidak bisa disama ratakan. Dakwah Islam harus berperan sebagai jembatan penghubung antara ajaran Islam yang adiluhung dengan budaya masyarakat yang unik.

Dakwah dengan budaya merupakan contoh dakwah bil hal yang menekankan pada pendalaman dan penghayatan akidah serta etika keislaman yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. Dakwah dengan budaya dapat menguatkan kemampuan individu maupun masyarakat serta memelihara identitas mereka. Kita tahu bahwa sebagian masyarakat terutama generasi muda saat ini enggan menerapkan etika Islam. Dakwah bil hal dengan budaya berarti memperkenalkan budaya Islam kepada segenap kaum muslim, bahwa Islam tidak serta merta menghapus dan menafikan budaya mereka, sehingga mereka mau dan bangga mengakui identitasnya sebagai seorang muslim.

Para dai fundamental sering mengutuk tingkah generasi muda dan budaya yang ada di Indonesia, mengajarkan idealisme tentang bagaimana Islam datang sebagai rahmat untuk seluruh alam dan karena itu semua muslim wajib menerapkan budaya Islam yang berasal dari Timur Tengah dalam dakwah bil lisan yang sering mereka dengung-dengungkan. Tetapi, sangat disayangkan, isi dakwah tersebut tidak dapat menyentuh segi kehidupan nyata kaum muslim saat ini. Mereka tidak pernah menyadari bahwa yang terpenting adalah bersikap Islami, bukannya berpenampilan Islam. Masih banyak kita jumpai kaum muslim yang enggan menerapkan etika Islam karena ajaran tersebut tidak pernah menyentuh aspek budaya saat ini. Selain itu keengganan lainnya juga disebabkan karena ajaran Islam selama ini hanya mementingkan aspek ibadah ritual (ibadah murni) saja, sedangkan aspek budayanya kurang tersentuh. Kalaupun disentuh dan dilaksanakan, maka hanya dilakukan secara individual dan tidak secara kolektif.

Penggunaan budaya sebagai sarana dakwah bil hal diharapkan menunjang segi-segi kehidupan masyarakat sehingga pada akhirnya ajaran Islam dapat dirasakan membumi. Dengan demikian cita-cita sosial yang diimpikan oleh kaum muslimin dapat tercapai. Wallahu a’lam. 

Pernah diterbitkan di Buletin Al Huda 23 Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar