Kamis, 29 Desember 2011

Naskah Drama Remaja: Cinta Gendruwo

Oleh Mochammad Faizun

Bagian I

Malam yang dingin, segerombolan arwah bangkit dari kuburnya. Arwah tersebut berupa hantu-hantu. (suara-suara serem, kemudian hantu-hantu keluar dengan teatrikal).

Gendruwo (Marcuet):
Apa aku benar-benar sudah mati? (mangamati tangan dan tubuhnya)

Drakula:
Benar Marcuet. Kamu sudah mati. Tiga hari yang lalu.

Gendruwo:
Oh, ternyata di kubur sepi sekali.

Suster ngesot:
Ya jelas, kalo rame itu di pasar.

Gendruwo:
Tau tidak, kawan?

Semua:
Apa?

Gendruwo:
Selama hidup, aku tidak pernah pacaran.

Pocong:
Kasihaaan deh lo. Aku aja udah 5 kali putus.

Gendruwo:
Bahkan, aku tak pernah merasakan bagaimana itu cinta.

Suster ngesot:
Cinta itu manis sekali, Marcuet. Seperti madu.

Drakula:
Tapi, sayang sekali kau sudah mati.

Gendruwo:
Meskipun sudah mati, aku tetap ingin pacaran. Tapi, gimana ya?

Pocong:
Tidak bisa. Kamu sudah mati. Siapa yang mau?

Drakula:
Kamu mau suster ini? (menunjuk suster ngesot)

Gendruwo:
Aku pingin manusia, goblok!

Suster ngesot:
Lagian, siapa yang mau Gendruwo jelek kaya' kamu.

Pocong:
Sudah.. sudah... jangan ribut! Sekarang kita cari ide untuk teman kita yang kebelet pacaran ini!

Suster ngesot:
Oo, aku ada ide.

Semua:
Apa?

Suster ngesot:
Bagaimana kalau kamu menyamar jadi manusia?

Gendruwo:
Apa bisa?

Suster ngesot:
Bisa. Namanya jurus membo-membo. Dengan kekuatan kita, kamu bisa menyamar jadi manusia tampan.

Pocong:
Ide bagus.

Drakula:
Sip. Ayo teman-teman, kita bantu Marcuet biar jadi manusia tampan.

Semua:
Oke dech (semua bergegas mengitari gendruwo)

Gendruwo:
Stop.. tunggu dulu. (semua pause) Aku pingin wajahku asli saja. Karena aku bangga dengan diriku sendiri.

Semua:
Oke boss!

(Semua melingkar mengitari Gendruwo dengan teatrikal disertai melafalkan mantra-mantra. Maka jadilah Gendruwo sesosok laki-laki yang gagah rupawan. Marcuet)

Gendruwo:
Sungguh sempurna. Kini aku menjadi manusia. Hahaha...

Black Out


Bagian II

(Dua perempuan penjual jamu keluar dengan genit. Mereka menawarkan jamu-jamu yang mereka bawa. Kemudian duduk istirahat di tempat yang rindang)

Zaenab:
Mbak Yu, kita ini sudah berjalan luama lho, tapi kok ngaak ada pembeli satu pun ya?

Anjela:
Ah, bawel lu. Kalo mau laris jualan di alun-alun sono, biar ketangkep Sapol PP

Zaenab:
Duuh, Mbak yu kok marah sih gitu aja

Anjela:
Ya jelas marah lah. Udah jamu nggak laku, lu sambat melulu. Hidup bukan untuk mengaduh dan mengeluh

Zaenab:
Waah, Mbak yu ini puitis juga, deh

Anjela:
Udah, ngak banyak omong. Kita nikmati semilir angin ini

Zaenab:
Mbak yu, baunya kok agak enggak enak ini apa ya? (mengendus sekitar. Anjela ikut mengendus-endus. Keduanya berakhir di ketek Zaenab)

Anjela:
Gila, lu. Ketekmu bau jengkol. Jorok, ih.

Zaenab:
Hehehe... Maap. Ya sudah, saya tak minum jamu sambiluto dulu, biar enggak bau (hendak menuangkan jamu ke gelas, gendruwo tampan muncul)

Gendruwo:
Oo, jamu.

Zaenab & Anjela:
Iya tuan.

Anjela:
Mau beli jamu, Tuan?

Zaenab:
Beras kencur apa kunir asem, Tuan?

Gendruwo:
Oh, aku ingin kamu.

Anjela:
Apa!

Gendruwo:
Eh, tidak. Maksudku aku ingin Beras Kencur dan Kunir Asem.

Zaenab & Anjela:
Oo, begitu. (saling padang)

(Zaenab dan Anjela menuangkan jamu)

Anjela:
Ini Tuan, Kunir Asem.

Zaenab:
Ini Tuan, Beras Kencur.

(Gendruwo segera menerima dan meneguk sampai habis dua gelas sekaligus)

Gendruwo:
Waah, jamu sampean-sampean ini bener nikmat. Seger. O ya, kalau boleh tau siapa nama neng-neng cakep ini?

Anjela:
Saya Angela Dwi Sekarwati

Zaenab:
Saya Zaenab bin Zanibun.

Gendruwo:
Kalian ini bener-bener cantik banget. Laksana bidadari nyasar ke bumi. Atau kuntum-kuntum bunga yang baru bersemi.

Zaenab & Anjela:
Waah, Tuan bisa aja (manja).

Gendruwo:
O ya, sepertinya sudah waktunya saya ke kantor. 2 gelas tadi berapa harga?

Angela:
Semua Rp. 5000, Tuan.

Gendruwo:
O ya, baiklah. (ia mengeluarkan dompet dan maju ke depan melakukan solilokui)

Dua gadis itu sangat cantik. Kedua-duanya. Pilih mana ya! (Menghitung kancing baju; zaenab anjela zaenab anjela, dan sebaliknya. Kemudian berpikir sejenak) Anjela city editioan; gaul, modis, pokoknya Kekota-kotaan. Zenab tradision edition; lemah lembut, kalem, pokoknya kedesa-desaan. Ah, tapi sepertinya Zaenab lebih romantis. Hehe... (kembali ke penjual jamu)

Duh, maaf ya. Saya Cuma bawa uang Rp. 2500. Maklum, Semarang musim copet dan jambret. Jadi, lebih baik uang saya taruh di bank. Lebih aman.

Anjela:
Trus, gimana donk!

Gendruwo:
Mm.. Gini aja. Sekarang saya bayar mbak Anjela dulu, untuk mbak Zaenab besok saja datang ke rumah ambil uang sekalian saya mau beli jamu lagi.

Zaenab:
Ke rumah Tuan!

Gendruwo:
Iya. Ke rumah saya. Ini alamatnya. (menyodorkan kartu nama)

Anjela:
Ya sudah. Ayok kita cabut. Keburu sore ntar. Bos kok Cuma bawa 2500 perak. Bos somprettt…

Zaenab:
Permisi dulu Tuan ya… (Zaenab & Anjela exit)

Gendruwo:
Ya.. ya… sampai besok.

Ahhh, lega rasanya. Zaenab emang nyahok. Udah gak sabar aku menungu besok. (menari ekspresif) Hahaha… (exit)


Bagian III

(Gendruwo tampan sudah berdandan rapi menunggu zaenab di sebuah ruang tamu)

Zaenab:
Jamu.. jamu.. (Dari luar)

Gendruwo:
Oh, Zaenab. Ya.. silakan masuk aja!

Zaenab:
Benar ini rumah Tuan Marcuet? (enter)

Gendruwo:
Ya… Mari silakan duduk!

Zaenab:
Trimakasih Tuan. Tuan pengin minum jamu apa?

Gendruwo:
Jamu kuat! Ya, jamu kuat.

Zaenab:
Saya kasih Kunir Asem aja, biar tambah banyak makan, tambah bertenaga. (menuangkan jamu)

Gendruwo:
Kamu hari ini terlihat beda selaki Zaenab. Sungguh cantik sekali.

Zaenab:
Ah.. Tuan bisa aja. Ini, jamunya (menyodorkan jamu)

Gendruwo:
Bener. Suer. Biar samber gledek deh kalau bohong. (meminum jamu). Ah.. nikmat banget. Seperti kamu.

Zaenab:
Ah.. Tuan bisa aja.

Gendruwo:
Zaenab, kedua bibirmu, semerah setrawbery. Kedua matamu sebulat buah Duku. Hidungmu, seperti Pisang Ambon. Dan pipimu, seperti Apel Manalagi. Keningmu, selaksa belah semangka. Sungguh wajahmu, seperti pasar buah. (intonasi deklamasi dengan berdiri berjalan  mendekati tempat duduk Zaenab)

Zaenab:
Ah... jadi enggak enak, Tuan.

Gendruwo:
Kamu cantik sekali. Manis. (memegang janggut Zaenab)

Zaenab:
Jangan, Tuan. Enggak enak dilihat banyak orang.

Gendruwo:
Banyak orang! Mana! Mereka itu cuma batu-batu. (memegang pipi Zaenab)

Zaenab:
Enggak, Tuan (melepaskan tangan Gendruwo)

Gendruwo:
Benar. Kamu cantik sekali (merapat ke posisi Zaenab)

Zaenab:
Tidak, Tuan. Saya pulang saja. Sekarang Tuan bayar jamunya, dan saya akan pulang (hendak berdiri)

Gendrwo:
Tunggu dulu, lah. Mau kemana? (menahan tangan Zaenab hingga Zaenab duduk kembali)

Zaenab:
Sudah, jamu tidak usah dibayar saja, saya pulang sekarang.

Gendruwo:
Tunggu dulu. Dengarkanlah saya dulu. Saya mau bicara.

Zaenab:
Ya, silahkan. Tapi tangan Tuan jangan kemana-mana. Tuan silahkan duduk di sana.

Gendruwo:
Ya.. ya.. Baiklah.

(Gendruwo duduk di kursi sebelah Zaenab. Keduanya duduk dengan tenang)

Gendruwo:
Ketauhilah, Zaenab. Selama hidup saya tak pernah merasakan bagaimana indahnya cinta. Saya belum sama sekali pacaran.

Zaenab:
Cinta! Murahan. Rombeng. Comber. Tuan begitu murah menghargai cinta (dengan nada marah, tapi tetap lembut).

Gendruwo:
Tapi, tapi kamu memang cantik. Aku cinta kepadamu. Maukah kamu jadi pacarku?

Zaenab:
Bandit! Masih berani-beraninya Tuan bilang itu lagi pada saya. Murahan. Tidak sesuai dengan pakaian Tuan yang seperti orang terdidik itu.

Gendruwo:
Tapi... (akan berdiri)

Zaenab:
Stop! Tetep di situ. (Gendruwo duduk kembali). Tau saja, Tuan. Pertama kami, saya dan Angela melihat Tuan, kami sungguh terkagum pada Tuan. Seorang pengusaha muda, tampan nan kaya raya. Dan juga pasti terdidik. Saat itu pula hati kami tergetar, yang sebenarnya itu adalah benih-benih cinta.

Gendruwo:
Oh ya, berarti... (hendak berdiri)

Zaenab:
Stop! Tetep di situ, atau aku akan pergi! Tuan dengarkan dulu.

Gendruwo:
Ya... ya... Baiklah (duduk kembali)

Zaenab:
Tapi kami adalah orang-orang yang mengagungkan cinta. Menghargai cinta. Maka kami menanggapi cinta itu dengan senyuman, perkataan halus, kedipan mata, dan hati berdetak-detak.

Gendruwo:
Senyuman, kedipan mata, apa arti semua itu! Cinta itu hanya bisa dirasakan dengan bermesraan. Berduaan di bawah bulan purnama. Membelai rambut, mengecup pipi.

Zaenab:
Hah, murahan. Murahan. Ternyata Tuan tak lebih dari seekor domba yang hanya bisa kawin, kawin, dan kawin. Tak ubahnya domba.

Gendruwo:
Apa katamu!

Zaenab:
Cinta itu indah, tuan. Cinta itu mulia. Cinta itu dalam hati. Hanya bisa dirasakan oleh hati, dan diwujudkan dengan kebaikan  dan kesetiaan. Bukan melecehkan seperti itu.

Gendruwo:
Melecehkan! Kalau suka sama suka. Sama-sama mau. Ikhlas.

Zaenab:
Hanya perempuan lacur yang mau diperlakukan seperti itu. Itu bukanlah cinta, Tuan. Itu hanya nafsu birahi. Hanya nafsu.

Gendruwo:
Aku ingin kamu jadi pacarku.

Zaenab:
Pacaran! Apa itu pacaran. Cinta sama sekali tidak mengenal pacaran. Pacaran itu hanya alasan orang-orang yang mengumbar nafsunya. Alasan para lelaki yang ingin menikmati tubuh wanita. Dan wanita yang mau pacaran adalah wanita paling rugi. Karena tubuhnya dieksploitasi laki-laki dan ia menyerahkan begitu saja. Tubuhnya diraba, dilumat. Wanita tolol.

Gendruwo:
Ah, persetan dengan semua itu. Aku ingin cintamu (berdiri ingin memeluk Zaenab)

Zaenab:
Stop! Stop!

Gendruwo:
Persetan dengan ocehanmu (akan mencium pipi Zaenab)

Zaenab:
Laki-laki bajingan! (menampar Gendruwo)

Gendruwo:
Haha.. tangan yang halus. Lihatlah, cinta sudah mengijinkan aku menciumnya. (memegang kuat-kuat tangan Zaenab dan memaksa untuk diciumnya)

Gendruwo:
(batuk-batuk, ingin muntah) Bau apa tanganmu, Zaeanab?

Zaenab:
Bawang Putih. Kenapa? Mau muntah? Muntah saja. Kebetulan aku baru beli dari pasar. Nih, mau! (mengambil segenggam bawang putih kemudian dijejalkan ke dalam mulutnya. Saat itu juga Gendruwo meraung-raung kepanasan. Musik tegang)

Gendruwo:
Panas... panas... ampun... ampun... Teman-teman... tolong aku… toloooong... (berubah wujud menjadi Gendruwo. Zaenab ketakutan dan pingsan. Hantu-hantu dengan teatrikal keluar, namun tak menghiraukan Gendruwo. Mereka berlalu saja. Suasana hening. Lampu redup, kecuali satu lampu menyorot Gendruwo)

Cinta. Bagaimana itu cinta. Pasti susah mengartikan. Ternyata cinta tak semurah yang kukira. Kalian pun, mungkin juga tak banyak tau tentang cinta. Cinta itu ada di hati. Hanya hati yang bisa merasakan. Bukan ciuman dan pelukan. Melakukan kemesuman atas nama cinta itu hina. Hina.

Black out.

Tamat
Malang, 090909

1 komentar: