Kamis, 29 Desember 2011

Obrakan


Matahari sedikit sayu. Tubuhnya sudah condong ke arah barat. Sinar yang memancar berhamburan darinya tak cukup mampu memeras keringat abang becak yang duduk-duduk di atas becaknya menunggu penumpang datang. Di saat seperti ini nikmat sekali ngobrol ke sana- ke mari antar sesama abang becak. Meskipun omongan mereka tak terlalu bermanfaat, namun lebih dari cukup untuk memuntahkan beban-beban yang setiap hari melilit mereka. Tentang hutang yang belum terbayar, tunggakan SPP anak awal bulan, tak jarang pula yang mengaduh penyesalan kalah judi semalam.
Fatamorgana tak lagi nampak. Burung-burung berkicau tak sekencang pagi tadi. Namun demikian tak mengurangi kemerduannya didengar telinga. Rumput-rumput bergoyang lirih mengesek-gesek udara yang melaluinya. Tak lama kemudian udara itu bergerak lebih kencang hingga menunduk-nundukkan berkuntum bunga matahari yang tumbuh berjajar sepanjang kolam di taman ini. Tepat di tengah kolam itu ricuh gemercik air yang terpancar dari sebuah pipa yang kemudian memancar ke atas hingga beberapa meter kemudian membaur dan berjatuhan di kolam layaknya hujan dari langit. Saat angin kencang menerjang, bintik-bintik air yang lembut terbawa dan menghujani segala sesuatu di sekitar kolam.
Perempuan setengah tua duduk bersandar di bawah pohon beringin pada salah satu sisi taman. Di depannya tergeletak sebuah bakul dengan selembar jarit berwarna pucat sebagai pengikat antara bakul dan pudaknya saat berjalan. Bakul itu tertutup dengan lembaran-lembaran daun pisang yang hampir layu. Pandangan mata perempuan itu tertuju pada seorang anak kecil yang terjatuh-jatuh berlari memburu ayahnya. Bocah kecil itu tertawa gembira. Ia terjatuh lagi dan diangkat oleh ibunya kemudian berlari lagi menggapai ayahnya dan terjatuh lagi dengan tawa yang lucu. Hal semacam ini sebenarnya sudah tak asing lagi bagi Rukmini. Hampir setiap hari pasti ada anak, bapak dan ibunya bercengkrama melepas lelah di taman ini. Tapi, Rukmini tak pernah jemu mengamatinya. Setiap kali ia menemui anak kecil yang sedang bermain dengan orang tuanya, ia teringat pada Wawan, anak sulungnya. Ah, ia paksakan untuk tetap percaya pada Suliyah, tetangga yang mengajak Wawan.
Tak dapat dipastikan ia dapat bertemu dengan anaknya yang masih berumur lima tahun pada setiap harinya. Kadang-kadang Suliyah memulangkannya dua hari sekali, bahkan pernah lima hari baru dipulangkan. Itupun hanya semalam, karena paginya Suliyah menjemputnya lagi untuk dibawanya. Sudah menjadi rahasia umum seseorang akan mudah mengulurkan tanganya ketika melihat seorang yang menderita apalagi dengan beban hidup seorang anak kecil yang digendongnya. Dengan menggendong anak kecil dan baju compang-camping penghasilan akan berlipat dua hingga tiga kali. Dari sini orang tak segan-segan membawa anak tetangga atau saudaranya dengan imbalan yang cukup. Selain anak akan mengganggu pekerjaan apabila di rumah, ia bisa menambah penghasilan untuk memenuhi hidup sehari-hari bagi orang tuanya. Apalagi saat semua harga sembako melejit selangit seperti sekarang ini, anak dibawa orang berarti beban kebutuhan juga semakin berkurang, karena setiap keperluan anak akan ditanggung orang itu selama ia dibawanya.
Yang selalu meresahkan Rukmini adalah apabila terjadi apa-apa dengan anak sulungnya itu. Bagaimanapun juga perlakuan orang tua sendiri dan orang lain pasti berbeda. Sebenarnya Rukmini pernah menolak ketika anaknya akan dibawa Sutiyah, tapi karena setiap pagi hingga sore ia berjualan dan juga Sapingi suaminya, dari pagi mengayuh becak kadang-kadang malam baru pulang akhirnya dengan berat tangan ia relakan Wawan dibawa Suliyah. Itupun dengan pertimbangan bahwa Suliyah termasuk penyayang anak-anak. Dulu, anak Binti panas dingin setelah dibawa tetangganya beberapa hari. Panas dingin itu tidak lebih membaik meski diperiksakan ke dokter, hingga akhirnya bocah mungil itu menghembuskan nafas terakhirnya. Apabila Rukmini mengingat hal itu, hatinya menjadi tertumpuk bongkahan-bongkahan kecemasan. Hanya dengan memandangi anak-anak yang sedang bercumbu bersama bapak ibunya itu, sebagai pelepas rindu kepada Wawan. Angan Rukmini dipaksakan melihat dirinya, Sapingi dan Wawan bermain bersama di taman ini.
“Buk, tahu petis.” Rukmini tersentak lirih. Pikiran yang sedang melalang buana dalam dunia imaji terseret kembali ke alam nyata. Dilihatnya seorang lelaki menjulurkan tangannya dengan tiga lembar uang ribuan. Seraya uang itu dicomotnya kemudian ia buka beberapa lembar daun pisang di bakul itu. Bau gurih menguap menggelitik setiap hidung yang membaunya. Di dalam bakul terjejer tahu matang yang siap disajikan. Beberapa tahu diambil satu persatu kemudian dibelah tepat tengahnya dan dilelehkan sambal petis di antara belahan itu.
Setelah melayani pembeli, daun-daun ditutupkan kembali hingga rapat. Mata Rukmini kembali menyorot ke setiap sudut taman. Dicarinya canda tawa anak-anak kecil yang sedang bermain menikmati masa bahagia mereka. Angin berhembus kencang mengerdipkan mata Rukmini. Akar-akar beringin berjuntai ke bawah bergoyang-goyang menuruti alunan lembut udara yang sedang berlalu. Gemitir dedaunan tua yang tak sanggup menggenggam batangnya berhamburan merebah ke atas tanah. Sesekali satu dua lembar daun mendarat tepat di bakul Rukmini, atau tak jarang daun itu mengenai rambutnya yang bergelombang hingga daun itu tak lekas jatuh ke tanah karena terbelit helai rambut kering keronta Rukmini.
Matahari semakin merayap ke arah barat. Anak-anak, remaja, orang lanjut usiapun saling berdatangan. Taman yang tadinya kehijauan penuh warna tumbuhan kini warna-warni bercampur dengan warna busana pengunjung taman. Taman yang tadinya penuh ketenangan dengan kicau burung dan gemercik air mancur kini sedikit gaduh dengan canda tawa anak-anak dan para remaja lainnya. Terlebih saat akrobat topeng monyet sudah magang di sisi taman, keindahan kicau burung yang bertengger di ranting tak lagi terdengar merdu. Kicau itu dikacaukan dengan suara genderang yang menggema dari topeng monyet. “Dong… dong… dong… tong…“
Para pedagang asongan sibuk menjajakan dagangannya. Sebagian dari mereka ada yang masih menata dagangannya semenarik calon pembeli. Sudah menjadi kebiasaan para pedagang asongan keliling kampung mengakhiri perjalanannya di taman ini. Di taman ini, barang maupun makanan yang mereka tawarkan mencapai titik penghabisan. Sebenarnya taman inilah yang menjadi titik manis jerih payah mereka. Berjualan keliling kampung hanya sebagai tambahan daripada nongkrong di rumah tak ada kerjaan.
Pak Ipung, juga tak lepas dari taman ini untuk memenuhi hidup sehari-harinya. Saat ini ia sedang menata mainan anak-anak di atas terpal yang terhampar di sisi kolam. Dulu, saat akan memulai usahanya pak Ipung ragu-ragu akan keberhasilan usahanya. Setelah pak Ipung memberanikan diri dengan modal pinjaman, ternyata dagangannya lumayan diminati anak-anak sampai ia mampu menunjang kehidupan keluarganya.
“Papi, papi, belikan mobil itu!” anak kecil merengek pada bapaknya dengan tangan menunjuk dagangan pak Ipung yang sudah terdasar di atas terpal.
“O ya, silakan pilih! Silakan pilih yang mana.” Dengan tangkas pak Ipung menanggapi kemauan anak kecil itu. Si anak terus menenteng tangan bapaknya menuju pak Ipung.
Mau tidak mau bapak dan ibu anak itu menuruti buah hatinya yang merengek dari tadi. Mereka melangkah menuju dagangan pak Ipung. Tepat di depan mainan yang tertata di atas karpet, pandangan anak itu kian bepindah-pindah menjelajahi mainan pak Ipung. Sesekali ia mengambil mainan mobil sedan dan diputar-putar keempat rodanya, kemudian ia letakkan lagi dan mengambil mainan robot, begitu seterusnya. Melihat anak kecil yang menyukai hampir semua dagangannya, pak Ipung tersenyum bahagia. Diambilnya sebuah mainan pesawat kemudian pak Ipung memainkannya layaknya seorang anak kecil. “Ngeng… ngeng… ngeng” pak Ipung bersuara manja dan membolak-balikkan pesawat itu layaknya terbang di angkasa raya. Anak kecil itu tertarik, ia memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan pak Ipung.
" Obrakaaaaaaaaaaaaaan......" teriakan melengking dari salah satu sudut taman. "dor..dor...dor..." ledakan senapan menggema di udara. dengan gagap mak Aminah segera bangkit. Jari-jarinya yang runcing menggenggam bakul dan meletakkan di atas pundaknya. Sementara tangan kirinya menahan bakul agar tetap berada di pundaknya, sebelah tangan kanan melilitkan jarit meligkar menjerat bakul itu dengan tubuhnya. Kedua kaki Aminah tak sabar untuk segera melangkah meninggalkan tempat itu. Ia terus melangkah sedangkan lilitan jarit yang merekatkan bakul dengan pundaknya belum begitu sempurna. Namun demikian Aminah tetap melangkahkan kakinya dan semakin cepat.
Kelenggangan di alun-alun menjadi gemuruh dengan hentakan kaki asongan dan sepatu boat Satuan Polisi Pamaong Praja yang menepuk-nepuk tanah hingga debu-debu berterbangan. Sungguh seperti seekor kucing yang berada di kolam tikus, sepuluh Satpol PP menghamburkan sekitar lima puluh pedagang asongan, pengamen serta pengemis. Semuanya tegang, mata mereka terbelalak-belalak untuk menghindari tangkapan. "hoy...hoy...berhenti..." teriakan Supeni dengan suara riak. sebenarnya suara Supeni tidak riak, bahkan lirih dan lembut, namun suara itu dipaksa-paksa untuk menutupi ketakutannya. Tangannya membawa pentungan diangkat ke atas. Terbesit di angannya sebah ketakutan besar. Ketakutan jika para asongan yang jumlahnya jauh lebih banyak itu berbalik menyerang mereka. Apalagi saat melihat kulit hitam asongan yang mengkilat tersinar matahari, membuat bulu kuduk Supeni berdiri. Otot-otot para asongan lelaki, mencuat keluar. Tangan mereka yang kekar membawa dagangannya degan kuat. Tak dapat dibayangkan jika tangan-tangan itu menampar wajahnya. Ia juga membayangkan bagaimana seandainya para asongan itu dirinya dan istrinya. Tapi apalah daya pengingkarannya itu. Bagi pasukan, komandan adalah Tuhan. Ia percayakan keamanannya kepada sebuah pistol di genggaman Winto, sang ketua kompi.
Saat itu pula pak Ipung terperanjat bukan main. Pesawat yang ia mainkan terlempar jatuh membentur mainan lainnya. Ia tergopoh-gopoh untuk memunguti dagangannya dan mengamankannya. Dengan kata tersendat pak Ipung memohon diri dari anak kecil dan orang tuanya, "Adik, adik, besok saja ya. Pak, maaf, pak, ada obrakan." Ia berkata dengan membungkus semua dagangannya ke dalam terpal. Kedua orang tua anak itu dapat memahami dan segara menenteng anaknya menjauhi pak Ipung untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Anak itu merengek akan mengambil pesawat yang dimainkan pak Ipung tadi. Tapi ayahnya tetap menentengnya ke tempat yang lebih aman. Pak Ipung segera mengambil langkah seribu dengan dagangannya yang dikemas terpal.
Supardi, yang berjualan guci-guci Cina bajakan dan souvenir keramik lainnya hanya bisa berbolak-balik di samping dagangannya itu. Betapa tidak mungkin Supardi membawa semua dagangannya. Ia bimbang. Ia cemas. Antara membawa dan meninggalkan guci-guci itu. Guci-guci itu nafasnya. Nafas istri dan kedua anaknya. Di saat terjepit seperti ini ia memutar otaknya untuk mengurangi kerugian. Diambilnya sebuah guci oval, seperti bulat telur. "Ah ini harganya murah, tapi cepat laku." Lalu ia meletakkan kembali dan mengambil guci yang lebih gimpel dan bulat. "Ini lebih mahal, tapi sedikit sekali orang yang tertarik untuk membelinya." Pandangan Supardi saling bergantian kepada kedua guci itu. Guci yang di tangannya diletakkan lagi, kemudian mengambil dua buah guci yang harganya lebih murah. "Ah, biarpun murah terpenting bisa cepat laku." Supardi berkata dalam hati dengan teringat kantongnya yang masih kosong.
Supardi lari tergopoh dengan dua buah guci di dekapannya. Supardi terus berlari dan berlari. Tubuhnya yang gempil meliuk-liuk menahan goncangan guci dari gesekan antara keduanya. Na'as, beberapa orang berpentung sudah berada beberapa meter di belakangnya. "Berhenti!" teriak seseorang dengan garang. Supardi tetap lantang, ia terus berlari, bahkan lebih cepat. Tapi, "prang...." kedua gucu Supardi terlepas dari tangannya. Kedua guci itu berserakan di atas tanah. Kaki bersepatu boat menampik kakinya. Supardi seakan-akan melepaskan nafasnya, nafas anak dan istrinya. Tubuhnya berguling-guling di atas tanah. Debu-debu memenuhi mulutnya. Jidatnya memebentur rumput kering, nyeri sekali. Kaki kanannya terasa copot tertampik kaki-kaki sialan itu. Supardi memegangi kakinya, masih utuh. Tapi nyeri, nyeri sekali. Sebuah lengan kekar mengunci kedua tangannya di belakang pundaknya. Kemudian ia diberdirikan dengan kasar dan digelandang menuju truk hijau tua yang terparkir di tepi taman.
Rukmini dan para asongan lainnya terus berlari menuju pintu gerbang sebelah selatan. Debu-debu berterbangan. Mereka akan menuju jalan Merdeka, jalan yang membujur mengelilingi taman itu. Di sanalah harapan kebebasan bisa didapatkan. Ya, hanya harapan. Karena ketika sampai jalan Merdeka, mereka juga tak tentu akan ke arah mana.
Beberapa langkah sebelum pintu gerbang, sebuah truk berplat merah nylonong dan berhenti mendadak, meskipun sebenarnya terpampang tanda dilarang parkir di sepanjang jalan itu. Tapi, apalah daya sebuah aturan dihadapkan penciptanya. Pencipta bebas melakukan apa saja terhadap apa yang ia ciptakan. Haha.. Seperti Tuhan saja. Cicitan roda dengan aspal membuat si sopir mengangguk keras ke depan. Kaki-kaki besar saling berebut keluar dari truk itu. Kaki itu berbalut sepatu boat yang keras. Apabila pandangan kita arahkan ke atas sedikit, tampak tubuh-tubuh kekar ditopang dengan kaki-kaki itu. Dari setiap tubuh dilengapi dengan dua tangan dan sebuah pentungan besar, yang cukup untuk mematahkan tulang-tulang iga. Para asongan seperti tersambar petir di siang bolong. Punggung-pungung kaki mereka tanpa disadari berbalik arah dan segera mengayuhkan langkah penuh tenaga. Namun dari arah belakang sepuluh Satpol PP berjajar siap menghalau mereka. Mereka panik, mereka pasrah. Narto, Dedi dan Ruki mencoba melangkahkan kakinya untuk menuju jalan Merdeka. "Dor.. dor..." Dua letusan amunisi mengurungkan niat mereka.
Matahari semakin rapat dengan pegunungan yang berjajar di barat. Langit kuning membentang di atap taman ini. Bergerombol awan merambat pelan di angkasa. Suasana kembali hening. Rukmini terkulai lemas. Jantungnya berdetak lebih keras, terbayang nasip selanjutnya. Linangan keringat membanjiri sekujur tubuhnya. Bakul berisi tahu petis ditanggalkan bersama dagangan asogan lainnya. Ia teringat Sapingi, Wawan dan kedua kakaknya. Seorang polisi Praja menuntun Rukmini ke dalam truk. Pada gerbong truk terdapat dua bangku panjang sejajar di kedua tepinya. Rukmini naik dan duduk di sebelah mbok Narti, penjual jagung bakar. Kerut di wajah mbok Narti menandakan ketidakberdayaan seorang nenek tua. Badan truk bergoyang oleh tekanan para asongan lain yang mulai naik dan duduk di bangku kosong.
Sapingi berlari dari arah pangkalan becak sisi taman ini. Matanya memerah memandangi setiap sudut taman. Rasa lelah sehabis mengayuh becak hampir terlupakan. Gigi-giginya yang menggigit rahang bawah. Sepuluh jari-jarinya mengepal mencuatkan otot-otot yang saling melilit.
"Kang Pingi!" Suara tertekan menghampiri telinga Sapingi. Ia berhenti dan menoleh ke kanan-kiri mencari sumber suara itu.
"Kang, aku di sini!" Terlihat lambaian tangan dari balik reruntuhan bekas sebuah tugu di taman ini.
"Ipung?" Sapingi segera menuju lambaian tangan Ipung. Ia merebah di balik tembok bersama Ipung.
"Kang, Rukmini tercakup."
"Di mana sekarang?" Mata merah Sapingi menatap tajam mata Ipung.
"Itu kang. Di truk yang terparkir itu." Jari telunjuk Ipung menunjuk ke selatan taman. Di bawah reklame besar bertuliskan "PEMERINTAH BAIK, MENSEJAHTERAKAN RAKYAT" dengan gambar presiden tersenyum, terparkir sebuah truk dan sebuah sedan dinas Satpol PP. Beberapa anggoa tetap berjaga-jaga. Beberapa lagi menata barang dagangan para asongan itu sebagai tanda bukti.
"Bangsat! Aku ke sana sekarang." Pingi bangkit, kakinya melangkah menuju truk itu.
"Kang. jangan, kang!" Ipung menahan tangan Pingi. Ia menariknya untuk duduk kembali. Pingi tetap bersi keras. Ia mencoba melepaskan genggeman Ipung.
"Kang. Jangan gegabah. Percuma. Mereka banyak dan bersenjata." Ipung menjelaskan situasi. Pingi berpikir sejenak, ia duduk kembali di sisi Ipung. Ia pandangi di samping Ipung tergeletak bungkusan terpal. Seongok kepala robot mencuat keluar di sela sobekan terpal yang membungkusnya. Seakan-akan kepala itu mendengarkan setiap pembicaraan mereka berdua.
"Cih, mau apa sebenarnya mereka itu? Selalu saja bikin orang tambah susah." Pingi meludah kecil, mengguyur seekor semut hitam yang sedang berlalu di sela-sela rerumputan.
"Kata mereka, kita-kita ini pembuat kotor lingkungan. Maksudnya sampah dari dagangan kita." Ipung berkata geram. Nafasnya mulai menepuk-nepuk dadanya.
"Ah gobok. Goblok mereka itu. Soal sampah itu jangan kita yang di salahkan! Tapi pembeli yang goblok juga. Cih!" Pingi meludah lagi. "Yang perlu ditangkap itu yang membuang sampah, bukan kita. Goblok. Toh di sini juga banyak tempat sampah!" Ipung mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Anu, kang. kata mereka, kita-kita ini juga pengganggu ketertiban umum." Kata-kata Ipung tersengal. Rupanya, kegeraman mulai menyendat kalimat yang diucapkannya.
"Bangsat! Mata mereka itu picik apa! Lihat, mal-mal yang di tepi jalan itu, bikin macet. Bikin gaduh. Merusak pemandanga kota. Ah, brengsek!" Kepalan tangan kanan Sapingi menggempur puing-puing tembok di depannya. "Mereka tidak di apa-apakan. Bahkan, jika ada acara musik-musikan polisi itu malah menjaganya. Sialan! Goblok! Sontoloyo!"
"Ya, begitulah kang. Apa yang tidak bisa dengan uang. Atau mungkin karena kita ini miskin, kang. Kata pak presiden "Mari bersama kita perangi kemiskinan" Apakah orang-orangnya juga harus diperangi, kang?"
"Pung, kita ini hidup di negeri kita. Kita hidup di tanah kita, tanah ini, Indonesia. Ini milik kita, nenek moyang kita yang memperjuangkannya, dan besok juga untuk anak cucu kita. Tapi kenapa kita dibatasi di rumah sendiri. Di tanah sendiri!"
"Pandangan Ipung menatap luas di taman ini. Ia dapati beraneka bunga yang mulai mengatupkan daun-daunnya. Jiwanya menyatu dengan pepohonan, dengan gemercik air mancur, dan semburan merah langit di atas sana. Hati kecilnya merasa bahwa semuai ini miliknya.
"Tapi, kang. Kenapa ada undang-undang menyatakan ini bukan milik kita. Ini milik pemerintah. Kalau ini milik kita, kita tidak mungkin diperlakukan seperti ini."
Sapingi dan Ipung diam sejenak. Pikiran keduanya pada kayu pohon-pohon besar di taman ini, juga pada ikan-ikan di kolam itu apabila ditebang dan dikail tengah malam. Dan juga bunga-bunga dalam pot apabila didongkel kemudian diuangkan. Karena semua itu bukan milik mereka lagi. Itu milik pemerintah yang selalu mendesaknya. Ingatan Sapingi cepat kembali pada Rukmini.
"Aku ke sana sekarang." Sapingi bangkit, lagi-lagi ditahan oleh Ipung.
"Kang, jangan bertindak konyol! Pikirkan anak-anakmu di rumah." Ipung mencoba menekan niat Sapingi. Dengan lemas Sapingi duduk kembali. Hembusan angin menerpa wajahnya. Ia teringat Rukmini, bagaimana kadaannya. Ia teringat si kecil Wawan dan kedua kakaknya. SPP yang belum terbayar, tunggakan renternir yang harus dibayar sore ini mengendorkan urat-urat nadinya. Ia pandangi Ipung di depannya. Hembusan angin menerpa lagi.
Di sudut taman lain, seorang berseragam hijau dengan satu bintang di lengan kanannya mondar-mandir berbicara dengan handytalky di tangannya. Sementara anak buahnya mengkremasi dagangan para asongan itu untuk diangkut dengan truk.
"Halo, konek, konek!" Ia putar-putar radius signal untuk menemukan frekuensi yang dituju.
"Halo, masuk. Latar Ombo satu masuk."
"Pak, obrakan sukses."
"Ya. Ganti."
"Ada sekitar lima puluh asongan dan pengemis kita amankan."
"Bagus. Bagaimana keadaan selanjutnya? Ganti!"
"Penyergapan berjalan lancar."
"Ya, bagus. Trus!"
"Tidak ada perlawanan yang berarti. Ganti!"
"Kalian membawa senapan?"
"Ya, pak. Untuk mengantisipasi adanya perlawanan balik. Ganti!"
"Ya, tembak saja kalau ada yang membangkang, biar mereka jera. Tapi jangan lupa etika menembak, juga pelurunya, jangan sampai salah pasang, harus peluru karet. Ganti!"
"Ya, pak. Kita juga meminimalkan penggunaan senjata."
"Ya, kerja bagus. Dan juga pantau kembali, barang kali masih ada asongan yang tersisa. Ganti!"
"Ya, pak. Kita tetap pantau. Sudah semuanya kita ringkus."
"Bagus. Usahakan keamanan dan ketertiban tetap terjaga. Alun-alun kota harus tetap bersih dan indah tanpa asongan atau semacamnya, apapun. Ini demi keindahan kota, keindahan negeri kita. Jangan sampai mengecewakan Walikota. Beliau menghimbau agar lingkungan tetap rapi dan bersih.  Tuhanpun menyukai kebersihan dan keindahan. Lakukan dengan ikhlas. Ya sudah, kerjakan tugas dengan baik!"
"Siap, pak! Laporan selesai, pak."
"Kerjakan dengan ikhlas!"
"Siap, pak!"

Nb. Latar Ombo adalah sebuah kode khusus Satpol PP untuk menyebut alun-alun taman kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar