Kamis, 29 Desember 2011

Mencari Teman

Toga-toga kami lempar ke atas. Berputar-putar melayang di angkasa. Kami teriakkan bersama, ”Horeee...”. Usai sudah empat tahun kami jejaki sudut-sudut kampus ini. Mulai terbit pagi hingga petang datang. Mulai diskusi, kencan, dan demo berhari-hari. Semua bahagia.

”Bit, kapan mudik?”. seorang teman menggepak pundakku. Aku tersentak.

”Oh, aku, mungkin beberapa hari lagi”.

”Mengapa tergesa pulang? Mau ngapain di rumah?“.

”Yah, sambil menunggu rencana, aku pulang saja“. Aku berpura-pura. Sebenarnya rencana besar sudah mendarah daging di tubuhku.

”Trus, bagaimana denganmu?“.

”Aku mau bergabung di restoran bulekku. Kebetulan di sini bulek punya tiga restoran. Nah, salah satunya aku pegang nanti. Sarjana sastra kan bisa ngapain aja. Jadi sastrawan, kritikusnya, konglomerat, sampai tukang parkir, sah-sah saja. Hahaha....”. kita tertawa riang.

Percakapan siang itu masih terbayang dalam benakku. Bagaimana seorang itu setelah dewasa mencari jalan hidupnya. Seperti ada kanal-kanal lajur kehidupan yang memang tak dapat kita memilih lagi. Dan Ririn, kemarin ia sudah didampingi calon suaminya, habis kuliah langsung nikah. Mungkin itulah yang sering digunjing orang-orang tua, ”Buat apa anak putri kuliah, paling-paling setelah kuliah juga nikah, ngurus keluarga! Habis sudah.”, sehingga sepanjang sejarah tak pernah ada gadis desaku yang kuliah.

Aku sendiri memahami, kampungku membutuhkan sarjana seperti aku ini. Kampungku memang kampungan. Kualitas dan kuantitasnya sungguh terbelakang. Coba bayangkan, sepanjang sejarah, hanya aku yang sampai di ruang perkuliahan. Itupun karena beasiswa orang tidak mampu, bukan biaya sendiri. Anak-anak gadis paling tinggi lulus SMP, setelah itu dikawinkan.  Dan juga anak laki-laki sampai SMA, itupun setelah tamat kembali ke sawah atau mengembangbiakkan ternak. Hanya di situlah ujung-ujung mimpi mereka.

Aku sekarang ini bisa, bagaimana mengelola pemuda dengan potensi besar mereka. Pemuda. Ya, pemuda. Teman-teman seusiaku dan pemuda-pemuda kampungku akan kugerakkan mereka. Akan aku bakar semangat mereka. Akan aku tularkan semua yang kudapat selama kuliah. Beberapa buku yang mudah dibaca sudah aku siapkan dengan menyisihkan sebagian uang saku. Tentang tata desa, motifasi, pengembangan diri, dan ketrampilan home indurstri lainnya. Aku tinggal mengumpulkan teman-temanku dengan membentuk kelompok kreatif.

Aku tak habis membayangkan, betapa gembiranya mereka nanti. Aku akan membawa angin sejuk dunia intelektual untuk perubahan mereka, perubahan kampung kami. Terlebih lagi Hadi, Rukani, Romadhon dan Robi'an yang dulu semangatnya terpangkas kemelaratannya, pasti akan bisa tumbuh kembali. Selain itu ada juga bapak Bimo, guru sejarah yang dulu selalu membangkitkan semangat kami untuk belajar dan terus belajar. Bisa saja nanti pak Bimo sebagai pembimbing kita.

Rem kereta berderit-derit. Kereta berhenti. Peluit petugas stasiun melengking ke setiap celah cendela kereta. Hanya lima orang terhuyung-huyung menuruni kereta itu. Salah satunya aku.

Suasana begitu sepi, tidak seperti hingar bingar kota. Di sana ada dua petugas kereta dan satu tukang ojek yang sedang mangkal dengan joki yang terkantuk-kantuk. Akupun segera tawar menawar harga dengannya.

Perkampungan sudah terlihat. Tak banyak berubah. Rumah-rumah sama seperti empat tahun yang lalu. Tetap bergedong anyaman bambu. Dinding-dinding reyot tetap berdiri condong. Hanya beberapa rumah yang terlihat ditembok. Saat melewati jalan satu-satunya kampung ini, semua orang melihatku. Melambaikan tangan. Anak-anak yang dulu masih menetek, hanya bengong terheran-heran mengapa bapak ibunya melambaikan tangannnya kepada orang asing, pikirnya.

“Sabit! Sabit pulang!” beberapa orang berteriak dan beberapa lagi melambaikan tangannya sebagai sambutan sederhana.

Aku tengok kanan kiri, tak satupun kulihat batang hidung teman-teman. Yang kujumpai hanya anak-anak kecil bermain di halaman rumah dan orang-orang lanjut usia memamah daun suruh di lincak teras rumah. Aku heran.

Sampai di rumah, aku disambut tangis kedua orang tuaku dan kedua adikku yang terlalu dini mengerti tangisan mereka. Aku keluarkan dua mainan untuk adik tersayangku itu. Senang sekali.

Setelah beberapa menit, setelah haru biru pertemuanku dengan keluarga, aku bergegas keluar untuk menemui teman-teman dan segera menjelaskan rencana-rencana yang akan kami lakukan. Rumah teman-teman tidak jauh, karena kampungku hanya sepanjang 600M jalan membentang menghubungakan antara petak sawah dengan petak sawah lainnya.

“Pak, Robi’an dimana?”

“Oh, nak Sabit sudah pulang! Robi’an setahun yang lalu ke Malaysia”.

“Ke Malaysia? Kerja apa pak? Dengan siapa?”.

“Saya juga kurang tau pasti. Kata orang-orang bekerja di proyek bangunan” Bapak Robi’an berkata dengan ragu. “Ia bersama Nak Romadhon”.

“Bersama Romadhon?”

“Ya”

Aku cemas. Aku langsung berlari menuju rumah Hadi. Tak ada orang sama sekali. Hanya kedua adiknya bermain Dakon di pelataran rumah.

“Adik, mas Hadinya lagi ke sawah?”

Kedua bocah itu bengong sebentar. Bertanya-tanya siapa yang dihadapinya.

“Saya Sabit, teman mas Hadi”

“Mas Hadi bekerja di Surabaya” Salah satu dari mereka menjawab dengan sorot kejujuran.

Aku segera berlari ke rumah Rukani. Namun, sebelum sampai di rumahnya, aku bertemu dengan Rurun, teman sekelasku juga. Ia menggendong seorang bayi, dan menenteng anak kecil di tangan kanannya.

“Sabit! Baru datang?”

“Ya. Ini semua anakkmu, Run? Oh ya, temen-temen kita pada kemana?”. Aku menjawab sekaligus bertanya penuh penasaran.

“Iya Bit, ini anakku. Teman-teman kita banyak yang melancong ke kota. Bahkan ke luar negeri seperti si Robi’an dan Romadhon. Juga adik-adik kelas kita sudah banyak yang meninggalkan kampung ini”.

Aku semakin cemas. Hatiku berdetak-detak.

“Trus, siapa yang masih di sini?”

“Hanya aku, Ulfa dan Rukmini. Kita sudah punya momongan semua. Endang dan Safitri bekerja menjadi pembantu rumah tangga di Surabaya”

“Terimakasih ya, aku ke rumah pak Bimo dulu” Aku cepat berlari. Kakiku bergetar. Hatiku tertumbuk-tumbuk.

Aku lihat rumah pak Bimo masih seperti dulu. Cuma agak kusam. Pintunya setengah terbuka. Lincak panjang yang sering kita pakai bermain masih berdiri tegak di teras sebelah kanan. Kusam. Pasti sudah tidak digunakan duduk-duduk lagi.

“Assalamu’alaikum!” Tak ada yang menjawab. Aku langsung masuk saja. Karena saat sekolah dulu rumah ini seperti rumahku dan juga rumah teman-teman.

Sepi sekali. Sarang laba-laba tumbuh dimana-mana. Sempat mengira rumah ini tak berpenghuni lagi. Ketika aku akan berbalik, aku lihat pak Bimo berbaring di atas ranjang bambu sebelah ruang tamu. Beliau hanya menggerak-gerakkan tangannya. Aku mendekat. Pak Bimo terlihat pucat. Tatapan matanya lurus ke depan, sayu. Aku jabat tangannya. Lemah tak bertenaga. Hangat tangannya masih seperti dulu-dulu. Air mata mengucur di kedua pipi beliau. Sepertinya beliau akan bangun dan berucap sesuatu kepadaku. Perut yang berbelit kaus tipis itu memompa udara begitu berat. Air mataku pun meleleh menyaksikan sisa-sisa semangat pak Bimo. Aku tak tahan. Aku segera berlari keluar. Menghirup pekak udara panas berlari menuju gubuk di tengah sawah yang biasa kita jadikan tempat mangkal bolos sekolah beberapa tahun lalu. Air mataku tetap mengucur, dan semakin deras. Aku percepat lariku, seperti mengejar teman-teman waktu sekolah dulu. Aku terantuk batu, berguling-guling di tanah kering. Aku berteriak panjang, “Teman-temaaaaaaaan…..”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar