Aku bahagia sekali. Dua bulan yang lalu
aku menikah. Bukan dengan teman atau kakak kelasku, tapi dengan suami guruku.
Hebat bukan.
Sore itu, saat aku menyapu daun-daun
kering yang rutuh dari pohon Mahoni di depan rumahku, sebuah mobil Mercy masuk
ke halaman rumahku. Aku sedikit terheran. Baru kali ini batik roda mobil mewah
mengukir halaman rumaku yang masih berupa tanah ini. Siapa gerangan! Aku
bertanya dalam hati.
“Assalamu’alaikum!” seorang tua berkopyah,
tinggi besar keluar dari mobil itu.
“Wa’alaikum salam”. Ayahku menyahutnya
dari dalam rumah dengan berjalan menuju ke teras rumah.
Mereka bersalaman. Sepertinya sudah lama
akrab. Kemudian seorang ibu-ibu keluar dari mobil. Oh, aku seperti sudah kenal.
Ya, itu bu Isti’adah guru agama di sekolah. Aku meninggalkan sapu lidi itu dan
bergegas menyalami bu Isti’adah dan mencium tangannya seperti di sekolah. Dan
yang salaman dengan bapakku, Kyai Abdul, istri bu Isti’adah. Mereka pun masuk,
dan aku melanjutkan pekerjaanku.
***
Malam harinya, aku dipanggil bapak. Bapak
duduk di kursi ruang tamu dengan kopinya dan ibu di kursi depannya. Sedangkan
aku sendiri duduk di kursi samping bapak dan ibu, di batasi dengan sebuah meja
yang membujur di tengah-tengah kami.
“Ulfa!”.
“Ya, pak”.
“Tadi, kamu sudah tau sendiri Kyai Abdul
datang kemari”.
“Ya, pak”.
“Beliau menginginkan kamu”.
“Maksudnya, apa pak?”
“Beliau ingin kamu menjadi istrinya”.
Aku kaget. Bingung.
“Tapi itupun juga terserah kamu, nduk”. Ibuku menyambungnya.
Aku kaget. Binggung. Harus bagaimana
menjawabnya. Aku hanya diam. Suasana pun hening beberapa detik.
“Menikah itu enak, nduk. Apalagi dengan kyai Abdul. Ia seorang
Kyai besar di kampung ini. Juga terhormat”.
Aku masih diam. Aku pandangi langit-langit
rumah yang penuh sarang laba-laba. Apa maksudnya kata-kata ibuku tadi.
“Apalagi dengan Kyai Abdul, kalau kamu
kesulitan tentang pelajaran sekolah atau mengerjakan tugas rumah dari sekolah
tingal tanya sama beliau. Beliau kan pintar”.
Memang benar, kyai Abdul itu orang yang
pintar. Dan selama ini kalau aku kesulitan mengerjakan tugas sekolah pasti
bapak ibuku tidak bisa membantu Dan aku harus ke rumah temanku yang cukup jauh
dari rumah untuk bertanya.
“Dan juga, kalau kamu pengen beli-beli
buku tinggal minta tinggal ke suami. Kan suami yang menanggung semua kebutuhan
istri”. Ibu meneruskan.
Memang, kalau aku ingin membeli buku-buku
sekolah aku harus menunggu sampai bapak punya cukup uang. Tak jarang, satu
sampai dua minggu. Apalagi saat awal tahun ajaran sekolah sekarang ini, pasti
lebih banyak harus beli buku.
“Menjadi istri itu bagaimana sih, bu?”.
“Menjadi istri itu ya seperti ibumu itu.
Menyapu, memasak, dan belanja ke pasar. Bukankah kamu senang sekali kalau
disuruh memasak! Apalagi belanja ke pasar!”.
Aku mengangguk-angguk. Aku lihat ibu, ia
tersenyum mendengar jawaban ayahku tadi.
“Tapi aku kan masih sekolah. Bagaimana
memasak untuk sarapan pagi? Aku tidak mau berhenti sekolah”.
“Haha… Ulfa, Ulfa. Ya jelas enggak. Kamu
jelas tetep sekolah. Sarapan kan bisa dibeli!”. Ayah melegakan kecemasanku.
“Tadi lho, nduk, Kyai Abdul bilang kalau kamu sudah
mampu nanti akan dijadikan direkrut perusahaannya itu”.
“Direktur!” ayah memotong kata-kata ibu.
“Ya, pokoknya pemimpin perusahaannya itu.
Itu kan membuktikan kalau Kyai Abdul akan menyekolahkanmu sampai tinggi, biar
pinter dan nantinya memimpin pabriknya”.
Memang, Kyai Abdul punya pabrik olah
tembaga untuk kaligrafi hiasan dinding. Pabrik itu besar sekali. Memimpin
pabrik! Bagaimana, ya! Ah, yang penting aku akan sekolah sampai tinggi.
“Oh ya, bu. Kyai Abdul kan sudah punya
istri. Bu Isti’adah, guruku di sekolah?”.
“Hahaha…” Bapak dan ibu tertawa bersama.
Aku jadi heran.
“Itu malah akan meringankanmu to, nduk. Satu pekerjaan kalau
dikerjakan dengan dua orang kan lebih ringan. Umpamanya kalau waktu memasak
kamu dan bu Isti’adah yang memasak. Kan lebih ringan”. Ibuku berkata dengan
sisa-sisa tertawanya.
“Itu bukan masalah, Ulfa. Pokoknya bu
Isti’adah membolehkan suaminya menikah lagi itu sudah bukan masalah. Agama
Islam membolehkan umatnya beristri paling banyak empat”.
“Kalau dengan bu Isti’adah, bagaimana?”.
“Ya enggak bagaimana-bagaimana. Kamu dan
bu Isti’adah akan semakin akrab”.
"Bagaimana ini sih, bu?"
"Ya tetep terserah kamu to nduk. Yang melakukan juga kamu.
Tapi yang pasti kamu nanti ada yang membimbing, Ada yang melindungi dan kamu
menjadi tanggung jawab suamimu".
“Nanti kalau aku malu bagaimana?”
“Kenapa to nduk, kok malu. Wong gak nyuri
saja kok malu. Kalau menikah itu kan sah. Sesuai adat juga agama. Jadi gak
perlu malu”. Ibuku menyahut.
“Tapi, Kyai Abdul kan juga kyaiku. Dan
juga putri beliau adik kelasku di sekolah?”.
Dulu, waktu masih Sekolah Dasar, Silvi,
putri bu Isti’adah adik kelasku pas. Sedangkan sekarang aku baru saja masuk di
kelas satu Sekolah Menengah Pertama.
“Umur itu bukan masalah, nduk. Lebih baik itu orang
kalau menikah suaminya lebih tua, karena suami dalam keluarga itu pembimbing
istri. Lebih tua lebih baik”. Ibuku menjawab.
Aku mengangguk-angguk.
“Lagian, menikah sekarang atau besok juga
sama saja. Hanya berbeda waktu. Kamu besok pasti ingin menikah juga, kan! Besok
menikah, atau sekarang, itu sama saja. Nantinya kamu juga pasti menikah seperti
orang-orang pada umumnya”.
“Tapi, bapak. Apakah kalau aku jadi istri
masih bisa bermain dengan teman-teman?”.
“Ya jelas bisa. Bisa. Asalkan pekerjaan di
rumah sudah beres semua”.
Aku jadi teringat, pada hari minggu
seperti biasanya sekolahku libur dan aku di rumah atau kadang bermain di rumah
teman-teman. Saat aku di rumah diam-diam aku mengamati kegiatan ibu di rumah.
Setelah menyiapkan sarapan pagi dan mencuci pakaian, apabila ada cucian, ibu
hanya duduk-duduk di kursi ruang tamu sambil menyulam kristik untuk hiasan dinding atau kalau tidak
begitu ibu hanya duduk-duduk menonton telenovela di TV. Nah, sangat mungkin
pada saat itu aku bermain ke rumah teman-teman, atau juga baca-baca novel dan
cerpen kesukaanku. Hmmm… aku tersenyum kecil.
“Ya, pak, bu. Aku mau”.
Bapak dan ibu saling memandang. Mereka
tersenyum.
***
Pesta pernikahanku dilaksanakan dengan
meriah sekali. Mukaku dimake-up cantik sekali. Kedua bibirku memakai lipstik
merah muda. Rambutku yang biasa tergerai panjang, kini disanggul dan ditambahi
dengan rambut palsu hingga terasa sedikit aneh. Tapi tambah indah. Di atas
kepalaku diletakkannya sebuah mahkota berwarna keemas-emasan dengan hiasan
mutiara-mutiara yang gemerlap indah sekali. Ketika aku bercermin, aku hampir
tak merasa bahwa itu aku. Aku cantik sekali. Seperti para putri ratu yang
sering kujumpai dalam komik-komik yang pernah aku baca. Apalagi dengan gaun
pengantin yang bermotif batik, aku semakin imut saja. Seperti aku berdandan
waktu karnaval memperingati 17 Agustus tahun lalu. Indah.
Rumahku ramai sekali. Tembok-tembok dicat
putih bersih dan pita-pita berwarna-warni saling menyambung di atap, tembok,
dan beberapa helai membentuk bunga di atas gawang pintu. Rumahku ramai sekali.
Baru kali ini rumahku seramai ini. Saudara-saudaraku berkumpul, teman-teman
juga datang, dan guru-guru tak ketinggalan. Seluruh tenda yang menjulur
sepanjang halaman rumahku penuh dengan para tamu. Meriah sekali. Semuanya
tersenyum melihat aku dan Kyai Abdul duduk di atas singgasana pengantin yang
penuh ukiran itu. Semuanya tersenyum. Merestui.
***
Pertama-tama aku agak kikuk dan kaku
dengan Kyai Abdul, eh, suamiku itu. Apalagi dengan bu Isti’adah. Tapi, mereka
sangat baik dan sayang kepadaku. Lama-lama aku biasa bergaul dengan mereka.
Kita tinggal di satu rumah. Rumah Kyai Abdul besar sekali. Lantainya porselin
mengkilap. Selalu bersih. Aku punya kamar sendiri, bercat putih bersih dan
cukup lebar. Begitu juga dengan bu Isti’adah, kamarnya tepat di depan kamarku,
meski dipisahkan dengan ruang kosong yang cukup luas. Cukup untuk bermain
gobaksodor. Hanya ada sebuah pot besar dengan bunga gelombang cinta di
tengah-tengahnya. Kamarku dengan kamar bu Isti’adah persis sekali. Hiasan
kaligrafi yang tergantung di dinding, bentuk tolet, ranjang, juga warna dan
motif selimutnya. Persis sekali. Kyai Abdul punya kamar sendiri, begitu juga
dengan Silvi.
Dan benar, apa yang dikatakan bapak ibuku.
Aku tetap sekolah, bahkan buku-buku pelajaran sudah aku punyai semua. Aku juga
beli buku-buku cerpen dan novel yang sudah aku idam-idamkan dari dulu. Untuk
belanja, ternyata tidak sepayah dulu, aku harus mengayuh sepeda lumayan jauh.
Kita belanja naik mobil Mercy, atau juga bisa yang lain. Mobil Kyai Abdul ada
lima. Kyai Abdul menyetir di depan, aku dan bu Isti’adah duduk di jok belakang.
Dan juga tidak belanja di pasar lagi. Sekarang kita belanjanya di mal besar,
tidak perlu berjubel dan tawar menawar harga. Untuk urusan masak, ternyata aku
tidak perlu masak. Sudah ada beberapa abdi
dalem yang membereskannya.
Tidak hanya pagi dan sore saja makanan tersedia, tapi selalu ada. Dua puluh
empat jam. Begitu juga dengan urusan cuci-mencuci, semua dibereskan abdi dalem.
Pekerjaanku hanya sekolah, mengaji,
membaca dan membaca. Membaca terus, aku ingin pintar. Satu novel bisa aku
habiskan dalam waktu dua hari. Aku juga jadi jarang keluar rumah. Segala
keperluan dibelikan abdi dalem.
Aku juga jarang bermain ke rumah teman-teman. Di rumah ini sudah ada segalanya.
Yang masih aku bingungkan adalah memanggil
Kyai Adbul ini bagaimana. Juga memanggil bu Isti’adah serta Silvi. Mereka
sangat menyayangiku seperti bapak dan ibuku sendiri. Untuk masalah ini aku
sungguh tidak bisa memutuskan. Selama ini aku memanggil Kyai Abdul dengan Pak
Kyai, begitu juga dengan bu Isti’adah dengan Ibu seperti biasanya di sekolah. Untuk
Silvi aku memanggilnya adek, karena aku masih bingung. Ah, nanti saja kalau aku
pulang ke rumah, akan ku tanyakan masalah ini kepada bapak ibu di rumah. Yang
pasti, saat ini aku senang sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar