Kamis, 29 Desember 2011

Suamiku, Suami Guruku

Aku bahagia sekali. Dua bulan yang lalu aku menikah. Bukan dengan teman atau kakak kelasku, tapi dengan suami guruku. Hebat bukan.

Sore itu, saat aku menyapu daun-daun kering yang rutuh dari pohon Mahoni di depan rumahku, sebuah mobil Mercy masuk ke halaman rumahku. Aku sedikit terheran. Baru kali ini batik roda mobil mewah mengukir halaman rumaku yang masih berupa tanah ini. Siapa gerangan! Aku bertanya dalam hati.

“Assalamu’alaikum!” seorang tua berkopyah, tinggi besar keluar dari mobil itu.

“Wa’alaikum salam”. Ayahku menyahutnya dari dalam rumah dengan berjalan menuju ke teras rumah.

Mereka bersalaman. Sepertinya sudah lama akrab. Kemudian seorang ibu-ibu keluar dari mobil. Oh, aku seperti sudah kenal. Ya, itu bu Isti’adah guru agama di sekolah. Aku meninggalkan sapu lidi itu dan bergegas menyalami bu Isti’adah dan mencium tangannya seperti di sekolah. Dan yang salaman dengan bapakku, Kyai Abdul, istri bu Isti’adah. Mereka pun masuk, dan aku melanjutkan pekerjaanku.
***

Malam harinya, aku dipanggil bapak. Bapak duduk di kursi ruang tamu dengan kopinya dan ibu di kursi depannya. Sedangkan aku sendiri duduk di kursi samping bapak dan ibu, di batasi dengan sebuah meja yang membujur di tengah-tengah kami.

“Ulfa!”.

“Ya, pak”.

 “Tadi, kamu sudah tau sendiri Kyai Abdul datang kemari”.

“Ya, pak”.

“Beliau menginginkan kamu”.

“Maksudnya, apa pak?”

“Beliau ingin kamu menjadi istrinya”. Aku kaget. Bingung.

“Tapi itupun juga terserah kamu, nduk”. Ibuku menyambungnya.

Aku kaget. Binggung. Harus bagaimana menjawabnya. Aku hanya diam. Suasana pun hening beberapa detik.

“Menikah itu enak, nduk. Apalagi dengan kyai Abdul. Ia seorang Kyai besar di kampung ini. Juga terhormat”.

Aku masih diam. Aku pandangi langit-langit rumah yang penuh sarang laba-laba. Apa maksudnya kata-kata ibuku tadi.

“Apalagi dengan Kyai Abdul, kalau kamu kesulitan tentang pelajaran sekolah atau mengerjakan tugas rumah dari sekolah tingal tanya sama beliau. Beliau kan pintar”.

Memang benar, kyai Abdul itu orang yang pintar. Dan selama ini kalau aku kesulitan mengerjakan tugas sekolah pasti bapak ibuku tidak bisa membantu Dan aku harus ke rumah temanku yang cukup jauh dari rumah untuk bertanya.

“Dan juga, kalau kamu pengen beli-beli buku tinggal minta tinggal ke suami. Kan suami yang menanggung semua kebutuhan istri”. Ibu meneruskan.

Memang, kalau aku ingin membeli buku-buku sekolah aku harus menunggu sampai bapak punya cukup uang. Tak jarang, satu sampai dua minggu. Apalagi saat awal tahun ajaran sekolah sekarang ini, pasti lebih banyak harus beli buku.

“Menjadi istri itu bagaimana sih, bu?”.

“Menjadi istri itu ya seperti ibumu itu. Menyapu, memasak, dan belanja ke pasar. Bukankah kamu senang sekali kalau disuruh memasak! Apalagi belanja ke pasar!”.

Aku mengangguk-angguk. Aku lihat ibu, ia tersenyum mendengar jawaban ayahku tadi.

“Tapi aku kan masih sekolah. Bagaimana memasak untuk sarapan pagi? Aku tidak mau berhenti sekolah”.

“Haha… Ulfa, Ulfa. Ya jelas enggak. Kamu jelas tetep sekolah. Sarapan kan bisa dibeli!”. Ayah melegakan kecemasanku.

“Tadi lho, nduk, Kyai Abdul bilang kalau kamu sudah mampu nanti akan dijadikan direkrut perusahaannya itu”.

“Direktur!” ayah memotong kata-kata ibu.

“Ya, pokoknya pemimpin perusahaannya itu. Itu kan membuktikan kalau Kyai Abdul akan menyekolahkanmu sampai tinggi, biar pinter dan nantinya memimpin pabriknya”.

Memang, Kyai Abdul punya pabrik olah tembaga untuk kaligrafi hiasan dinding. Pabrik itu besar sekali. Memimpin pabrik! Bagaimana, ya! Ah, yang penting aku akan sekolah sampai tinggi.

“Oh ya, bu. Kyai Abdul kan sudah punya istri. Bu Isti’adah, guruku di sekolah?”.

“Hahaha…” Bapak dan ibu tertawa bersama. Aku jadi heran.

“Itu malah akan meringankanmu to, nduk. Satu pekerjaan kalau dikerjakan dengan dua orang kan lebih ringan. Umpamanya kalau waktu memasak kamu dan bu Isti’adah yang memasak. Kan lebih ringan”. Ibuku berkata dengan sisa-sisa tertawanya.

“Itu bukan masalah, Ulfa. Pokoknya bu Isti’adah membolehkan suaminya menikah lagi itu sudah bukan masalah. Agama Islam membolehkan umatnya beristri paling banyak empat”.

“Kalau dengan bu Isti’adah, bagaimana?”.

“Ya enggak bagaimana-bagaimana. Kamu dan bu Isti’adah akan semakin akrab”.

"Bagaimana ini sih, bu?"

"Ya tetep terserah kamu to nduk. Yang melakukan juga kamu. Tapi yang pasti kamu nanti ada yang membimbing, Ada yang melindungi dan kamu menjadi tanggung jawab suamimu".

“Nanti kalau aku malu bagaimana?”

“Kenapa to nduk, kok malu. Wong gak nyuri saja kok malu. Kalau menikah itu kan sah. Sesuai adat juga agama. Jadi gak perlu malu”. Ibuku menyahut.

“Tapi, Kyai Abdul kan juga kyaiku. Dan juga putri beliau adik kelasku di sekolah?”.

Dulu, waktu masih Sekolah Dasar, Silvi, putri bu Isti’adah adik kelasku pas. Sedangkan sekarang aku baru saja masuk di kelas satu Sekolah Menengah Pertama.

“Umur itu bukan masalah, nduk. Lebih baik itu orang kalau menikah suaminya lebih tua, karena suami dalam keluarga itu pembimbing istri. Lebih tua lebih baik”. Ibuku menjawab.

Aku mengangguk-angguk.

“Lagian, menikah sekarang atau besok juga sama saja. Hanya berbeda waktu. Kamu besok pasti ingin menikah juga, kan! Besok menikah, atau sekarang, itu sama saja. Nantinya kamu juga pasti menikah seperti orang-orang pada umumnya”.

“Tapi, bapak. Apakah kalau aku jadi istri masih bisa bermain dengan teman-teman?”.

“Ya jelas bisa. Bisa. Asalkan pekerjaan di rumah sudah beres semua”.

Aku jadi teringat, pada hari minggu seperti biasanya sekolahku libur dan aku di rumah atau kadang bermain di rumah teman-teman. Saat aku di rumah diam-diam aku mengamati kegiatan ibu di rumah. Setelah menyiapkan sarapan pagi dan mencuci pakaian, apabila ada cucian, ibu hanya duduk-duduk di kursi ruang tamu sambil menyulam kristik untuk hiasan dinding atau kalau tidak begitu ibu hanya duduk-duduk menonton telenovela di TV. Nah, sangat mungkin pada saat itu aku bermain ke rumah teman-teman, atau juga baca-baca novel dan cerpen kesukaanku. Hmmm… aku tersenyum kecil.

“Ya, pak, bu. Aku mau”.

Bapak dan ibu saling memandang. Mereka tersenyum.
***
           
Pesta pernikahanku dilaksanakan dengan meriah sekali. Mukaku dimake-up cantik sekali. Kedua bibirku memakai lipstik merah muda. Rambutku yang biasa tergerai panjang, kini disanggul dan ditambahi dengan rambut palsu hingga terasa sedikit aneh. Tapi tambah indah. Di atas kepalaku diletakkannya sebuah mahkota berwarna keemas-emasan dengan hiasan mutiara-mutiara yang gemerlap indah sekali. Ketika aku bercermin, aku hampir tak merasa bahwa itu aku. Aku cantik sekali. Seperti para putri ratu yang sering kujumpai dalam komik-komik yang pernah aku baca. Apalagi dengan gaun pengantin yang bermotif batik, aku semakin imut saja. Seperti aku berdandan waktu karnaval memperingati 17 Agustus tahun lalu. Indah.

Rumahku ramai sekali. Tembok-tembok dicat putih bersih dan pita-pita berwarna-warni saling menyambung di atap, tembok, dan beberapa helai membentuk bunga di atas gawang pintu. Rumahku ramai sekali. Baru kali ini rumahku seramai ini. Saudara-saudaraku berkumpul, teman-teman juga datang, dan guru-guru tak ketinggalan. Seluruh tenda yang menjulur sepanjang halaman rumahku penuh dengan para tamu. Meriah sekali. Semuanya tersenyum melihat aku dan Kyai Abdul duduk di atas singgasana pengantin yang penuh ukiran itu. Semuanya tersenyum. Merestui.
***
           
Pertama-tama aku agak kikuk dan kaku dengan Kyai Abdul, eh, suamiku itu. Apalagi dengan bu Isti’adah. Tapi, mereka sangat baik dan sayang kepadaku. Lama-lama aku biasa bergaul dengan mereka. Kita tinggal di satu rumah. Rumah Kyai Abdul besar sekali. Lantainya porselin mengkilap. Selalu bersih. Aku punya kamar sendiri, bercat putih bersih dan cukup lebar. Begitu juga dengan bu Isti’adah, kamarnya tepat di depan kamarku, meski dipisahkan dengan ruang kosong yang cukup luas. Cukup untuk bermain gobaksodor. Hanya ada sebuah pot besar dengan bunga gelombang cinta di tengah-tengahnya. Kamarku dengan kamar bu Isti’adah persis sekali. Hiasan kaligrafi yang tergantung di dinding, bentuk tolet, ranjang, juga warna dan motif selimutnya. Persis sekali. Kyai Abdul punya kamar sendiri, begitu juga dengan Silvi.

Dan benar, apa yang dikatakan bapak ibuku. Aku tetap sekolah, bahkan buku-buku pelajaran sudah aku punyai semua. Aku juga beli buku-buku cerpen dan novel yang sudah aku idam-idamkan dari dulu. Untuk belanja, ternyata tidak sepayah dulu, aku harus mengayuh sepeda lumayan jauh. Kita belanja naik mobil Mercy, atau juga bisa yang lain. Mobil Kyai Abdul ada lima. Kyai Abdul menyetir di depan, aku dan bu Isti’adah duduk di jok belakang. Dan juga tidak belanja di pasar lagi. Sekarang kita belanjanya di mal besar, tidak perlu berjubel dan tawar menawar harga. Untuk urusan masak, ternyata aku tidak perlu masak. Sudah ada beberapa abdi dalem yang membereskannya. Tidak hanya pagi dan sore saja makanan tersedia, tapi selalu ada. Dua puluh empat jam. Begitu juga dengan urusan cuci-mencuci, semua dibereskan abdi dalem.

Pekerjaanku hanya sekolah, mengaji, membaca dan membaca. Membaca terus, aku ingin pintar. Satu novel bisa aku habiskan dalam waktu dua hari. Aku juga jadi jarang keluar rumah. Segala keperluan dibelikan abdi dalem. Aku juga jarang bermain ke rumah teman-teman. Di rumah ini sudah ada segalanya.

Yang masih aku bingungkan adalah memanggil Kyai Adbul ini bagaimana. Juga memanggil bu Isti’adah serta Silvi. Mereka sangat menyayangiku seperti bapak dan ibuku sendiri. Untuk masalah ini aku sungguh tidak bisa memutuskan. Selama ini aku memanggil Kyai Abdul dengan Pak Kyai, begitu juga dengan bu Isti’adah dengan Ibu seperti biasanya di sekolah. Untuk Silvi aku memanggilnya adek, karena aku masih bingung. Ah, nanti saja kalau aku pulang ke rumah, akan ku tanyakan masalah ini kepada bapak ibu di rumah. Yang pasti, saat ini aku senang sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar