Semua warga desa diributkan dengan
seringnya hantu yang muncul dengan tiba-tiba. Hal demikian tentu akan
membahayakan para penderita lemah jantung. Selain itu, hantu juga sering
mengusili warga. Mulai dari mencolek, membuat suara gaduh, atau mengganggu
ternak sehingga kambing dan sapi gaduh di malam hari.
“Kesabaran kita
seharusnya habis sejak dulu. Gimana tidak, tiap hari kita diributkan ternak
yang mengamuk seperti kesetanan”
”Ya, hantu-hantu
kacangan itu semakin hari semakin menjadi. Sering memunculkan suara benturan di
tengah malam, sampai para peronda mengira itu maling. Tapi setelah dilihat tidak ada
apa-apa, kecuali seglintir pocongan yang sedang usil. Para hantu sudah sangat
mengganggu aktivitas warga. Harus segera kita basmi”
”Ya, saya sepakat
kita harus membakar Danyang Soho itu”
”Aku juga pernah,
waktu lewat Danyang Soho, seperti di kasih seorang tua beberapa ribu uang. Tak
berpikir panjang, aku pun menerimanya, tapi, setelah uang itu saya belikan
berubah menjadi kembang tujuh warna. Si penjual jadi menuduh saya melakukan
penipuan dengan pesugihan. Ini kan sudah keterlaluan!”
”Ya, harus kita
ganyang”
”Harus, harus,
sebelum para lelembut lebih kreatip dalam mengganggu warga”
Maka, malam harinya,
seluruh warga desa berbondong-bondong akan membakar sebuah pohon besar -Danyang
Soho- yang terkenal sebagai markas besar para lelembut.
Meski malam mencekam,
dingin menusuki tulang, tak menyurutkan langkah warga untuk membakar pohon itu.
Para warga yakin, setelah membakar Danyang Soho, para lelembut akan pergi dari
desa ini, minimal tidak lagi usil pada manusia. Dengan obor di tangan kanan dan
cirigen berisi bensin di tangan kiri, hampir semua warga ikut menggrebek
Danyang Soho. Hanya ibu-ibu yang punya anak kecil, yang tinggal di rumah.
Jarak 200 meter
sebelum Danyang Soho, tiba-tiba angin ribut datang. Mengombang-ambingkan
barisan warga. Mematikan sebagia obor yang ada.
”Semua berkumpul,
melingkar!” instruksi dari pak lurah.
Maka semua berkumpul,
melingkar, dan merapat. Obor-obor yang mati dinyalakan lagi. Bau busuk
tiba-tiba menyengat hidung, lalu beberapa pocong dengan wajah penuh ulat
bergelantung di reranting pohon. Tak berpikir lama, semua warga melemparinya
dengan batu yang sudah disiapkan di saku. Pocongpocong itu lalu menghilang.
Kini suara lolongan
serigala memekikkan telinga. Disusul dengan hujan kepala dari atas pohon.
Setelah di tanah, kepalakepala itu tersenyum dengan taring yang tajam. Para
warga menginjaknya hingga kepalakepala itu lebam, lalu menghilang.
Pada hitungan ketiga,
para warga berlari menyerang Danyang Soho. Surder Bolong muncul, Suster Ngesot,
Thong-thong Shot, Mbilung, Pocong, Wedon, tak ketinggalan. Semua bermuka seram. Namun, semua
dilibas dengan lemparan batu-batu warga.
Tibalah semua warga di depan Pohon Soho
besar yang dianggap sebagai sarang lelembut. Saat semua akan menyiramkan bensin
ke pohon, tiba-tiba muncul sesosok makhluk besar, hitam, dan bertaring panjang.
“Hhhaaaaaaaa!” gendruwo itu berteriak
hingga warga menyumpat telinga.
“Manusia goblok,
bodoh, dungu, tolol, asu,
kalian!”
”Lelembut bodoh,
dungu, suka usil, ngganggu manusia, setan,
kalian!”
”Diaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!”
gendruwo berteriak. Warga menyumpat tenlinga.
”kami diciptakan
memang untuk mengganggu manusia!. Dan kalian seharusnya takut pada kami. Tapi
sekarang tidak. Sekarang beda. Kalian sudah tidak lagi lakut pada kami. Malahan, kalian melempari batu kami,
mengolok kami, dan malam ini kalian akan membakar rumah kami.”
”Kalian hantu sudah
membuat kami kesal. Membuat warga tidak bisa tidur nyenyak. Kenapa sih, kalian
enggak bisa diam!” pak Lurah mengutarakan isi hati warga.
”Kalian manusia
dungu! Kami, yang sebagai pengganggu kecil seperti ini kalian lawan. Kalian
musuhi. Kalian musnahkan. Lihat! Buka mata kalian! Para manusia yang menyakiti
kalian, para pemimpin kalian, yang korup, yang memebuat rakyat miskin, para
mafia hukum, para maling negara yang melumat kebahagiaan kalian, tidak pernah
kalian musuhi, bahkan membencipun kalian tidak pernah!
Apa karena kalian
takut! Cih, pengecut! Penghianat! Kalian, para manusia takut pada keculasan,
kecurangan. Manusia asu!. Buka mata kalian, dana centuri yang
lenyap, lumpur Sidoarjo, korupsi, itu sudah benar-benar membuat kalian mati
kelaparan. Tapi kalian tidak melawannya! Dan kami, yang memang digariskan
sebagai penggaggu kacangan, sudah hancur eksistensi kami. Kalian gusur
rumahrumah kami. Rawa-rawa kalian tebang, hutang kalian tebang, sungai-sungai
kalian jadikan bangunan, kalian soroti rumah-rumah kami dengan lampu
gemerlapan. Bukankah itu penggusuran hak hidup kami! Kami adalah makhluk
kegelapan. Hutan, rawa, sungai, kalian jamah semua, kalian rusak semua!
Dan yang paling
memiriskan hati, kalian sudah tidak takut pada kami. Eksistensi kami sebagai
pengganggu kini hancur. Hancur. Hancuuuuuurrr... kalian gembar-gembor
kesetaraan hak, kesetaraan jenis kelamin, hak pendidikan, hak hidup, tapi
kalian tetap semena-mena pada yang lemah dan takut pada yang kuat. Bahkan, pada
yang harus dilawan kalian malah takut. Seharusnya kalian juga mempertimbangkan
hak-hak kami. Bukankah kita juga hidup semagai satu makhluk, makhluk Tuhan
semesta! Kalian manusia goblok.
”Faiz! Mana Faiz!”
Gila, gendruwo
memanggilku.
”Faiz, kamu itu
manusia Manja, alias Manismanis Jancuki! Kami tau
sebenarnya kamu masih takut kami. Tapi itu tidak penting. Lihatlah, korupsi di
kabupatenmu sudah mencapai stadium empat. Dan kamu, apa yang kamu lakukan!
Malah buat cerpen kacangan yang nggak laku diterbitkan. Seharusnya kamu
menghunus parang dan membabat siapa saja yang merampas hak-hak rakyat. Lawan
dengan otakmu, tenagamu, dan hartamu! Kamu takut! Manusia yang takut pada yang
salah itu manusia pengecut!”
Aku malu bukan
kepalang. Kok tau, aku sebenarnya masih takut pada hantu.
”Nurani, bukumu yang
ke 17 sudah terbit. Tapi itu hanya akan mencerdaskan para borjuis untuk
menyiasati semua perlawananmu. Bukankah buku-bukumu itu Cuma dibaca oleh orang-orang
borjuis! Karena hanya mereka yang mempu membeli buku. Kamu harus bikin gerakan
bawah untuk penyadaran akan penindasan kekuasaan pada rakyat. Tapi, sekolah
menulis yang efektif sebagai media malah kau lupakan, padahal sudah beberapa
siswa mau mendaftar. Perubahan tidak akan terjadi melainkan dari gerakan bawah”
Pak nurani Cuma
cengingas-cengingis. Barangkali ada hal-hal lain yang tidak diketahui gendruwo
tentang dirinya.
”Sukarto, sebagai
lurah kamu tidak pernah memihak rakyat. Lihat, selama
kamu pimpin tidak ada kemajuan sama sekali. Aspal pada bolong-bolong kamu
biarkan, sampai banyak orang terperosok di dalamnya. Itu tanggung jawab kamu.
Progarm-progammu tak lebih Cuma gambar saja formalitas. Hasilnya nonsen.
Perangkatmu yang bodohbodoh itu, bisa apa mereka! Aku kok heran, tahun ini kok
kamu jadi calon lagi! Apa kamu pikir jadi lurah itu enak! Tidak. Sama sekali
tidak. Jadi lurah itu harus pandai, jujur, cerdas dan bertanggung jawab,
pekerja keras. Tapi nggak tau, kalo bagimu jadi lurah diambil duitnya doang.”
Wajah pak Sukarto
merah padam. Semoga orang-orang yang membaca terbuka hatinya.
”Mulkadi, dulu kamu
jadi lurah, dan sekarang magang lagi. Apa jabatan itu tidak membuatmu takut!
Apa kamu tidak takut pada tanggungjawab itu! Toh, waktu kamu jadi lurah juga
nggak ada kemajuan. Waktu kepemimpinanmu memang belum terbuka seperti sekarang.
Jadi, kalaupun kamu korupsi”
”Maskuni, kamu juga magang lurah. Rupanya jabatan wakil lurah menggiyurkanmu untuk menduduki jabatan lurah. Seharusnya kamu bercermin dulu, beberapa oraganisasi kamu ketuai, tapi kegiatannya Cuma ituitu saja. Kamu memang jujur. Tapi yang diperlukan pemimpin tidak hanya jujr saja, melainkan keprofesionalitasan dan kekreatipan.”
”Kalian memang bodoh,
kalian pengecut! Kami
diciptakan untuk mengganggu kalian! Dan kalian
harus takut pada kami. Tapi nyatanya...” gendruwo menghentikan kata-katanya.
Dari kedua matanya keluar air mata. Lelembut lainnya menyusul, mengerubunginya,
ikut meneteskan air mata.
”Kalian sudah
menyalahi kodrat Tuhan” dengan bersimbah air mata Gedruwo melanjutkan. ”kalian
para manusia menakuti sesuatu yang tidak seharusnya ditakuti, dan menidaktakuti
yang seharusnya ditakuti. Asu!.
Suasanya menjadi
hening, seperti ada duka di celahnya. Di tengah
keheningan malam itu, seorang berteriak ”Bakaaaar!”. Kebodohan dan keculasan
merasuki otak para warga. Semua bensin disiramkan ke pohon, lalu oborobor
dilemparkannya.
Api pun tak
terbendung lagi menjilati seluruh pohon. Para hantu menangis sedang para
manusia tertawa dengan kebodohannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar