Beberapa tahun terakhir, Bangsa Indonesia ini terpuruk dengan sederet masalah yang tiada habisnya. Mulai dari permasalahan alam, seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan kerusakan terumbu karang, kekeringan, penyakit flu burung, flu babi dan sebagainya. Selain itu permasalahan-permasalahan kejahatan manusia kepada manusia juga marak. Mulai dari pencuri ayam, curanmor, pembobolan bank, hingga korupsi besar-besaran.
Para pejabat negara yang seharusnya menjadi tauladan bagi rakyatnya, berlaku bejat tanpa mempedulikan norma-norma kehidupan yang ada. Tak jarang kita dengar kasus perselingkuhan petinggi negara dengan artis-artis cantik di sebuah hotel. Dengan bergelimang uang seakan-akan para petinggi negara itu di atas angin. Apapun yang mereka inginkan mereka lakukan. Tanpa pikir panjang mereka menuruti semua syahwat duniawi yang hanya akan mengarahkan mereka pada kehancuran.
Yang lebih mengerikkan, berdasarkan kasus korupsi yang masuk di kejaksaan sekitar tahun 2007 adalah Departemen Agama Islam yang menduduki peringkat pertama atas instansi pemerintah dengan perilaku korupsi. Jika instansi agama saja seperti itu, kita tak dapat membayangkan lagi bagaimana dengan instansi lain yang banyak oknumnya tidak sekuat iman oknum-oknum yang duduk di instansi keagamaan.
Padahal, pemimpin adalah kemuliaan yang diberikan Allah kepada seseorang. Allah SWT telah menetapkan untuk memuliakan sebagian orang dan menghinakan sebagian yang lain. Sebagian menjadi pemuka agama dan sebagian yang lain menjadi orang awam. Demikianlah sunnah Allah yang berlaku di dunia ini.
Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang engkau kehendaki dan engkau hinakan orang yang engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Ali Imran [3]: 3)
Kepemimpinan adalah amanat Allah SWT yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hari kiamat kelak. Barang siapa melaksanakannya dengan baik, maka Allah akan mengganjarnya dengan kebaikan pula. Sebaliknya, siapa yang berkhianat maka Allah akan membalasnya dengan siksa yang amat pedih di neraka.
Orang-orang yang tidak amanat dengan kepemimpinannya sebenarnya mereka bukanlah pemimpin sejati. Dengan kata lain mereka hanyalah pecundang yang bersembunyi di balik kekuasaan. Orang-orang seperti itu tidak akan mendatangkan kebajikan bagi manusia lain sedikit pun. Allah telah menyindir orang yang memegang kekuasaan, namun kekuasaannya tidaklah mendatangkan manfaat bagi orang lain. Allah berfirman:
Ataukah ada bagi mereka bahagian dari kerajaan (kekuasaan)? Kendatipun ada, mereka tidak akan memberikan sedikit pun (kebajikan) kepada manusia. (QS. An-Nisa [4]: 53)
Artinya, barang siapa yang saat memimpin tidak memberikan manfaat bagi orang lain, pada hakikatnya dia gagal dalam kepemimpinannya dan tentu tidak layak untuk menjadi pemimpin.
Kepemimpinan bukanlah lahan untuk mencari kekayaan, harta, jabatan, atau ambisi-ambisi duniawi lainnya, namun kepemimpinan adalah amanat yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hari kiamat nanti.
Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Masing-masing diantara kalian ini adalah pemimpin dan masing-masing akan dimintai pertanggungjawabannya tentang yang dipimpinnnya. Seorang Imam atau pejabat negara adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin di rumahnya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnnya. Dan wanita di rumah suaminya adalah pemimpin dan akan dimintai pertangggungjawaban tentang yang dipimpinnya. Dan seorang pembantu adalah pemimpin harta majukannya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. (HR. Bukhari)
Demikian bukan berarti jika ada peluang kepemimpinan lantas kita meninggalkannya, membiarkannya, dan menelantarkannya sehingga dipegang oleh orang-orang yang tak berilmu, atau berilmu tapi tak berakhlak dalam menunaikan amanatnya. Karena yang seperti itu hanya akan membuahkan kehancuran dan kebinasaan.
Dalam hadis lain juga disebutkan jika tiga orang bepergian maka dianjurkan mengangkat salah satunya sebagai seorang pemimpin bagi yang lainnya. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa pemimpin merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan. Pemimpin sebagai pengarah dan pembimbing yang lainnya agar selalu dalam jalan kebaikan. Peminpin juga sebagai pemersatu visi dan misi dalam sebuah komunitas sehingga kesatuan dan persatuan akan terjaga dengan kokoh.
Tidak cukup di situ, pemimpin harus dapat mengatasi konflik yang terjadi, cerdas, sabar dan yang terpenting mampu mengamalkan amar ma’ruf nahi mungkar. Kita tentu tak rela jika kursi kepemimpinan diduduki oleh orang-orang yang tidak berkompeten dalam hal itu, pemimpin yang tidak sama sekali memikirkan rakyatnya dan hanya senang berfoya-foya dengan kekusaan.
Dalam negara yang menganut sistem demokrasi yang berslogan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, untuk mengangkat pemimpin diperlukan kesepakatan bersama dengan pemilihan langsung oleh rakyat. Dari situ, rakyat akan bebas memilih pemimpin yang benar-benar baik dan sesuai dengan hati nuraninya. Namun dalam kenyataannya, meskipun rakyat sudah memilih langsung pemimpin-peminpin mereka ternyata tidak dapat merubah keadaan negara yang diambang kehancuran ini.
Pemimpin yang sebelumnya diagung-agungkan, diangkat, dipuji rakyatnya, setelah menjabat sebagai pemimpin menginjak-injak hak-hak rakyat. Mereka tak peduli lagi dengan kepentingan bersama. Mereka sudah termakan swahwat laknat duniawi. Anak-anak terlantar, masyarakat miskin, pekerja seks komersial, pedagang asongan, pedagang kaki lima, sudah tak dianggap lagi sebagai warga negara. Mereka bahkan dianggap sebagai sampah yang harus segera dimusnahkan. Subhanallah.
Hal ini dibuktikan dengan penggusuran tanpa memberikan kompensasi dan lapangan pekerjaan yang sesuai, minimnya anggaran untuk orang-orang miskin, serta diskriminasi fasilitas antara yang kaya dan yang miskin. Sebagai contoh, adanya sekolah-sekolah negeri favorit yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang kaya. Padahal, sekolah negeri adalah sekolah rakyat bersama yang seharusnya siapa pun dapat mengenyamnya, terutama warga sekitar sekolahan. Karena pada dasarnya didirikannya sekolah-sekolah di tiap daerah yaitu untuk melayani masyarakat sekitar.
Tapi yang terjadi masyarakat tidak mampu hanya bisa disekolah-sekolah pinggiran yang tak pernah dilirik pemerintah untuk dikembangkan fasilitas dan kualitasnya. Dengan demikian terjadi pemusatan perhatian pemerintah dan masyarakat kepada sekolah-sekolah tertentu saja. Dan masih banyak kasus-kasu lain sebagai akibat dari pemimpin yang tidak bertanggung jawab atas kepemimpinannya.
Bangsa Indonesia ini sudah diambang kehancuran. Kebenaran diperjualbelikan, nasib rakyat terkatung-katung antara hidup dan mati, pemimpin-pemimpin pandai mengibuli, narkoba sudah seperti kacang goreng yang bisa di dapatkan diberbagai tempat. Pabrik minuman dilegalkan jika membayar pajak, baru dimusnahkan ketika tidak membayar pajak. Pelacuran dilestarikan jika membayar pajak, dan dihancurkan dikala tidak membayar pajak. Para remaja rusak moral. Sek bebas sudah hampir tidak tabu lagi di negeri ini. Imam Syafi’i pernah berkata:
“Para pemuda hari ini adalah para pemimpin masa datang”
Kerusakan yang terjadi di negeri ini bukan hanya kerusakan oknum namun sudah memasuki tataran kerusakan sistem. Perundang-undangan banyak yang memihak pada kemaksiatan dan kerusakan mental. Undang-undang melemahkan yang kecil dan menggelembungkan yang besar.
Mari, kita yang merasa mampu memimpin, kita yang berkompetensi dengan kepemimpinan, yang punya kebersihan hati dan kejujuran, untuk memimpin rakyat dengan perpegang kebenaran dan kebijaksanaan. Mari kita rebut perubahan dengan memimpin. Pemimpin adalah pemegang keputusan, pemegang kebijakan, dan yang mengarahkan kemana bangsa ini akan berpacu. Dengan demikian ketika kita sudah menjadi pemimpin, akan mudah merubah negeri ini menuju yang lebih baik.
Memimpin adalah beribadah tatkata kita niati dengan ibadah dan melakukannya dengan hati bersih. Memimpin dengan kejujuran dan kebijaksanaan lebih baik dari pada berdiam diri atau sekedar melakukan perubahan-perubahan dari bawah yang akan menguras tenaga tanpa hasil yang gemilang. Merebut perubahan dengan kepemimpinan adalah wajib dilakukan di saat pemimpin yang ada menghianati amanahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar