Persamaan dan Perbedaan Unsur-Unsur Syi’ir Madh kepada Nabi Muhammad SAW karya al Busyairi dengan Syi’ir Madh kepada Raja Sholih karya Sofiudin al Hilli.
I. Latar Belakang Masalah
Al Busyiri dengan nama asli Muhammad bin Said bin Hammad As Sanhaji dilahirkan di Desa Dallas dekat kota Bani Suwaif di Mesir pada tahun 608 H dan Shofiyudin al-Hilli dengan nama asli Abdullah Aziz bin Ali dilahirkan di kota Hallah (tepi Furat) pada tahun 677H, merupakan dua penyair besar pada zaman keruntuhan Abasiyah. Hal ini dibuktikan dengan karya besarnya qasidah Burdah karya al-Busyiri tentang pujiannya kepada Nabi besar Muhammad SAW yang hingga kini masih sering dilantunkan.
Shofiyidin al-Hilli dengan puisi-puisinya yang dianggap karangan terbaik sesudah al-Busyairi dan bahasa dalam syairnya sangat mudah sehingga banyak orang yang menjadikannya pantun. Dan juga karena kelihaiannya dalam menciptakan sya’ir madh kepada Raja Ibnu Kholawwun, beliau diangkat menjadi juru tulisnya. Shofiyudin al-Hilli juga dikenal sebagai orang pertama yang menciptakan syi’ir madh kepada Nabi Muhammad yang paling lengkap dari segi ilmu badi’ sehingga beliau dimasukkan sebagai imam ilmu badi’.
Penelitian disini mencoba membandingkan unsur-unsur dua syi’ir madh karya dua penyair besar zaman keruntuhan. Meskipun dua syi’ir yang kami teliti berbeda tujuan syi’ir tersebut diciptakan –karya al-Busyairi ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW dan karya Shofiudin al-hilli ditujukan kepada raja Sholeh ketika menghadapi serangan Mongol- tapi pada dasarnya tema kedua syi’ir tersebut sama, yaitu sebagai pujian kepada orang-orang mulia.
Sastra bandingan adalah pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak menghasilkan teori sendiri. Menurut Remak (1990 : 1), sastra bandingan adalah kajian sastra di luar sebuah negara dan kajian hubungan diantara sastra dengan bidang ilmu serta kepercayaan yang lain seperti seni (misalnya, seni lukis, seni ukir, seni bina dan seni musik), filsafat, sejarah dan sains sosial (misalnya politik ekonomi, sosiologi) sains, agama dan lain-lain. Sedangkan menurut Nada (1999:9), sastra bandingan adalah suatu studi atau kajian sastra suatu bangsa yang mempunyai kaitan kesejarahan dengan sastra bangsa lain, bagaimana terjalin proses saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, apa yang telah diambil suatu sastra dan apa pula yang telah disumbangkannya.
Kedua syi’ir tersebut akan kami teliti dengan metode sastra bandingan yaitu membandingkan unsur-unsur syi’ir (Burdah) madh kepada Nabi Muhammad SAW karya al Busyairi dengan syi’ir madh kepada raja Sholih karya Sofiudin al Hilli, sehingga akan tampak bagaimana perbedaan serta persamaan rasa, gagasan, imajinasi, dan bentuk bahasa kedua pengarang dalam penggambaran orang-orang yang dikaguminya.
Penelitian di sini diharapkan mampu memberikan pengetahuan kita tentang bagaimana seorang penyair mengemas rasa, pikiran gagasan, dan bahasa sehingga menjadi sebuah karya yang ditujukan orang-orang yang dikaguminya, selain untuk menambah lebih banyak pengetahuan kita tentang syi’ir-syi’ir masa keruntuhan Daulah Abasiyah. Karena bagaimanapun, pada masa itu berlangsung carut marut peperangan antara daulah Abasyiah mengahadapi orang-orang mongol yang dipimpin oleh Jengis Khan, yang akhirnya kemenangan diraih bangsa Mongol.
II. Rumusan Masalah
1. Bagaimana unsur-unsur syi’ir (Burdah) madh kepada Nabi Muhammad SAW karya al Busyairi?
2. Bagaimana unsur-unsur syi’ir madh kepada raja Sholih karya Sofiudin al Hilli?
3. Apa persamaan dan berbedaan unsur-unsur syi’ir madh kepada Nabi Muhammad SAW karya al Busyairi dengan syi’ir madh kepada raja Sholih karya Sofiudin al Hilli?
III. Tujuan Masalah Penelitian
1. Mengetahui unsur-unsur syi’ir madh kepada Nabi Muhammad SAW karya al Busyairi.
2. Mengetahui unsur-unsur pada syi’ir madh kepada raja Sholih karya Sofiudin al Hilli.
3. Mengetahui persamaan dan berbedaan unsur-unsur syi’ir madh kepada Nabi Muhammad SAW karya al Busyairi dengan syi’ir madh kepada raja Sholih karya Sofiudin al Hilli.
IV. Manfaat Penelitian
Dengan penelitian ini diharapkan mampu mengetahui kedalaman dalam memahami karya sastra. Begitu juga sebagai pelatihan penelitian yang dapat memperluas wawasan penulis maupun pembaca dalam hal kesusastraan.
V. Metodologi Penelitian
1. Obyek penelitian
Obyek yang digunakan pada penelitian sastra ini adalah syi’ir madh kepada Nabi Muhammad SAW karya al Busyairi dengan syi’ir madh kepada raja Sholih karya Sofiudin al Hilli.
2. Metode pengumpulan data.
Untuk pengumpulan data peneliti menggunakan data-data dalam kedua syi’ir tersebut yang berhubungan dan diperlukan sebagai data-data penelitian.
3. Metode penelitian
Penelitian perbandingan ini menggunakan penelitian perpustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan di kamar kerja peneliti atau di ruang perepustakaan dimana peneliti memperoleh data dan inforamasi tentang obyek penelitiannya lewat buku-buku atau alat-alat audio visual lainya. Adapun metode kerja pada penelitian ini menggunakan metode komparatif deskriptif yaitu membandingkan dengan menjabarkan unsur-unsurnya.
Langkah-langkah yang kami tempuh dalam penelitian ini adalah menganalisa unsur-unsur per-syi’ir meliputi 1.) Rasa (athifah), 2) imajinasi (al-Khoyal), 3) gagasan (al-fikroh), 4) Bentuk (Shurah)., setelah unsur-unsur keduanya diketahui, kita akan membandingkan dan mencari perbedaan serta kesamaan unsur-unsur kedua syi’ir tersebut.
A. Unsur-Unsur Karya Sastra
Dalam kajian sastra Arab disebutkan bahwa sebuah ungkapan dapat dikategorikan sebagai karya sastra, baik genre syair maupun genre prosa, apabila memenuhi empat unsur, yaitu 1.) Rasa (athifah), 2) imajinasi (al-Khoyal), 3) gagasan (al-fikroh), 4) Bentuk (Shurah). Ada yang menyebut al-fikrah dengan istilah tema (al-ma’na) dan surah dengan gaya bahasa (al-uslub).
1. Rasa (athifah)
Ada dua istilah yang oleh para satrawan sering kali disamakan dengan rasa, yaitu feeling ad emosi. Feeling adalah sikap sang penyair terhadap pokok permasalahan atau objeknya (Henry Guntur Tarigan;1993:11). Sedangkan emosi adalah keadaan bathin yang kuat, yang memperlihatkan kegembiraan, kesedihan, keharuan, atau keberanian yang bersifat subyektif (Syamsir Arifin: 1991; 40). Menurut A.Syayib pengertian emosi inilah yang memiliki kesamaan dengan pengertian rasa sastra.
2. Imajinasi (al-Khoyal)
Imajinasi adalah kemampuan menciptakan citra dalam angan-angan atau pikran tentang sesuatu yang tidak diserap oleh panca indra atau yang belum pernah dialami dalam kenyataan (Panuti Sudjiman; 1990: 36). Dalam karya satra imajinasi merupakan unsur yang sangat penting. Ia dapatr membantu sastrawan merekam peristiwa yang telah berlalu dan yang akan datang. Andaikata tidak ada imajinasi, niscaya kehidupan manusia menjadi miskin (M. Abd Al-Mun’im Khafaji: 1995; 52). Imajinasi tidaklah sama dengan realitas sesungguhnya, walaupun ia tetap berpangkal pada kenyataan dan pengalaman. Oleh karena itu, sastra tidak terikat oleh kenyataan, kebenaran dan kedustaan. Maksudnya, bukan berarti sastra tidak dapat merealisasikan kenyataan, karena hal itu memang bukan tujuan sastra. Jadi, sastra merupakan perasaan yang tidak mengungkapkan kenyataan, kebatilan, kebenaran, dan kedustaan. Inilah yang membedakan karya sastra dengan ilmu pengetahuan lainnya (Syauqi Dhaif: t.t:11).
3. Gagasan (Fikrah)
Pada umumnya, gagasan dalam karya sastra banyak dipengaruhi faktor-faktor yang ada di luar, misalnya keadaan sosial, perkembangan politik, budaya, dan juga diwarnai oleh faktor Psikologi pengarang. Dengan demikian, terdapat hubungan timbal balik antara peristiwa sejarah dengan gagasan yang dituangkan. Yang dimaksud dengan hubiungan timbal balik di sini adalah sastrawan yang mengangkat kehidupan sosial masyarakat sebagai bahan penciptaan, dan karya sastra yang diciptakan mampu menggambarkan kembali kehidupan sosial masyarakat kepada masyarakat pembaca, serta memberikan sikap atau penilaian terhadapnya (Aminudin; 2000: 197).
4. Bentuk (shurah)
Ahmad As-Syayib mendefinisikan bentuk merupakan sarana utama bagi seorang sastrawan untuk mengungkapkan pikiran dan imajinasinya kepada pembaca dan pendengar sastra. Yang dimaksud sarana dalam definisi ini adalah struktur fisik sastra yang tergambar dalam bentuk bahasa. Sedangkan pkiran dan makna merupakan struktur batin. Pikiran, makna, dan pesan yang terkandung dalam karya sastra merupakan tujuan, sedangkan perasaan yang tergambar dalam imajinasi merupakan sarana untuk membangkitkan keindahan dan kekuatan pikiran.
Dalam bentuk karya khususnya Syi’ir Arab, yang perlu diteliti adalah perumpamaan (Tasybih) pemilihan kata (Diksi), Bahr atau nada syi’ir yang digunakan, dan juga huruf qawafi pada akhir bait.
Sebelum melakukan analisa ada baiknya kita membaca dan mencermati dua puisi tersebut.
Syi'ir al-Busyairi dalam Burdah:
وقال البشيري في البردة يمدحه النبي محمد صلى الله عليه وسلم:
محمد
سيد الكونين والثقلين # والفريقين من عرب ومن عجم
Nabi Muhammad adalah pengguhulu dua alam (Dunia dan akhirat)
Penghulu jin dan manusia, penghulu dua jenis bangsa (arab dan ajam)
فهو
الذي تم معناه وصورته # ثم اصطفاه حبيبا بارئ النسـم
Nabi Muhammad telah sempurna makna serta rupanya
Kemudian Tuhan pencipta makhuk memilihnya menjadi kekasihNya
منزه
عن شريك في محاسنه # وجوهر الحسن فيه غير منقسم
Tidak seorangpun dapat menyamainya dalam keindahan dan kebaikannya
Permata indah itu hanya pada dirinya dan tidak terbagi pada yang lainnya
اعيا
الورى فهم معنا فليس يرى # للقرب والبعد منه غير منفحم
Tidak suatu makhlukpun yang mengerti akan hakikat beliau (karena besarnya kecintaan beliau kepada kami) sehingga setiap orang yang jauh maupun dekat mengagumi beliau
كالشمس
نظهر للعينين من بعد # صغيرة وتكل الطرف من امـم
Seperti matahari yang kelihatannya kecil dari jauh oleh dua mata
Tapi tidak ada mata yang tidak silau memandanginya
وكيف
يدرك في الدنيا حقيقته # قوم نيام تسلوا عنه بالحلـم
Bagaimana akan mengerti hakikat beliau di dunia ini
Bagi orang-orang yang menikmati tidur tenggelam dalam mimpi
فمبلغ
العلم فيه انه بشــر # وانه خير خلـق الله كلهـم
Memang dari sudut pandang lahir, beliau adalah seorang manusia
Tapi dari sudut makna, beliau adalah makhluk pilihan.
Syi'ir Shofiyyudin al-Hilli:
قال
صفي الدين الحلي من قصيدة نحرض فيها السلطان الصالح على الإحتراز من المغول
، ويمدحه
لا
يمتطي المجد من لم يركب الخطرا # ولا ينال العلا مـن قـدم الحـذرا
Seseorang tidak akan mendapat keagungan tanpa mengarungi mara bahaya
Dan seseorang tak akan mendapatkan kemuliaan jika mengedepankan ketakutan
ومن
أراد العلا عفوا بـلا تعـب # قضى ولم يقض من إدراكها وطـرا
Orang yang mengharapkan kemuliaan tidak akan pernah mendapatinya tanpa kelelahan
Dan tidak akan pernah memperoleh harapannya tanpa berusaha
لا
بد للشهد مـن نحـل يمنعـه # لا يجـني النفع من لم يحمل الضررا
Orang-orang akan selalu mengikat dirinya dengan rindu meskipun mati memisahkannya
Mereka tidak akan bisa mendekati para pasukan tanpa mengetahui pemimpinnya
وأحزم
الناس من لو مات من ظمأ # لا يقرب الورد حتى يعرف الصدرا
Dan yang paling dicintai manusia adalah mati karena kehausan, dia tidak akan mendekati mawar itu sampai dia tahu dadanya
وأعزر
الناس عقـلا من إذا نظرت # عيناه أمرا، غـدا بالغير معتبـرا
Orang-orang akan memuliakan akal jika mereka melihat persoalan
Dan esok akan menjadi ternama dari sesamanya
فقد
يقال عثار الرجل ان عـثرت # ولا يقال عثــار الرأي إن عثرا
Seseorang akan dikatakan hina apabila ia berbuat hina
Namun tidak akan dikatakan hina apabila hina dalam berpendapat
ولا
ينال العلا إلا فني شرفـت #
خلاله فأطاع الدهـر ماأمـرا
Seseorang tidak mendapatkan kehormatan tanpa memperoleh kebaikan
Maka tunduk dengan masa apa yang dipimpinnya
كالصالح الملك
المرهوب سطوته #
فلو توعد قلب الدرلا نفـطـرا
Sebagaimana raja Sholeh yang ditakuti kebesarannya
Jika hati beliau sudah berjanji, maka tak akan mengingkarinya
كالبحر
والدهر في يومي ندى وردى # والليث والغيث في يومي وغى وقرى
Laksana sungai besar dan waktu yang menyapa dan pergi dalam hariku
Dan tumbuhan yang rimbun serta hujan yang gaduh dan menggenang
لاموه
في بذله الأموال قلت لهــم # هل تقدر السحب ألا ترسل المطرا
Besarnya dalam mendermakan hartanya hingga dikatakan oleh mereka
Tidakkah ditakdirkan awan kecuali untuk mengirimkan hujan
Dari segi athifah atau rasa, secara ringkas kedua syi’ir tersebut kami uraikan sebagai berikut:
Syi’ir Madh Al-Busyairi:
Rasa ditekankan pada kekaguman sang penyair pada jiwa dan raga Nabi Muhammad SAW, bahwa beliau adalah makhluk pilihan Allah SWT. Karena ini merupakan syi’ir madh, maka rasa sastra yang terungkap adalah kekaguman yang dituliskan lewat pujian-pujian.
Syi’ir Madh Sofiudin Al-Hilli:
Rasa ditekankan pada kekaguman sang penyair pada ketegaran Raja Sholeh dalam segala urusan. Terutama penyair terkagum-kagum dengan ketepatan beliau dalam mendermakan hartanya. Rasa sastra kekaguman, akan menjadi modal untuk pengarang sebagai bahan syi’ir-syi’ir madh.
Dari segi khayal atau imajinasi, secara ringkas kedua syi’ir tersebut kami uraikan sebagai berikut:
Syi’ir Madh Al-Busyairi:
Unsur imajinasi syi’ir tersebut dapat kita ketahui melalui perumpamaan-perumpamaan yang digunakan yaitu berkisar tentang fenomena alam. Lebih jelasnya akan dijelaskan dalam penguraian tentang tata bahasa.
Syi’ir Madh Sofiudin Al-Hilli:
Unsur imajinasi syi’ir tersebut dapat kita ketahui melalui perumpamaan-perumpamaan yang digunakan yaitu berkisar tentang fenomena alam. Lebih jelasnya akan dijelaskan dalam penguraian tentang tata bahasa.
Dari segi fikrah atau gagasan, secara ringkas kedua syi’ir tersebut kita uraikan sebagai berikut:
Syi’ir Madh Al-Busyairi:
Syair bertemakan tentang pujian kepada Nabi Besar Muhammad SAW, gagasan pada syair tersebut mengungkapkan keagungan akhlak Nabi Muhammad SAW dan kebesaran beliau sebagai seorang pemimpin dua jenis makhluk, manusia dan jin. Seperti tercermin bada bait:
Nabi Muhammad adalah pengguhulu dua alam (Dunia dan akhirat)
Penghulu jin dan manusia, penghulu dua jenis bangsa (Arab dan non Arab)
Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi Muhammad SAW memang ada untuk seluruh umat, tidak hanya orang Islam dan Arab saja, tapi seluruh manusia, dan juga jin.
Syi’ir Madh Sofiudin Al-Hilli:
Syair bertemakan tentang pujian kepada Raja Sholih, gagasan pada syair tersebut mengungkapkan tentang ketegaran beliau dalam memimpin dan kedermawanannya dalam mendermakan hartanya. Seperti tercermin pada bait:
Sebagaimana raja Sholeh yang ditakuti kebesarannya
Seorang raja, pastilah memiliki kharisma dan kekuatan yang besar, karena ia memimpin rakyatnya dan bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada rakyatnya.
Dari segi shurah atau bentuk, secara ringkas kedua syi’ir tersebut kami uraikan sebagai berikut:
Syi’ir Madh Al-Busyairi:
1. Tasybih (perumpamaan) beserta pemilihan kata:
Dalam syi’ir al-Busyairi di atas terdapat satu tasybih yang memuji keagungan Nabi besar Muhammad SAW. Adapun rincian tasybih sebagai berikut:
للقرب والبعد منه غير منفحم اعيا الورى فهم معنا
فليس يرى
كالشمس نظهر للعينين من بعد صغيرة وتكل الطرف من امـم
اعيا الورى فهم معنا فليس يرى للقرب والبعد منه غير منفحم = مشبه
الشمس نظهر للعينين من بعد صغيرة وتكل الطرف من امـم = مشبه به
كـ = أدة التشبه
Tasybih di atas disebut juga tasbih tamtsil yaitu tasybih dengan musyabah bih-nya terdiri dari jumlah. Dalam mengibaratkan keagungan baginda Nabi Muhammad SAW, al-Busyiri menggunakan matahari sebagai bandingannya. Matahari, selalu terang benerang. Kalau kita lihat tampak kecil, namun sinarnya membuat mata kita tak mampu menatap lama-lama. Dan dimanapun manusia berada pasti dapat melihat sinar matahari yang terang tersebut. Matahari juga sebagai sumber kehidupan di dunia. Tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia akan mati tanpa matahari.
Kurang lebih begitulah yang diinginkan al-Busyairi dalam tasybih madh-nya. Nabi Muhammad sebagai manusia termulia dan semua orang mengaguminya, di dekat maupun di jauh dari beliau. Nabi Muhammad rasul, penutup para Nabi tidak hanya mempunyai tanggung jawab terhadap umat Islam saja, tapi kepada seluruh umat manusia.
2. Arud dan qowafi
Menggunakan Bahr Basith, yaitu mengikuti wazan
مستفعلن فاعلن مستفعلن فاعلن
Sedangkan huruf qafiahnya menggunakan Arrawi yaitu haruf yang diciptakan pada akhir syi’ir dan dinisbatkan kepadanya. Karena menggunakan huruf mim, disebut juga dengan Arrawi mimiyah.
Syi’ir Madh Sofiudin Al-Hilli:
1. Tasybih (perumpamaan) beserta pemilihan kata:
Pada syi’ir di atas terdapat dua tasybih yang digunakan Shofiudin al-Hilli untuk memuji raja Sholeh. Ketiga tasybih tersebut akan kami uraikan sebagai berikut:
فلو توعد قلب الدرلا نفـطـرا كالصالح الملك المرهوب
سطوته
والليث والغيث في يومي وغى وقرى كالبحر والدهر في يومي ندى وردى
الصالح الملك المرهوب سطوته = مشبه
البحر والدهر في يومي ندى وردى والليث والغيث في يومي وغى وقرى = مشبه
به
كـ = أدة التشبيه
فلو توعد قلب الدرلا نفـطـرا = وجه الشبه
Tasybih di atas disebut juga dengan tasybih tamtsil yaitu apabila musyabbah bih terdiri dari jumlah. Adapun karakter tasybih di sini menggunakan fenomena alam dalam mengumpamakan keagungan raja Sholeh. Kata-kata sungai, waktu, rimbunan pohon-pohon, dan hujan menjadikan seolah-olah raja Sholeh memberi kesejahteraan bagi rakyatnya, sebagaimana sungai, rimbunan pohon, serta hujan yang menumbuhkan biji-bijian kemudian berbuah dan dinikmati manusia.
هل تقدر السحب ألا ترسل المطرا لاموه في بذله الأموال قلت لهــم
ضمر "ه" في لاموه تقدره الصالح = مشبه
تقدر السحب ألا ترسل المطرا = مشبه به
في بذل الأموال = وجه الشبه
Tasybih di atas juga disebut tasybih tamtsil karena musyabbah bih terdiri dari jumlah. Karakter tasybih di atas juga menggunakan fenomena alam untuk mengibaratkan besarnya harta raja Sholeh yang didermakan untuk kesejahterakan rakyatnya. Kata awan yang mengirimkan hujan telah mewakili kedermawanan raja Sholeh yang selalu mendermakan hartanya
2. Arud dan qowafi
Menggunakan Bahr Basith, yaitu mengikuti wazan
مستفعلن فاعلن مستفعلن فاعلن
Sedangkan dari segi huruf qafiahnya menggunakan al-Washlu, yaitu mad atau ha’ kasroh yang memanjangkan arrawi.
1. Unsur-Unsur syi’ir madh dalam qosidah burdah karya al-Busyairi, sebagai berikut:
dari segi 1.) Rasa (athifah) ditekankan pada kekaguman sang penyair pada jiwa dan raga Nabi Muhammad SAW. 2) imajinasi (al-Khoyal), syi’ir tersebut dapat kita ketahui melalui perumpamaan-perumpamaan yang digunakan yaitu berkisar tentang fenomena alam. 3) gagasan (al-fikroh), gagasan pada syair tersebut mengungkapkan keagungan akhlak Nabi Muhammad SAW dan kebesaran beliau sebagai seorang pemimpin dua jenis makhluk, manusia dan jin. 4) Bentuk (Shurah), terdapat satu tasbih, yaitu tasybih tamsil. Huruf qowafinya arrawi mimiyah, menggunakan bahr basith.
2. Unsur-unsur syi’ir madh kepada Raja Sholeh karya Shofiudin al-Hilli, sebagai berikut:
dari segi 1.) Rasa (athifah), Rasa ditekankan pada kekaguman sang penyair pada ketegaran Raja Sholeh dalam segala urusan. Terutama penyair terkagum-kagum dengan ketepatan beliau dalam mendermakan hartanya. 2) imajinasi (al-Khoyal), Unsur imajinasi syi’ir tersebut dapat kita ketahui melalui perumpamaan-perumpamaan yang digunakan yaitu berkisar tentang fenomena alam. 3) gagasan (al-fikroh), gagasan pada syair tersebut mengungkapkan tentang ketegaran beliau dalam memimpin dan kedermawanannya dalam mendermakan hartanya 4) Bentuk (Shurah), terdapat dua tasybih yang keduanya merupakan tasbih tamsil, huruf qawafinya Al-waslu, menggunakan bahr basith.
3. Persamaan dan berbedaan unsur-unsur kedua syi’ir sebagai berikut:
a. Persamaan Unsur-unsur keduanya adalah
sama-sama menggunakan fenomena alam dalam hal berimajinasi, yaitu untuk
mengungkapkan keagungan. Menggunakan alam yang berperan sebagai sumber
kehidupan di dunia. Bahr yang digunakan juga sama, menggunakan bahr basith.
b. Adapun perbedaannya adalah pada fikrah atau gagasan al-Busyiri kepada Nabi Muhammad dengan rasa lebih kuat yaitu dengan menggunakan ibarat matahari sebagai ibarat kebesaran Nabi Muhammad, yang mana matahari lingkup jangkauan sinarnya lebih luas dan lebih banyak orang yang menerimanya. Sedangkan Shofiudin al-Hilli gagasan tertumpu pada pujian pada Raja Sholih dengan megibaratkan ketegaran Raja Sholih saat berjanji dengan rasa menggunakan sungai dan waktu yang selalu mengalir tanpa ragu sebagai pengibaratan ketegaran beliau, juga dalam kedermawanannya diibaratkan dengan awan yang selalu mengucurkan hujan. Sederas aliran sungai, sederas hujan namun yang merasakan hanya sekitar itu saja, dalam artian lingkup sekitar aliran sungai maupun hujan itu. Lain dengan matahari yang sinarnya menembus segala celah selama ia tidak terhalangi sesuatu, dalam hal ini sara syi’ir (burdah) madh pada Nabi Muhammad SAW karya al-Busyairi lebih kuat dari pada sara syi’ir madh pada raja Sholih karya Shofiudin al-Hilli. Perbedaan juga tampak pada penggunaan huruf qawafi antara keduanya.
Akhmad Kholasi, Taysir Balaghah (Madinah; Thob’ah tsaniyah mazidah wamunhaqomah; 1995)
Akhmad Muzzaki, Kesusastraan arab, pengantar teori dan terapan (Jogjakarta; Ar-Ruzz Media jogjakarta, 2006)
Sapardi Djoko Darmono, Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. (Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional Pusat Bahasa, 2005)
Ponpes Ploso Kediri, al-arudh wal Qowafi (Kediri; Penerbin Ponpes Ploso, tanpa tahun)
Yunus ali al Mudar dan Bey Arifin, Sejarah Kesusastraan Arab (Surabaya: pt. Bina Ilmu, 1983)