Cerpen Mochammad Faizun
Dua tahun lalu samping rumahku didirikan sebuah kios yang cukup besar. Dulu sebelum di bangun, tanah ukuran 7x9 m itu menjadi tempat bermain yang menyenangkan. Beberapa pohon pisang yang berderet di tepinya menjadikan suasana petak tanah itu sejuk sekali. Aku dan teman-teman bermain perang-perangan. Satu kelompok membawa senapan pelepah pisang sebagai Belanda, dan kelompok lain membawa ketapel sebagai orang Indonesia. Kami saling menyelinap dan menembak di antara pepohonan pisang.
Pernah juga kami mendirikan tenda alam di dalamnya. Batang pohon ketela kami tancapkan ke tanah, lalu kami selimuti dengan dedaunan. Kemudian kami nyalakan api unggun di dekatnya dengan beberapa buah singkong yang aromanya mengejek perut kecil kami.
Setelah dibangun kios kami tidak merasa kehilangan tempat bermain, karena kami sudah besar sekarang. Dan membangun kios lebih baik, karena selain untuk belajar mengolah usaha juga untuk menambah pendapatan keluarga.
Namun setelah kios jadi hingga beberapa bulan belum terisi juga. Rencananya akan kami buat jualan peralatan sekolah dan foto copy, belum lagi terlaksana, ganti akan kami buat jualan baju, kemudian ganti lagi akan kami sewakan untuk agen air minum dalam kemasan.
Semua itu hanya rencana belaka karena modal usaha belum juga cukup. Kata orang kalau mendirikan usaha yang besar sekalian. Kalau mendirikan toko yang lengkap sekalian. Karena sekali orang berbelanja dan mengetahui kelengkapan toko, besok pasti ia kembali berbelanja lagi. Seletah dihitung-hitung bapak ternyata perlu modal minimal 50 juta. Uang dari mana?
Beberapa bulan kios itu kosong kelontang hanya udara lembab mengisi ruangan. Pada saat pemugaran balai desa, kios itu bermanfaat juga. Senam ibu-ibu setiap sabtu sore yang biasa dilakukan di balai desa dipindahkan ke kios itu. Tiap tembok kios diberi cermin sehingga setiap gerakan terlihat oleh masing-masing peserta senam. Setelah selesai pemugaran, senam kembali ke balai desa.
“Pak, apa kios anda mau disewakan!” aku dengar percakapan tamu dengan bapakku.
“Memangnya ada yang mau nyewa?”. Bapak ganti bertanya.
“Iya. Koperasi simpan pinjam yang di depan pasar kontraknya sudah habis. Bos suruh mencarikan tempat sekitar sini.”
“Oh ya. Beneran!” bapakku gembira sekali. “Biasanya setahun berapa?”.
“Kemarin sewaktu di depan pasar setahun 4 juta. Tapi tergantung ruangannya.”
Lalu mereka berjalan menuju kios itu untuk melihat-lihat, dan tawaran akhir tamu tersebut setahun 5 juta.
“Ya, saya musyawarahkan dulu dengan keluarga.” Bapak menutup pembicarannya.
Malam harinya kami sekeluarga setelah makan malam rapat kecil-kecilan. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya kami setuju kios itu untuk sementara disewakan selama lima tahun.
“Ya, dari pada tidak dipakai. Lima tahun lagi mungkin cukup untuk mengumpulkan modal membuka usaha baru.” Sebuah alasan logis dari bapak.
Setelah terjadi kesepakatan, salah satu pojok ruangan kios dibangun kamar mandi dan WC kecil untuk memudahkan pegawai atau para pelanggan koperasi ingin buang hajat. Satu buah meja besar melingkar hampir memenuhi ruangan didatangkan oleh pemilik koperasi. Kursi-kursi ditata, dan sebuah radio besar menjadi furnitur yang indah.
Sebelum koperasi diresmikan dan dibuka, pemilik koperasi mengundang warga sekitar untuk selamatan. Dan aku baru tahu saat itu kalau yang punya koperasi warga Tionghoa. Lucu juga, seorang Tionghoa mengadakan kenduri bersama. Warga sekitar turut senang juga.
Setelah resmi dibuka, kios kami tak pernah sepi dari pengunjung. Dua gadis cantik menjadi pegawai yang selalu stanby di koperasi itu. Pertama kali aku malu-malu untuk mengenalnya. Tapi lambat laun kami pun semakin akrab dan sering bercanda.
Satu bulan setelah koperasi dibuka kami turut merasa senang. Kios depan rumah kami tak pernah sepi. Kami tak perlu cemas kalau ada maling yang berani menyusup ke dalam rumah. Kami pun sering meninggalkan rumah tanpa mengunci pintu. Orang-orang yang bersilih berganti ke koperasi lebih baik dari satpam di pos jaga.
Namun, semua itu tak lama. Setelah dua bulan berjalan hatiku menjadi risih. Diam-diam aku sering mengintip dari cendela, orang-orang yang berdatangan ke koperasi berwajah muram dan gelisah. Muka mereka pasti kecut. Apa lagi kalau antrean agak panjang beberapa orang duduk di kursi depan rumahku, jelas sekali raut wajah mereka yang susah. Lama-lama aku terbawa kemurungan mereka. Semua yang datang orang-orang yang bermasalah dengan uang.
“Lho, pak Fandi!” aku menyapa bapak temenku yang lagi mengesek-esek nomor mesin motornya dengan kertas dan pensil.
“Oh, nak Ridwan.” Ia menjawab tanpa ekspresi.
“Motornya mau diapakan, pak?” aku bertanya. Sering aku melihat para pengunjung melakukan seperti yang dilakukan pak Fandi.
“Ini, mau dicairkan.”
Aku bingung. Dicairkan.
“Dicairkan gimana, pak.”
“Nak Ridwan belum ngerti ta? Kalau mau hutang koperasi harus pake jaminan BPKB (Buku Pemilik Kendaraan Bermotor). Nah, duplikat nomor mesin ini dicocokkan dengan nomor BPKB baru uangnya bisa keluar menyesuaikan harga motor dan kondisinya”
“Oo, begitu ya pak.”
“Iya. Nanti kalau tidak sanggup membayar motor ini diambil koperasi dan di aji kerta atau dihitung nilainya untuk melunasi hutang tersebut.”
“Wah, berarti sama dengan pembelian paksa!”
“Iya. Dan dengan harga sangat murah tentunya.”
Dari percakapan dengan pak Fandi aku jadi mengerti teknis peminjaman uang ke koperasi tersebut. Boleh juga. Kapan-kapan aku bisa mencairkan vespa kesayanganku itu. Aku bergumam dalam hati.
Suatu hari paling menegangkan. Bapak ibu dan anak-anaknya mendatangi koperasi dengan linangan air mata. Si anak menjerit-jerit menangis. Mata kedua orang tua sembab memerah. Aku ingin mengetahui permasalahan. Vespa serta beberapa peralatan bengkel aku keluarkan. Aku pura-pura memperbaiki vespa di depan rumah. Dari halaman terdengar jelas percakapan yang ada di dalam kios.
“Mbak, tolong beri waktu kami beberapa hari lagi!”
“Bapak ini bagaimana! Kami sudah beri waktu satu bulan tapi belum juga dibayar. Satu bulan itu sudah kesabaran kami. Maaf tidak bisa.” Pegawai cewek berkata dengan keras. Aku jadi sedikit benci.
“Non, lihatlah kami. Kalau rumah itu disita kami akan tinggal dimana?”
“Saya sebenarnya juga kasihan dengan ibu. Tapi saya di sini cuma sebagai mesin. Seperti alat mati saja. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Karena kewenangan ada ditangan bos. Saya hanya menjalankan kewajiban saya.”
“Tolonglah non, bujuk bos biar menanggungkan penyitaan beberapa hari saja.”
“Saya tidak berani. Bapak ibu sudah banyak menyusahkan kami. Kami sering kena damprat bos gara-gara punya klien seperti bapak ibu ini. Maaf, saya tidak bisa bu.”
Bapak ibu itu menagis dengan tersedu-sedu. Menyita rumah. Apa sertifikat tanah juga bisa dicairkan. Mungkin saja. Aku pura-pura berjalan melewati depan kios. Aku lihat seorang ibu bermuka kusut dengan mata terjembab airmata duduk bersandar di tembok menggendong anaknya. Sedang seorang bapak bertatap muka dengan pegawai itu.
Oh, itu bukannya pak Kadirun, kakak dari istri pamanku. Gila, itu masih saudaraku. Dalam pikiranku berkecimuk. Apa yang bisa aku lakukan! Aku segera berlari ke dapur memenggil ibu dan menerangkan ihwal kejadian itu.
Ibu dan aku segera menemui pak Kadirun di kios itu. Kami berbincang-bincang. Ternyata hutang pak Kadirun 10 Juta.
“Buat apa bu uang sebesar itu?” ibuku bertanya.
“Dulu kami buka usaha baru jualan baju di pasar. Pertama usaha kami laku, tapi kemudian banyak orang yang hutang. Kami tidak merasa, sepertinya jualan kami laris manis tapi ternyata hanya beberapa yang membayar saja. Lalu kami bangkrut habis-habisan.”
Raut muka ibuku turut bersedih. Ia ajak keluarga pak Kadirun masuk ke dalam rumah kami. Menunggu bapak pulang.
Setelah bapak pulang kami berunding dan akhirnya sementara kami ambilkan uang tabungan untuk membantu pak kadirun. Pak Kadirun berterimakasih tiada henti. Aku jadi sedikit bangga, secara tidak langsung juga turut menyelamatkan keluarga pak Kadirun. Sertifikat tanah pak Kadirun dibebaskan.
Beberapa hari kemudian tetanggaku datang ke koperasi dengan mata terjembab airnya. Ia membawa motor satu-satunya untuk diserahkan ke koperasi. Dengan kasus sama, tidak mampu membayar tagihan.
“Motor ini satu-satunya tulang punggung keluarga kami. Tanpa motor ini saya tidak bisa berjualan sayuran keliling kampung. Lalu mau makan apa anak-anak!”
Aku segera berlari untuk menemui ibu yang sedang menyulam kain. Aku jelaskan duduk permasalahannya. Ibu mengajak tetanggaku itu masuk ke dalam rumah. Menunggu bapak pulang.
Setelah bapak pulang kami bermusyawarah. Akhirnya untuk sementara tanggungan tetanggaku dibayar bapak. Diambilkan dari gajinya awal bulan ini. Motornya tidak jadi disita dan tetanggaku bisa jualan lagi memenuhi nafkah keluarganya.
“Untuk sementara kita makan sederhana saja. Karena uang kita hanya cukup untuk kebutuhan belanja dapur. Bulan ini kita harus hemat.” Bapakku berpesan. Aku dan ibu mengangguk-angguk sepakat.
Beberapa kali hal itu terjadi berulang. Beberapa orang sudah berani menyatakan mau hutang uang kepada keluarga kami.
“Hutang di koperasi sebelah bunganya sangat tinggi. Lebih baik saya pinjam pada bapak untuk usaha saya.” Itulah alasan yang selalu diutarakan orang-orang saat datang ke rumah kami.
Untuk orang lain bapak masih bisa menolak. Tapi kalau sudah berhadapan dengan saudara atau tetangga kami tak bisa apa-apa lagi. Vespaku terjual untuk menolong orang. Keuangan keluarga kami semakin runyam. Banyak kekurangan di sana-sini.
“Sudah. Saya sudah tidak kuat lagi seperti ini.” Bapakku berkata keras. “Rid, kamu tulis besar-besar di depan rumah MAAF, TIDAK MENERIMA PINJAM UANG. Yang besar sekali. Biar gak ada yang ke sini lagi.”
Perintah bapak aku kerjakan dengan baik. Aku buat papan besar dari triplek bekas dengan tulisan besar sekali berwarna merah. Warna merah untuk menandakan amarah menyala-nyala.
“Sudah, sekarang kamu tagih semua uang yang ada di orang-orang. Kamu tagihi semua. Sudah berbulan bulan mereka belum mengembalikan.” Bapakku berkata geram.
Perintah aku laksanakan. Rumah per rumah aku hampiri. Sebuah rumah terdengar suara musik keras sekali. Aku salam. Tapi tidak kedengaran. Aku berteriak. Tidak ada jawaban. Musik terlalu bising. Aku gedor-gedor pintu sambil salam berteriak. Seorang keluar. Musik dimatikan. Aku utarakan maksud kedatanganku, tiba-tiba saja wajahnya murung dan sedih.
“Kami masih berusaha untuk mengembalikan uang bapakmu. Tapi sampai saat ini masih cukup untuk makan sehari-hari. Kalau kami sudah punya lebih saya akan mengembalikan sendiri ke rumah kamu. Maaf sekali ya.”
Aku keluar dengan kecut. Mau marah, apa yang dimarahi. Bukankah ia bilang belum punya uang. Mau apa lagi! Kalau teringat musik keras itu ingin aku membanting tape-nya.
Sebuah rumah aku datangi. Pintu tertutup. Aku coba tengok lewat pintu samping. Terlihat lima potong ayam goreng di meja makan. Selain itu ada sayur mayur, macam-macam buah dan banyak lagi. Air liurku hampir menetes. Aku hanya sarapan nasi pecel lauk tempe.
Aku salam. Seorang keluar dengan tangan penuh sabun. Rupanya sedang mencuci di belakang. Lalu aku dipersilahkan ke ruang tamu. Lumayan mewah kursi dengan kayu akar, dan hiasan dinding lukisan-lukisan indah, pasti tidak murah.
Aku utarakan maksud kedatanganku. Tiba-tiba orang itu murung, sedih.
“Sudah tiga hari ini si anak sakit. Sebenarnya kami sudah mau mengambalikan uang itu, tapi kami gunakan dulu untuk ke dokter. Maaf ya nak. Kalau sudah ada pasti kami akan mengembalikannya.”
Aku keluar dengan ciut. Bagaimana lagi. Anaknya sakit. Mau marah. Memarahi Tuhan dong! Kalau aku teringat lima potong ayam itu geram sekali. Tidak punya uang tapi makannya enak-enak. Aku hampir mau kembali untuk nyolong ikan itu. Orangnya kan sedang mencuci, pasti tidak akan ketahuan. Niat itu segera aku injak-injak, aku buang jauh-jauh.
Setiap rumah yang aku singgahi semua seperti itu. Tak jauh beda. Anak sakit, baru kecelakaan, belum punya uang, dan banyak alasan lain. Bapakku hanya memicing-micingkan matanya saat aku bercerita. Aku setiap minggu berkeliling ke rumah saudara dan tetangga. Bapak sendiri tidak mungkin menagihi hutang pada mereka. Hasilnya tetap nihil. Kosong. Semua berkilah. Mereka semua memang tak punya hati, tidak ingat bagaimana memelasnya waktu meminjam uang pada kami dulu.
Suatu malam yang mendesak kami sekeluarga bermusyawarah. Tak lain adalah karena keuangan keluarga yang serba kekurangan. Uang SPP sekolahku nunggak dua bulan. Uang arisan ibu menunggak tiga bulan. Belum lagi tagihan listrik bulan ini. Akhirnya mencapai satu kesepakatan.
“Yah, besok pagi kita coba cairkan sertifikat tanah rumah ini.” Ungkapan terakhir bapakku sebelum menutup musyawarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar