Ditulis oleh Mochammad Faizun, dengan harapan memberikan motifasi pada anak-anak bangsa untuk rajin belajar dan sekolah. Digarap untuk pementasan anak-anak dengan penonton berbagai kalangan.
Sebuah trotoar dengan sepasang tempat sampah ”kering dan basah” serta terdapat papan rambu dilarang parkir. Di belakang trotoar terdapat pagar tembok penuh coretan-coretan.
Maharani:
(Datang dengan membawa karung berisi sampah-sampah hasil pungutannya, ia bernyanyi serak kemudian menuju tempat sampah untuk memungut barang-barang yang laku didaur ulang)
Mentok... mentok... tak kandani
Mung lakumu angisin-ngisini
Lha mbok ojo ngetok ono kandang wae
Enak-enak ngorok ora nyambut gawe
Mentok... mentok... mung lakumu
Megal-megol gawe guyu...
Waaah, lumayan. Dapet buku (mengambil buku bekas dari sampah) ini baru kejatuhan duren. Orang-orang itu kok begok, hanya karena sampulnya sudah mabul-mabul, sebuah buku dibuang ke tempat sampah. Bayangkan, selama seminggu ini aku sudah dapet 10 buku yang nyasar ke tempat sampah. Entah dibuang atau karena terbuang. Yah semoga saja buku-buku yang ngenes ini tidak sengaja terbuang. (memasukkan buku dalam karung dan memungut kertas-kertas yang ada didalam tempat sampah, kemudian menatanya di lantai)
Sinyo:
(Datang dengan berkipas-kipas uang ribuan sambil bersajak riang)
Kala uang bertebaran
Seperti daun-daun berguguran
Kenapa engkau masih berserakan dengan sampah, Maharani
Bukan kah kita tinggal menggoyangkan ecek ini
Dan cring... cring... cring...
Uang mengalir seperti angin semilir...
Maharani:
Tidakkah kau tau kawan, buah yang paaaling nikmat adalah yang berasal dari pohon kepayahan! (dengan intonasi deklamasi)
Sinyo:
Wah.. wah… Maharaniku, kau pandai juga menggubah kata-kata indah.
Maharani:
Ah, udah. Gombal thok.
Sinyo:
Eh, Maharani, kok mau sih kamu belepotan sampah kayak gitu? Mendingan ikut ngamen aja, baju bersih, tangan bersih. Sampah, sorry lah yau!
Maharani:
Eee... ngamen aja kok dibanggain. Emang, kamu ini besok mau jadi apa?
Sinyo:
Lho gimana sih lo, Maharani. Saya kan punya cita-cita jadi dokter. Spesialis anak. Biar bisa nyuntik kamu. Cuss.. cuss... cuuuusssss.....
Maharani:
Lha wong dokter kok ngamen terus!
Sinyo:
Lha ini dia. Sekarang jamannya krisis dunia. Perusahaan-perusahaan besar pada bangkrut, jutaan karyawan di pecat. Lha orang seperti kita ini tambah gak keduman gawean to. Bapak juga ngamen. Lagian, kamu sendiri tambah gresek sampah itu!?
Maharani:
Tau aja ya, aku ini mulung bukan untuk selamanya. Aku mulung untuk masa depan. (pause). Bingung! Maksudnya aku ini mulung buat cari modal.
Sinyo:
Apa, modal? Mau jualan sampah?
Maharani:
Bentar to, kalau ada orang ngomong jangan dipotong dulu. Maksudnya hasil penjualan kertas-kertas ini duitnya tak tabung, buat jualan jamu. Jamu... jamu... jamune cak Sinyo...
Segelas sewu...
Sinyo:
Memang kamu bisa, bikin jamu?
Maharani:
Alah... alah... wong jowo kok gak bisa bikin jamu. Ya mudah saja.
Beras kencur,
Deplok beras, deplok kencur
Tambah gula jawa, hmm... tambah suegerrrr...
Kunir asem,
Parut kunir, campur asem
Tambah gula jawa, hmm... tambah nafsu makan...
Jamu sambiluto,
Petik daun sambiluta, keringkan, rebus
Hmm.... anti BB alias bau badan.. uenak to...
Sinyo:
alaaaah, ribet banget. Enakan ngamen. Icik-icik cring... icik-icik cring... uang-uang-uaaangggg... bergemerincing…
Maharani:
Ya kalau mau sukses itu harus bekerja keras. Jualan jamu itu pun bukan untuk selamanya. Untuk masa depan! Sebagian uangnya aku tabung, untuk mendirikan kios, setelah kios toko kecil, setelah toko kecil toko besar, aku jadi boss. Selain itu sebagian uangnya aku buat beli buku, sepatu. Aku pengen sekolah tinggi. Biar bapak ibu kita ngamen, kita harus jadi lebih baik. Karena dunia ini semakin maju, kalau jadi pengamen saja kita akan terbelakang. Kita harus jadi orang kaya nan dermawan.
Sinyo:
Aku gak percaya bisa gitu. Sekolah itu mahal, belum buku, seragam, sepatu. Ya nggak mampu lah kita ini.
Maharani:
Coba aku tanya, mm... sehari ngamen dapat berapa?
Sinyo:
Dua puluh ribu
Maharani:
Lho.. lhoo... sehari 20 ribu kok nggak kuat bayar sekolah. Sepuluh ribu untuk makan, sepuluh ribu ditabung. Kalau sehari bisa nabung sepuluh ribu, sepuluh hari jadi berapa?
Sinyo:
Sepuluh ribu kali sepuluh, seratus ribu.
Maharani:
Sebulan ada tiga puluh hari. Berarti kalau sebulan jadi berapa?
Sinyo:
Seratus ribu kali tiga, tiga ratus ribu.
Maharani:
Lah segitu banyaknya, ya jelas bisa buat biaya sekolah to. Seragam dan sepatu itu belinya hanya satu kali selama sekolah. Buku-buku paling enam bulan baru beli lagi. Coba, sekarang kamu ngamen sudah berapa tahun?
Sinyo:
Tiga tahun
Maharani:
Trus, berapa tabunganmu?
Sinyo:
Eng-gak ada. (gigit jari)
Maharani:
Mau jadi dokter kok gak punya tabungan.
Sinyo:
Alah, biarin. Aku jelek-jelek gini ngamen selain untuk cari uang ya untuk berseni, kreatif dan inovatif, dengan nyanyian remah-remah kehidupan.
Maharani:
Wong ngamen pake icik kok kreatif inovatif. Kreatif apanya! Itu lho, pengamen yang kreatif, Mulan Jameela, Peter Pan, Kuburan Band, mereka semua juga ngamen, tapi kreatif. Pakai alat musik bagus, nyanyi dipanggung. Ditonton banyak orang, dapet duitnya juga banyak.
Sinyo:
Nah, itu dia. Ini mah, masih dalam proses. Masih cari modal juga. Modal suara bagus, bermusik bagus. Semua kan berawal dari kecil. Seperti kamu yang jual jamu biar jadi orang kaya, kalau aku dari penyanyi trotoar jadi musisi terkenal. Hehe...
Maharani:
Alah, mboh, ngomong karo kon.
Sinyo:
Sudah ya, waktunya dinas. Tuh, alun-alun sudah rame. Salam pada sampah-sampah yang tergolek lemas itu... dag! (exit)
Maharani:
Ya, salamnya kalau kamu nggak mau sekolah dan belajar bakal jadi sampah juga!
Maharani:
(menimang-nimang karungnya)
Wah, sudah berapa kilo ya...mm.. 50 kilo. Cukup lah. (bangkit, exit. Black out)
Bag II
Sebelum layar dibuka ada suara dari dalam panggung
:
Pengumunan-pengumuman:
Mulai sekarang SSP sekolah digratiskan
Anak-anak yang pingin hidup bahagia
Silahkan masuk sekolah. Dengan kepandaian
Kita akan mudah mencari uang
Layar dibuka, tampak sebuah pamflet pengumuman sekolah gratis menempel di tembok pagar.
Sinyo:
(masuk dengan bernyanyi riang)
Bapak-bapak ibu-ibu, dengarkanlah suaraku
Sangat merdu, seperti kembang api
Mengalun dalam hati, hati yang sedang pilu
Aku nggak laku-laku...
Pengumuman-pengumuman siapa yang punya uang
Kasih aku, seharian belum makan
Cuma jajan burger ayam... (pause)
(mendekat, membaca pengumuman dengan keras). ”Pengumuman, sekolah digratiskan”. (terkejut) Wah, ada sekolah gratis. Asyik banget. Mm.. gimana ya kalo aku sekolah. Bawa buku, pakai sepatu, bawa tas, banyak temen. Tapi, waktu ngamenku kepotong dong! Sekolah kan bisa pinter. Tapi, ngamen kan dapet banyak duit. Ini sekolah gratis, kesempatan bagus dong. Tapi sekolah, aduuuh, aku jadi harus bangun pagi-pagi, trus mandi, menyiapkan buku, duh padahal aku kan bangun paginya jam 10. bisa diomeli guru nih. Gimana ya! (pause)
Mr. Pinter:
(masuk dengan jalan loncat-loncat seperti vampir.berkostum wisuda lengkap)
(berbicara ke penonton). Haha.. kayak vampir kan! Pasti kalian takut. Saya ini jelek-jelek bukan vampir, tapi Mister Pinter. Saya ini sudah banyak membuat orang-orang sukses. Pak Peni Suprapto, bisa jadi Walikota Malang juga karena saya. Siapa lagi! Pangeran Diponegoro, bisa mengusir belanda dengan Perang Gerilya-nya juga karena saya ini. Pinter. Cina-cina itu bisa punya toko-toko besar, sukses, siapa lagi kalau bukan karena saya ini. Mister Pinter.
Teman-teman, saya ini ada pada diri kalian semua. Semua orang bisa pinter kalau rajin belajar. Prinsip saya adalah, rajin belajar. Jadi kalau kalian pengen pinter harus rajin belajar. Kalau sudah pinter itu cari kerja enak, karena otak kita sudah encer, banyak ide. Pokoknya kalau mau sukses harus pinter dulu, dengan belajar.
Oh ya, teman-teman. Sinyo ini lagi bingung. Apakah dia mau sekolah, atau ngamen aja. Nah, saya akan membujuk dia supaya mau sekolah, biar hidupnya besok jadi sukses. Oh ya, saya ini tidak bisa dilihat Sinyo, tapi Sinyo bisa merasakan kehadiran saya ini. Makanya saya akan membujuknya supaya dia mau sekolah.
Nyai Goblok:
(tua, jelek rupa, berjalan terkeyoh-keyoh, berbaju compang-camping dan bawa tongkat)
Ih, ih, ih..... ih,ih,ih....
Mr. Pinter:
Aduh, Nyai Goblok datang lagi. Mengganggu saja!
Nyai Goblok:
Heh, Mr. Pinter, kita ini diciptakan untuk pilihan manusia. Manusia itu bebas memilih, nyai Goblok atau Mr. Pinter. Pilih goblok apa pilih pinter. Jadi, kamu nggak boleh sewot gitu sama aku. Udah, aku mau kenalan dulu.
Oke teman-teman, namaku adalah Nyai Goblok. Biasanya orang-orang memanggilku guoblok. Aku sudah banyak membuat orang miskin, melarat, yang akhirnya sengsara. Aku juga bisa buat orang-orang gak bisa baca, gak bisa berhitung. Hingga mereka gampang diapusi orang. Diapusi tukang kredit, lintah darat.
Aku sudah banyak buat anak-anak malas sekolah, malas belajar. Oh ya, prinsipku kebebasan, tanpa aturan. Dengan kebebasan, aku juga banyak buat anak-anak keluyuran, tawuran, pokoknya gak bisa diatur. Bebas.. bass.
Mr. Pinter:
Hidup kok tanpa aturan, ya gak karuan itu jadinya. Hidup itu harus teratur, punya tujuan. Hari ini mau ngapa, besok mau usaha apa? Hidup itu harus punya cita-cita yang jelas. Tahun depan harus sudah punya pekerjaan, dua tahun lagi punya mobil, rumah bagus dan sebagainya.
(Sinyo bergerak lagi. Mr. Pinter dan Nyai Goblok berlagak siap-aiap beraksi)
Sinyo:
Duuuh, gimana ya.. ah, coba hitung kancing aja.
(sambil menghitung kancing baju)
Sekolah, enggak, sekolah, enggak. Wah, enggak
Enggak, sekolah, enggak, sekolah. Wah, sekolah
Gimana ne... (memikirkan sesuatu)
Mr. Pinter:
Sinyo, kamu sekolah saja Sinyo. Biar kamu pinter, nanti jadi dokter.
Nyai Goblok:
Sinyo..Sinyo... enggak usah sekolah. Sekolah itu ribet, banyak PR. Mending kamu ngamen aja, ringan, mudah, cepat dapat uang.
Sinyo:
Aduuuh, kok tambah bingung aku, sekolah apa enggak ya...
Mr. Pinter:
Sinyo, kamu harus sekolah. Masa depanmu masih panjang. Jangan kau sia-siakan Sinyo. Kalau kamu rajin sekolah, pasti kamu akan pinter cari uang. Jadi kaya raya.
Nyai Goblok:
Bujuk, jangan mau sekolah sinyo. Ingat, kita ini hidup gak harus pinter, yang penting cari uang, uang dan uang. Kalau kamu sekolah, kamu tidak bisa bebas lagi. Banyak PR, pokoknya tidak bebas, Sinyo.
Mr. Pinter:
Cari uang itu harus pakai otak, Sinyo. Jadi kalau kamu pinter, nanti lebih mudah cari uang. Kalau kamu gak sekolah, nanti kamu jadi goblok, susah cari kerja. Paling-paling cuma ngamen.
Nyai Goblok:
Sinyo, sekolah itu seperti penjara, penuh aturan. Kamu gak bisa keluyuran kemana-mana. Padahal keluyuran itu enak Sinyo. Bebas seperti elang terbang. Kamu bisa ngapain aja sesukamu.
Sinyo:
Kalau sekolah, pasti gak bebas, juga mengurangi waktu ngamenku. Mengurangi penghasilan dong. Tapi, kalau gak sekolah,Gimana ya...
Mr. Pinter:
Hidup bebas tanpa aturan itu tidak ada, Sinyo. Kamu ngamen pun pasti diincar dengan Satpol PP itu. Uang itu pasti habis kamu makan, sedangkan ilmu itu tidak bisa habis, tetap melekat di otak.
Jadi kamu harus sekolah. Toh, sekolah pun masih bisa ngamen. Pagi sekolah, sore ngamen, dan malamnya belajar di rumah. Ingat, bersusah-susah dahulu bersenang-senang kemudian. Sekarang kamu sekolah, banyak PR, tepat waktu, disiplin, gak boleh nyontek, besok sudah tua baru senang-senang menikmati hasil jerih payahmu.
Mr. Pinter & Nyai Goblok:
(saat mendengar suara Maharani, Mr. Pinter dan Nyai Goblok cepat-cepat menyingkir, exit)
Maharani datang! Ayo cepat pergi!
Maharani:
(membawa properti tukang jual jamu)
Jamu... jamu... jamune bu.... beras kencur
Jamu... jamu.. jamune mas Sinyo...
Jamu kunir asem rasa coklat
Ada beras kencur rasa strawbery
Ayo. Jamu... jamu... (pause)
(mendekat ke pengumuman dan membacanya)
Wah, sekolah gratis. Sinyo, akhirnya kita bisa sekolah. Gratis.. tis.. alhamdulillah. Ya Rabbi.. kita bisa sekolah.
(sinyo yang sebelumnya duduk langsung berdiri. Maharani saking senangnya langsung pegang tangan Sinyo akan diajak menari)
Sinyo:
Ah, apa-apa-an to ini!
Maharani:
Lho, ada sekolah gratis kok!
Sinyo:
Nggak tertalu istimewa bagiku.
Maharani:
Lhoh gimana to! Seumur gak pernah sekolah, katanya gak punya dana. Lah ini sekolah gratis.. tis kok malah ngambek gitu?
Sinyo:
Iya, itu gratis SPP-nya thok. Lah buku sama peralatan lainnya?
Maharani:
Sinyo, buku itu kan kamu yang pake, seragam juga. Lha kok minta gratisan! Wong berak aja seribu perak, mau necis pakai seragam sepatu kok mau gratisan. Ya gak masuk akal. Meski anak presiden kalau buku dan seragam juga beli sendiri. Lagian seragam belinya cuma sekali saja.
Sinyo:
Males ah, aku pengen ngamen aja, pengen cari uang.
Maharani:
(memotong bicara Sinyo)
Duh, bosan denger ocehanmu itu. Uang-uang-uaaang...
Sudah, aku tak bersiap-siap untuk sekolah! (exit)
Sinyo:
(mengejek Maharani)
Uang-uang-uaaang... gak ada uang gak bisa makan, tau! (exit)
Mr. Pinter:
(muncul disusul Nyai Goblok)
Temen-temen, ternyata rayuan Nyai Goblok lebih dipercaya Sinyo. Sinyo tidak mau sekolah. Padahal ini kesempatan emas. Yah, sayang sekali ya...
Nyai Goblok:
Hehehe... kamu gak usah ngiri denganku Mr. Pinter. Semakin banyak pengikutku, semakin banyak orang goblok. Males sekolah suka kluyuran. Dan sebagian mereka ada yang jadi maling, copet, rampok, karena kegoblokannya. Mereka itu besok jadi teman-temanku di neraka. Hehehe.... kaciaaaaan dech loe!
Udah, ayo kita lihat bagaimana nasib Maharani dan Sinyo di hari tuanya.
(Black out)
Bag III
(50 tahun kemudian)
Penampilan Sinyo menjadi tua. Berjengggot dan penuh uban. Ia berjalan sempoyongan dengan tongkat, kemudian duduk beristirahat di samping tepat sampah.
Sinyo:
Hidup memang keras. Keras. Yang kecil diinjak, ditindas. Baru ngamen 5 menit, pamong-pamong itu sudah kayak anjing gila. Menyalak sambil bawa pentungan. Gak peduli kecil, tua, semuanya diseret ke truk bajingan itu. Untung saja aku tadi bisa sembunyi di selokan. Kalau tidak, pasti aku sudah dibawa ke kantor. Edan, semua sudah edan. Gendheng.
(sirine meraung-raung. Sinyo mau bangkit dan berlari, tapi encok di pinggangnya kumat. Akhirnya ia pasrah. Ada pengumuman: saudara-saudara, semua diharap minggir, bu Walikota akan segera lewat.
Maharani dan rombongannya keluar dengan gerak teatrikal. Saat bu Walikota sampai di depan Sinyo, ia menyuruh pengawalnya berhenti sebentar)
Maharani:
Stoooop... (semua pengawal pause). Saya kok seperti kenal kamu. Siapa ya? (berpikir)
Sinyo:
Bu Wali.. bu Wali... Maharani ya?
Maharani:
Ooo... kamu Sinyo! (Sinyo mengangguk. Cengengesan). Aduh Sinyo, kamu kok jadi begini. Dokter anak-nya gak kesampean ya! Duh kasihan banget. Kalau gak mau sekolah ya begini akibatnya. Lihat, dengan rajin sekolah aku bisa jadi Bu Walikota sekarang.
Sinyo:
Iya Maharani, eh, Bu Wali. Saya sangat menyesal sekali kenapa dulu gak mau sekolah. Kalau dulu saya rajin sekolah pasti nasib saya lebih baik dari sekarang ini. Seandainya aku bisa memutar waktu kembali ke masa lalu, aku pasti akan giat belajar dan sekolah supaya hidup bahagia di hari tua.
Maharani:
Ya sudah, yang berlalu biarlah berlalu. Sekarang kamu mau sekolah apa tidak?
Sinyo:
Sekolah! Sudah tua gini? Apa mungkin?
Maharani:
Belajar itu gak melihat umur. Belajar itu wajib dari bayi sampai kita mati. Enggak sembilan tahun thok. Seumur hidup wajib belajar. Enggak ada kata terlambat untuk belajar!
Sinyo:
Bener Maharani, eh, bu Wali!
Maharani:
Iya bener. Jasad boleh tua renta, tapi semangat belajar harus tetap muda perkasa.
Sinyo:
Ya, mau.. mau (berdiri)
Maharani:
Ya sudah, ikut barisanku!
Sinyo:
Iya.
(Sinyo bingung cari posisi)
Maharani:
E’ e’... mau kemana kamu! Situ, di depan situ. Kamu yang memimpin barisan.
Sinyo:
Oke, bu wali. Siap! (ambil posisi paling depan)
Maharani:
Siaaaaaaaap... jalan! (Rombongan berjalan lagi dengan teatrikal)
TAMAT
Malang, 4 Juni 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar